Pada Perang Jawa kita disajikan oleh sebuah kemampuan dari seorang Dipanegara yang dapat menarik simpati dari beragam orang dan dari berbagai latar-belakang untuk ikut bersamanya dalam mengobarkan sebuah perang yang tak dapat dimaknai secara tunggal. Banyak anggota laskar Dipanegara berasal dari kalangan ningrat Jawa, penganut kejawen, kyai dan santri yang lebih menunjukkan orientasinya sebagai muslim Jawa, dan juga para muslim puritan yang alergi terhadap kejawen. Perang itu pun, karena juga didukung oleh modal keagamaan yang kuat, kumandang sebagai Perang Sabil.
Namun, perang yang berkobar selama 5 tahun itu pelahan dapat disurutkan oleh Belanda dengan secara cerdik memanfaatkan heterogenitas laskar Dipanegara. Dalam catatan sejarah, Kyai Maja, seorang pemuka agama yang notebene terkenal puritan dan tak cocok dengan kejawaan seorang Dipanegara memutuskan untuk pecah kongsi. Sentot pun, yang kemungkinan tersebab kecemburuan yang biasa dalam aristokrasi Jawa, memutuskan pula untuk meninggalkan sang pangeran.
Dipanegara, tak ayal lagi, adalah pribadi yang, bagi sementara orang, kompleks. Ia adalah seorang ningrat Jawa, putra HB II, yang lekat dengan citra kejawen. Sementara, ia adalah juga seorang santri yang karib dengan agama dan tarekat sufi. Pendek kata, di satu sisi, ia adalah seorang pelintas batas yang mampu menghubungkan orang dari berbagai latar-belakang. Tapi, di lain sisi, kemampuan melintas batas itu pun pada akhirnya membuat rapuh laskarnya karena tak semua pengikutnya ternyata dapat melintas dan tahan hidup dalam ruang ambang seperti dirinya.
Saya tak tahu siapakah sosok Dipanegara dalam gerakan-gerakan oposan yang sejak 2017 hingga 2020, dengan isu penolakan Omnibus Law, menghiasi panggung perpolitikan dan keagamaan di Indonesia (Montase Radikalisme Kontemporer, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Yang jelas, ia bukanlah Rizieq Shihab ataupun Bahar bin Smith. Bukan karena keduanya sama sekali tak merepresentasikan kejawaan atau kenusantaraan, tapi ternyata Dipanegara tak se-“sakti” kedua orang yang dianggap sebagai pemimpin (sebagian) umat Islam itu yang masih dapat bergaya meskipun tengah LDR-an dengan para pengikutnya. Berbeda dengan Dipanegara yang seperti memilih untuk selamanya “bercerai” dengan para pengikutnya daripada LDR-an.
Taruhlah berbagai gerakan oposan yang sejak 2017 menjadi santapan sehari-hari di jalanan di Indonesia. Orang seperti diperlihatkan oleh sebuah montase yang terdiri dari berbagai kepingan ideologi dan kepentingan yang sejujurnya saling bertabrakan—atau berada dalam ketegangan yang sewaktu-waktu dapat meledak dan pecah. Tercatat, pada kasus penolakan UU Cipta Kerja, terdapat sekumpulan massa yang notabene “kiri” atau progresif. Sementara di saat yang sama terdapat kawanan yang mengklaim diri sebagai representasi kelompok “kanan” yang anti-komunis persis beberapa peristiwa sebelumnya (Corona, Ancaman Radikalisme, dan Masa Depan Demokrasi Deliberatif Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Demikianlah untuk menyebut beberapa kepingan massa dan ideologi di balik penolakan Omnibus Law yang ternyata memiliki episteme yang satu dan sama.
Dengan berkaca pada Derrida, pada dasarnya tak ada sesuatu pun yang indeconstructible. Karena dekonstruksi adalah sesuatu yang inheren dalam setiap teks dimana, untuk meminjam salah satu inspirator Derrida, Edmund Husserl, segala hal yang mampir ke kesadaran, yang bersifat intensional, adalah teks. Dengan kata lain, dekonstruksi adalah sebuah pengungkapan ketegangan dan heterogenitas yang niscaya ada dalam sebuah teks. Itulah kenapa laskar Dipanegara yang berasal dari beragam orang dan dari berbagai latar-belakang tak lagi eksis secara tersurat sejak penangkapan dan pengasingan sang pangeran. Seandainya Perang Jawa yang juga kumandang dengan nama Perang Sabil berkobar sejak 1825-1830, akankah gerakan-gerakan oposan di Indonesia juga bergema dalam jangka waktu yang sama, dengan sisa kurun setahun?
This post was last modified on 15 Oktober 2020 4:23 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…