Narasi

Kritik, Buzzer dan Ashabul Fitnah

Akhir-akhir ini kembali populer pembahasan tentang buzzer. Popularitasnya seolah menjadi sangat negatif ketika dibingkai dengan budaya kritik masyarakat terhadap pemerintah. Seolah-olah para pengkritik itu akan berhadapan dengan buzzer yang menyerang balik mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah.

Sebenarnya keberadaan buzzer tidak berada dalam posisi satu bilik. Ia akan berada di dua bilik yang bersebelahan. Bisa jadi ia berada sebagai oposisi, bisa pula menjadi pendukung pemerintah. Walaupun dalam konteks hari ini buzzer seolah adalah mereka yang mendukung pemerintah. Lepas dari itu, hal penting yang ingin Saya fokuskan bukan masalah buzzer tetapi mengajak kembali kepada masalah masalah hoax dan fitnah.

Popularitas perbincangan seputar buzzer seolah menutupi para pelaku penyebar hoax yang sampai detik ini juga tidak berhenti. Mereka rajin membingkai dan merekayasa informasi menyesatkan atas nama kritik. Membuat kegaduhan yang mencekam dan mengadu persaudaraan sebangsa dengan informasi tidak valid. Namun, sekali lagi bisa pula atas nama kritik.

Saya lebih merasa ngeri dengan keberadaan para penyebar fitnah ini. Atas nama kebebasan mereka bisa menyebar konten yang menyesatkan, menghasut, memprovokasi dan memecahbelah atas dasar kebencian yang ujungnya atas nama kritik. Lalu, jika ada pelaporan terhadap perilaku ini atau gerakan masyarakat untuk menangkalnya akan dianggap perilaku buzzer dan membungkam kritik?

Teringat kembali salah satu pesan penting dari Prof. Dr. Taufiq Al-Buthi, salah satu guru besar di Universitas Damaskus, Suriah yang pernah bertandang ke Indonesia untuk sharing pengamalan kondisi di negerinya. Beliau adalah  putra dari almarhum Syaikh Ramadhan Al-Buthi, ulama Suriah yang meninggal karena dibunuh pada Malam Jum’at (21/3/2013) saat sedang mengajar/ceramah di masjid Al-Iman Damaskus. Pengalaman kematian ayahnya dan kondisi Suriah menjadi pesan berharga yang ia sampaikan kepada beberapa negara, termasuk Indonesia.

Taufiq Al-Buthi menceritakan bahwa penyebab kekerasan dan kehancuran Suriah dari negara yang aman dan sejahtera menjadi negara penuh konflik adalah berawal dari munculnya ashabul fitnah. Kelompok ini merupakan ancaman kehancuran sebuah negara sebagaimana terjadi di Suriah. Kelompok menyebar propaganda dengan cara menebar fitnah, kebencian, provokasi dan hasutan yang menempatkan masyarakat saling berhadap-hadapan dalam konflik.  

Nampaknya, ciri dan karakter kelompok ini di Indonesia mulai berdatangan dengan rangkaian hoax, fitnah dan hasutan yang memecah belah masyarakat. Membuat kegaduhan dengan sentiment keagamaan dan membelah persaudaraan kebangsaan dengan primordialisme. Ashabul fitnah bekerja dengan membuat negara seolah sedang berada dalam kekacauan, tetapi yang ia kehendaki adalah dampak kekacauan masyarakat akibat dari informasi dan sebaran fitnah yang rajin mereka sebarkan.

Pelajaran berharga patut kita dapatkan dari kondisi negara di Timur Tengah seperti Afganistan, Irak, Suriah, dan lainnya yang terkoyak konflik dalam satu negara karena ashabul fitnah. Mereka muncul membuat keributan, anarkisme dan kekerasan brutal di tengah situasi politik dalam negeri yang mengalami anomali. Fitnah mudah menyebar dengan membenturkan dan merusak persaudaraan seagama, antara agama dan warga negara.

Dalam konteks pembelajaran inilah, Saya ingin menegaskan bahwa penting membedakan antara kelompok yang rajin menyampaikan kritik konstrukif dan ashabul fitnah. Dan harus dibedakan antara kritik yang sangat tipis dengan fitnah, provokasi dan hasutan berdasarkan kebencian untuk membelah masyarakat.

Jika buzzer dianggap melemahkan kritik, sesungguhnya para ashabul fitnah juga mulai mengadendakan untuk melemahkan persaudaraan kebangsaan. Bukan kritik yang disampaikan tetapi provokasi atas nama kritik. Bukan kritik santun yang ingin membangun, tetapi fitnah menggaduhkan yang ingin menciptakan kekacauan.

Dalam iklim demokrasi, kritik adalah vitamin yang menjadi alat mengevaluasi dan menilai kinerja pemerintah untuk menuju perbaikan. Namun, kritik dengan tanpa fakta dan data hanya berdasarkan asumsi yang berujung provokasi bukanlah sebuah kritik yang sebenarnya. Ashabul fitnah selalu mencari celah untuk memprovokasi dan menghasut, bahkan atas nama kritik sekalipun.

This post was last modified on 16 Februari 2021 3:09 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

24 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

24 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

24 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

24 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago