Narasi

Kriteria Penyebar Isu SARA

Menyebarnya isu SARA di tengah masyarakat bukanlah kebetulan, kita perlu menyadari bahwa isu SARA telah direkayasa dan sengaja diviralkan. Pihak yang menyebarkannya ialah perorangan atau kelompok yang ingin meraup keuntungan dalam situasi tertentu.  Isu SARA sengaja dijadikan senjata bagi satu kelompok untuk menjatuhkan kredibilitas kelompok lainnya. Isu SARA seringkali disebarkan dalam kasus-kasus tertentu, seperti pendidikan, perekonomian, kebudayaan, dan politik.

Dalam kasus-kasus tersebut, isu SARA bisa muncul dan menyebar dengan lancar, terlebih saat ini didukung dengan perangkat internet. Melalui internet, distribusi isu SARA sangat mudah dan akan secara cepat dikonsumsi oleh khalayak masyarakat. Anggapan dari distributor isu SARA ini ialah akan sangat menguntungkan kelompoknya, padahal justru hal tersebut akan membuat masyarakat luas terganggu kenyamanannya. Bisa juga menjadi bom waktu yang justru akan meledakkan eksistensi kelompokknya, sehinga runtuhlah dominasi kalompok dan distribusi isunya.

Secara etika, menyebarkan isu SARA merupakan perbuatan buruk dan mengganggu hak orang lain atau kelompok lain. Bagi khalayak masyarakat yang menjunjung tinggi etika, akan sangat mengecam adanya isu SARA ini, dan bahkan justru akan dilawan dengan fakta-fakta yang nyata. Memunculkan fakta-fakta, akan membuat eksistensi isu semakin lemah, kerana sebuah isu hanyalah kabar angin yang tidak jelas referensinya.

Pihak-pihak penyebar isu SARA ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu perorangan, kelompok, dan institusi. Dari ketiga klasifikasi tersebut, rata-rata memiliki dua kriteria yang sama dalam menyebarkan isu SARA. Pertama, secara personal, kelompok, dan institusi pasti memiliki kepentingan untuk meraup keuntungan dari kasus-kasus yang sedang terjadi, sehingga dengan sengaja ia menyebarkan isu SARA. Kriteria ini, menunjukkan mereka sangat memahami, menguasai, dan mampu mempraktikkan penyebaran isu SARA dengan mudah. Mereka mampu menyusun acuan kerjanya, ranah kerja, orientasi kerja, dan prediksi hasil kerja penyebaran isu SARA.

Pihak-pihak yang masuk dalam kriteria ini dapat dikatakan sebagai pihak mengetahui sedikit mengenai isu SARA dan pihak yang lihai, sehingga seringkali mereka menyebarkan isu SARA bukan memakai tangannya, tetapi memakai tangan orang lain. Mereka yang menyebarkan, tetapi mereka bukanlah aktor eksekusinya, tetapi merupakan otak dari penyebaran isu SARA ini. Maka sekalipun aktornya tertangkap, tetapi masih ada saja kemunculan isu SARA, karena dalang dari penyebaran isu ini tetap bebas berkeliaran di tengah masyaraat.

Kedua, ada juga seseorang, kelompok, dan institusi yang benar-benar tidak mengerti apa itu isu SARA, landasannya, kriterianya, dan tujuannya, sehingga tidak sedikit dari meraka yang melontarkan isu-isu sentimen berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan. Kriteria ini, menggambarkan seseorang, kelompok, maupun institusi seperti halnya kertas putih yang belum tertulis apapun. Artinya dalam diri masing-masing masih bersih dan belum terkontaminasi dengan pengetahuan mengenai penyebaran isu SARA. Tatkala mereka salahpun mereka tidak mengetahui dan tidak menyadarinya, dan bahkan sulit untuk diberitahu.

Di mata hukum, kedua kriteria tersebut tetaplah sama, yaitu sama-sama mendapatkan sanksi. Secara etika, keduanya juga sama-sama melakukan perbuatan buruk, sehingga harus ada pendampingan untuk mencegahnya. Bagi kriteria yang pertama, kita perlu menyadarkannya dan mengarahkan potensinya ke arah yang lebih baik, karena hal tersebut akan membuat diri mereka nyaman. Sedangkan bagi kriteria yang kedua, kita perlu menyediakan pendidikan secara khusus untuk mempelajari mengenai bahayanya isu SARA. Intinya, kedua kriteria penyebar isu SARA tersebut masih perlu belajar mengenai etika sekaligus mengamalkannya. Belajar saja tidaklah cukup, karena belajar tanpa pengamalan ibaratkan menanam pohon tanpa merawatnya.

Arief Rifkiawan Hamzah

Menyelesaikan pendidikan jenjang magister di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Al-Hikmah 1 Benda, Sirampog, Brebes dan Ponpes Darul Falah Pare, Kediri. Saat ini ia sebagai Tutor di Universitas Terbuka.

Recent Posts

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

3 menit ago

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak…

4 menit ago

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…

5 menit ago

Beragama dengan Kawruh Atau Rahman-Rahim dalam Perspektif Kejawen

Dalam spiritualitas Islam terdapat tiga kutub yang diyakini mewakili tiga bentuk pendekatan ketuhanan yang kemudian…

16 menit ago

Natal Bersama Sebagai Ritus Kebangsaan; Bagaimana Para Ulama Moderat Membedakan Urusan Akidah dan Muamalah?

Setiap menjelang peringatan Natal, ruang publik digital kita riuh oleh perdebatan tentang boleh tidaknya umat…

22 jam ago

Bagaimana Mengaplikasikan Agama Cinta di Tengah Pluralitas Agama?

Di tengah pluralitas agama yang menjadi ciri khas Indonesia, gagasan “agama cinta” sering terdengar sebagai…

22 jam ago