Khawarij adalah faksi politik yang muncul di masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Khawarij sebelumnya merupakan pendukung setia Ali. Namun, kekecewaan atas sikap Ali yang menerima perjanjian perang Siffin (37 H) melawan Dinasti Muawiyah membuat mereka membelot dari Ali. Dari sinilah muncul istilah Khawarij yang bermakna golongan yang keluar.
Dalam perkembangannya, Khawarij berevolusi menjadi gerakan politik berbalut agama. Di satu sisi mereka dikenal taat beribadah. Namun, di sisi lain mereka juga memiliki pola pikir yang kaku, dan tekstualis dalam menentukan hukum agama.
Pola pikir tekstualis inilah yang membuat mereka kerap menuding kelompok lain sebagai sesat bahkan kafir. Sejarah mencatat, kaum Khawarij adalah kelompok ekstrem pertama dalam Islam. Mereka tidak segan menggunakan cara kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Bahkan, pada akhirnya Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tewas di tangan pengikut Khawarij bernama Abdullah bin Muljam.
Khawarij sudah tidak eksis di era sekarang, namun doktrin keagamaan dan politiknya masih diadaptasi oleh segelintir muslim. Mereka memang tidak menyebut diri Khawarij, bahkan mengklaim anti-Khawarij. Namun, cara pandang dan perilakunya tidak jauh beda dengan kaum Khawarij.
Mengenali Doktrin Khawarij dalam Politik
Setidaknya ada lima ciri doktrin politik dan keagamaan Khawarij yang wajib dipahami umat Islam. Tujuannya tentu agar umat bisa mengidentifikasi dan mencegah sejak dini kemunculan Neo-Khawarij di era sekarang.
Ciri pertama, mudah mengkafirkan pemerintahan atau pemimpin yang berseberangan dengan kepentingannya. Meski pun pemimpin atau pemerintah itu menganut Islam dan tidak melanggar syariah, namun jika berseberangan kepentingan, maka akan dicap kafir.
Takfirisme pada pemimpin atau pemerintah ini menjadi senjata politik kaum Khawarij untuk mengobarkan spirit pemberontakan atau makar di kalangan umat. Jadi, seolah-olah pemberontakan melawan pemimpin yang sah itu merupakan misi suci yang dilandasi kepentingan agama (Islam).
Kedua, mengadu-domba umat dengan narasi provokatif dan kebencian. Misalnya dengan mengeksploitasi isu perbedaan agama atau khilafiyah dalam beribadah untuk tujuan-tujuan politik praktis. Kaum Khawarij tidak ingin umat Islam hidup harmonis dalam perbedaan. Mereka menginginkan umat Islam terpecah-belah agar mereka mudah mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah.
Ketiga, tidak segan memakai cara-cara kekerasan dan teror untuk mewujudkan agenda politiknya. Kaum Khawarij cenderung anti sistem demokrasi. Bagi mereka, kekuasaan harus diperjuangkan dengan peperangan yang berdarah-darah.
Mereka tidak peduli meski kekerasan dan perang itu justru akan merugikan umat Islam sendiri. Bagi kaum khawarij, kekuasaan adalah segala-galanya sehingga ditempatkan di atas kepentingan kemanusiaan.
Keempat, kaum Khawarij selalu menjadikan umat Islam sebagai semacam kendaraan politik untuk merebut kekuasaan. Oleh sebab itu, mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengadu-domba antara umat, umara dan ulama.
Kaum Khawarij tidak menghendaki ketiga kelompok itu bersinergi dan bekerjasama. Sebaliknya, mereka senantiasa mencari cara agar ulama, umara, dan umat saling bertikai. Meskipun gak itu dilakukan dengan cara menebar fitnah dan kebencian.
Kelima, memelintir makna dan tafsir teks keislaman (Alquran dan hadist) untuk mendukung agenda politiknya. Kaum Khawarij tidak segan menjual-belikan ayat Alquran dan hadist untuk kepentingan meraih kekuasaan.
Mereka juga mengeksploitasi ajaran dan simbol keislaman untuk menjustifikasi tindakan kekerasan dan makar. Pendek kata, kaum Khawarij menjadikan Islam sebagai komoditas politik untuk meraih kekuasaan. Bisa dibilang, Khawarij adalah pioneer praktik politisasi agama dalam sejarah Islam.
Mewaspadai Kebangkitan Neo-Khawarij di Indonesia
Seperti disebut di atas, meski secara formal keberadaan Khawarij bisa dikatakan tidak ada saat ini, namun doktrin politiknya tetap lestari. Dalam konteks Indonesia misalnya, kemunculan kaum oposisi destruktif dan kelompok radikal yang selalu menebarkan sentimen kebencian pada pemerintah bisa dikatakan sebagai perwujudan dari kaum Neo-Khawarij. Mereka adalah kelompok Khawarij dengan kemasan baru.
Mereka boleh saja memakai bendera partai politik atau ormas keagamaan dan seolah-olah adaptif pada sistem demokrasi. Namun, sesungguhnya mereka tidak lebih dari reinkarnasi Khawarij di masa lalu. Keberadaan kaum Neo-Khawarij inilah yang wajib diwaspadai oleh umat Islam.
Munculnya narasi people power yang digaungkan sejumlah tokoh oposisi destruktif dan kelompok radikal di Solo tempo hari kiranya patut diidentifikasi sebagai gejala kemunculan kaum Neo-Khawarji di Indonesia. Umat Islam tentu tidak boleh khawatir berlebihan, namun juga tidak boleh lengah. Kita patut waspada terhadap segala bentuk provokasi dan seruan untuk melawan pemerintahan yang sah.
Di alam demokrasi, kritik dan ketidaksetujuan terhadap pemimpin atau pemerintah adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan. Namun, kritik harus dikelola dalam mekanisme demokrasi yang berbasis pada bagaimana mencari solusi konstruktif, bukan justru melahirkan gerakan destruktif. Agenda makar dan pemakzulan yang dibungkus ke dalam narasi people power harus diberangus karena hal itu berbahaya tidak hanya bagi keutuhan umat, namun juga perdamaian bangsa.
This post was last modified on 21 Juni 2023 1:09 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…