Narasi

Larangan Menghancurkan Tempat Ibadah Agama Lain

Pemeluk agama masih banyak yang gagal untuk memahami esensi dari agama yang dianutnya. Agama, sebagai sebuah sistem tata nilai dan perilaku, sejatinya ditujukan agar manusia dapat hidup damai dan sejahtera bersama dengan manusia lainnya. Agama adalah refleksi dari sifat-sifat tuhan yang penuh kasih dan sayang. Tuhan bukanlah Dzat yang senang menyiksa dan mengadzab manusia. Sehingga para pemeluk agama mestinya menjadi sosok yang dapat menyebarkan kedamaian, bukan menularkan virus kebencian terhadap sesama. Tetapi akibat kesalahan pemahaman dari sekelompok kecil manusia, agama kini berubah menjadi monster yang menakutkan.

Hal ini dapat dilihat dari peristiwa yang baru saja terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Hanya karena protes seorang warga non-muslim terhadap suara yang berasal dari masjid, tercipta kerusuhan dan perusakan terhadap tempat ibadah umat lain (vihara dan klenteng).  Akibatnya tidak hanya kerugian material yang didapat, melainkan juga non-material.

Agama Islam akhirnya pun tercoreng akibat ulah para pembajak ajaran agama ini. Kelompok minoritas akan semakin menganggap agama Islam tidak ramah dan senang menebar kebencian. Ucapan takbir dan bismillah ketika merusak tempat ibadah pemeluk agama lain tentu tidak membuat perbuatannya menjadi halal. Sama halnya dengan mengucap takbir dan bismillah ketika melakukan korupsi, sama sekali tidak menggugurkan dosa yang diperbuatnya.

Perusakan tempat ibadah di Indonesia memang bukan barang baru. Seperti perusakan gereja di Yogyakarta, perusakan masjid di Tolikara, dan sebagainya. Bahkan bukan hanya perusakan terhadap pemeluk agama saja, sesama pemeluk Islam pun sering bertikai dan merusak (seperti perusakan masjid milik Ahmadiyah dan Syiah).  Padahal jika diperhatikan, Alquran secara tegas melarang perusakan tempat-tempat ibadah pemeluk agama lain. Dalam surah Al-Hajj, ayat 40, disebutkan bahwa “…Seandainya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentunya telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid..”. Ayat ini secara eksplisit menjelaskan bahwa Allah SWT menolak keganasan dan mencintai kelemahlembutan, sehingga memperbolehkan hadirnya bangunan-bangunan ibadah umat Nasrasi dan Yahudi.

Rasulullah pun mengajarkan agar kita bersikap lemah lembut terhadap sesama, bahkan kepada orang yang tidak seiman sekalipun. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, diceritakan ada seorang sahabat yang memiliki ibu non-muslim. Tetapi ibu tersebut ingin agar anaknya yang beragama Islam terus menyambung hubungan dengannya. Sahabat tersebut akhirnya bertanya kepada rasulullah. Beliau pun menjawab boleh berbuat baik kepadanya. Kisah lain yang cukup masyhur adalah perilaku rasulullah yang setiap pagi menyuapi pengemis buta yang beragama Yahudi, meskipun pengemis tersebut kerap menghina rasulullah. Pengemis tersebut baru sadar bahwa yang biasa menyuapinya adalah Nabi Muhammad setelah rasul yang mulia tersebut wafat.

Beragam doktrin dan ajaran Islam di atas menunjukan bahwa Islam sejatinya adalah agama yang sangat ramah terhadap sesama. Para pemeluk Islam harus sadar akan hal tersebut. Dalam beragama, dibutuhkan pemahaman yang baik dan komprehensif, sehingga tidak mudah tersulut emosinya hanya karena hal-hal yang tidak penting. Kerap dijumpai masih banyak kaum muslim yang memiliki sumbu pendek sehingga langsung meledak ketika tersulut sedikit saja. Agama pun sering disalahgunakan sebagai bensin yang makin memperbesar masalah sepele hingga terbakar. Maka benar sekali apa yang pernah dikatakan oleh Gus Dur, bahwa tuhan tidak perlu dibela. Sebab jika masing-masing pemeluk agama membela tuhan yang diyakininya, niscaya tidak akan pernah tercapai perdamaian di muka bumi.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menjembatani perbedaan yang mungkin hadir dalam kehidupan beragama adalah mengedepankan sikap toleransi. Selain itu, perlu dilakukan dialog antar umat beragama secara intensif sehingga mampu meluruhkan sekat-sekat perbedaan. Sebagai penutup, bangsa Indonesia -khususnya kaum Muslim yang menjadi mayoritas- harus mampu mengayomi kelompok lain. Kita pun harus sering mengingat sejarah bangsa ini, dimana banyak terjadi pertikaian dan peperangan dengan mengatasnamakan agama. Peristiwa sejenis tentu tidak boleh terjadi lagi.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago