Manusia diciptakan dari asal yang satu dan unsur yang sama. Hanya bentuk fisik yang berbeda, seperti warna kulit, rambut, wajah dan bentuk tubuh yang lain. Karena itu, muara manusia bukan dari eksistensi tersebut, salah besar jika itu menjadi pondasi. Muara manusia adalah berusaha berbuat baik, saling menghargai dan bersaudara.
Manusia terikat satu sama lain, walau tidak diikat oleh ikatan darah, kesamaan agama, ideologi ataupun budaya. Hati nurani manusia selalu mendorong untuk senantiasa saling tolong menolong satu sama lain. Agama, ideologi, suku, ras atau budaya tak lebih hanya atribut supaya manusia lebih peka untuk saling mengenal, sebab perbedaan tersebut sengaja dibuat oleh Tuhan dengan tujuan supaya manusia saling mengenal satu sama lain.
Sebab itu, Rasulullah menjelang wafatnya berpesan kepada umat Islam berupa pesan persatuan. Pesan persatuan itu disampaikan beliau dalam Haji Wada’ (haji perpisahan) dihadapan ribuan jemaah haji yang menyertai Rasulullah melaksanakan rukun Islam yang kelima.
Dalam catatan Syaikh Musthafa as Siba’i dalam Sirah an Nabawiyah Durus wa I’bar, jumlah jemaah haji kala itu sebanyak 114.000 yang berasal dari Jazirah Arab dan sekitarnya. Sementara menurut Safiyurrahman al Mubarakfuri dalam ar Rahiqul Makhtum, jumlah jemaah haji mencapai 124.000 sampai 140.000 jemaah. Sebuah bilangan fantastis keberhasilan dakwah Rasulullah yang hanya 23 tahun.
Pesan Persatuan dalam Khutbah Perpisahan Rasulullah
Di tengah lautan manusia yang melaksanakan ibadah haji tersebut, Rasulullah menyampaikan beberapa pesan berikut ini.
“Wahai sekalian manusia, dengarkan perkataanku, aku belum tahu secara pasti, mungkin aku tidak akan bertemu kalian lagi setelah tahun ini dengan keadaan seperti ini”.
Suatu isyarat dari Rasulullah beliau telah berada diujung penghidupan dunia. Sebab itu, pesan-pesan yang disampaikan menjadi wasiat terakhir beliau untuk umatnya yang harus direnungkan dan menjadi renungan mendalam.
Di tengah-tengah beliau menyampaikan khutbahnya, wahyu terkahir turun sebagai penutup sekaligus penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya. Malaikat Jibril menyampaikan wahyu disaat Nabi sedang berkhutbah di antara lautan manusia. Wahyu terakhir itu juga memberi isyarat telah sempurnanya agama yang diembankan kepada Nabi.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan untukmu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka, siapa yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Maidah: 3).
Ayat di atas, secara tersurat mengatakan tugas Nabi telah selesai. Agama Islam yang dirisalahkan kepadanya telah distempel oleh Allah sebagai agama yang sempurna. Agama yang mengajarkan tentang nilai-nilai kebenaran universal. Ajaran yang membawa keselamatan bagi semua manusia.
Pesan berikutnya yang disampaikan oleh Rasulullah adalah: “Tahukah kalian arti mukmin yang sesungguhnya? Mukmin adalah mereka yang memastikan dirinya yang memberi rasa aman untuk jiwa dan harta orang lain. Sementara muslim adalah orang yang memastikan ucapan dan tindakannya tidak menyakiti orang lain. Adapun mujahid adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada Allah. Sedangkan yang disebut orang yang berhijrah (muhajir) adalah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa”.
Spirit persatuan dan perdamaian disampaikan oleh Rasulullah dalam khutbah terakhirnya itu. Mukmin atau orang beriman adalah orang yang memberi rasa aman kepada orang lain, baik keamanan jiwa maupun harta. Keimanan menjadi basis kuat untuk tidak menciderai orang lain. Demikian pula, seseorang bisa disebut muslim apabila ucapan dan tindakannya tidak menyakiti orang lain.
Beliau berpesan seperti itu supaya senjakala kemanusiaan dan kelindan kekerasan tidak mewarnai kehidupan manusia, sebab hal itu bukan spirit ajaran Islam. Beragama berarti menumbuhkan spirit kemanusiaan, persatuan dan menjaga perdamaian. Sebagaimana dikatakan Nabi: “Orang Islam adalah seseorang yang dengan tangan dan lisannya menciptakan kedamaian terhadap pihak lain”.
Pesan Nabi dalam khutbah perpisahan itu begitu mendalam. Islam hadir bukan sebagai alat untuk memaksa manusia seluruhnya beriman, melainkan umat Islam harus menunjukkan kesempurnaan ajaran agama Islam dihadapan non muslim sebagai agama yang agung, ajarannya humanis dan anti kekerasan.
Memang, Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah. Tetapi, hal itu tidak boleh dijadikan alasan untuk melakukan pemaksaan kebenaran terhadap pihak lain. Sebab pada sisi yang lain Islam mengajarkan toleransi berdasar pada peringatan Allah dalam al Qur’an, keragaman manusia baik agama, suku, etnis dan golongan adalah kehendak-Nya.
Islam adalah agama sebagai karya agung Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dan dirisalahkan untuk semua manusia. Karena itu, umat Islam sebagaimana dipesankan oleh Nabi tidak boleh melakukan tindakan intoleran, kekerasan atas nama agama dan memaksakan agama kepada orang lain. Islam hadir untuk mengayomi manusia apapun latar belakangnya. Persoalan seseorang memilih agama lain selain Islam itulah adalah pribadi, namun sesungguhnya semua pilihan itu ada pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Spirit persatuan dalam khutbah perpisahan Nabi berupa prinsip perdamaian dan kesetaraan merupakan ruh ajaran Islam. Memberi rasa aman dan tidak menyakiti orang lain menjadi bukti, Islam mengakui perbedaan dan sekalipun berbeda mereka tidak boleh disakiti. Semua manusia harus dihormati sebagai ciptaan Allah sekalipun agamanya berbeda.
Khusus diinternal umat Islam sendiri, mewujudkan Islam sebagai ideologi keagamaan tertentu kemudian dipahami sebagai suatu kebenaran oleh suatu kelompok sah-sah saja selama tidak menafikan kebenaran pihak lain. Yang tidak boleh adalah melakukan justifikasi pembenaran tunggal terhadap keyakinannya sendiri dan tafsir pihak lain sebagai suatu kesalahan yang harus dihilangkan dengan segala cara.
Seperti kelompok pendukung gerakan khilafah dan kelompok muslim radikal yang selalu melakukan justifikasi pembenaran kehendaknya atas nama agama, kemudian melakukan aksi-aksi kekerasan seperti bom bunuh diri, memaksakan tegaknya khilafah di Indonesia, formalisme agama dan seterusnya dalam kelindan paham radikalisme dan terorisme.
Tentu, paham semacam ini jauh dari semangat wasiat Nabi dalam khutbah perpisahan pada Haji Wada’ yang menekankan pentingnya persatuan dan kesetaraan. Menjaga keamanan dan tidak menyakiti orang lain dalam khutbah yang disampaikan beliau merupakan anjuran untuk menciptakan keamanan dan perdamaian dengan cara menghargai setiap perbedaan yang melingkupi manusia.
This post was last modified on 3 Juli 2023 3:32 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…