Categories: Narasi

Media dan Hoax: Sebuah Sikap Pembaca

Hari ini, kita bisa mendapatkan informasi dan berita tidak hanya melalui radio, koran, dan televisi, tidak seperti dulu ketika tiga jenis media itu berjaya. Pada saat semua orang nyaris bisa online dengan dukungan gadget dan perangakat lunaknya, media online/daring hampir-hampir saja menggantikan peran media konvensional.

Situasi ini sudah lama diramalkan oleh Bill Gates dalam pidato undur dirinya dari Microsoft dengan andaian bahwa suatu saat kelak orang dapat berinterkomunikasi dengan konektivitas sejagat tanpa meninggalkan meja sentuh dan softdrink, seperti sambil duduk-duduk di café. Hal demikian juga sudah perkirakan oleh Dahlan Iskan beberapa tahun silam ketika ia merintis ‘Radar’ sebagai bagian dari koran Jawa Pos.

Akan tetapi, dan ini menyedihkan, adanya kebebasan menyampaikan informasi dan kemudahan akses berita ini justru menciptakan situasi yang kacau. Banyak portal dan web abal-abal yang tidak jelas visinya, hanya berisi berita sampah (hoax), bermunculan di dunia maya. Media seperti ini bahkan terkadang menyelipkan hoax/fitnah dengan rendahnya verifikasi yang yang notabene merupakan rukun penting bagi jurnalisme.

Ketika kebenaran informasi dari sumber pokok (seperti orang, media cetak, televisi, portal, dll) telah diragukan kesahihannya karena tidak lagi menonjolkan kemandirian dan justru menampakkan keberpihakan pada kepentingan tertentu, maka yang wajib dimiliki oleh kita adalah kecermatan dan verifikasi (tabayyun).

Umumnya, kita selalu percaya pada ‘apa yang disampaikan’ sambil menutup mata pada ‘siapa yang menyampaikan’. Sebabnya adalah karena kita tergoda oleh pernyataan umum: “ambillah yang keluar dari ayam jika itu telur” namun tanpa mempedulikan lagi pada situasi perkecualian: ayam berpenyakit dan telur busuk.

Di awal 90-an, beredar statemen “jangan percaya info resmi”. Anjuran ini mewanti-wanti kita agar tidak menerima berita dan informasi yang disampaikan oleh sembarang media (era Orde Baru di kala itu) secara mentah-mentah, dengan lugu. Lantas, dari mana informasi yang terpercaya akan didapat? Dari buku putih, dari “yang tidak disampaikan”, dari “yang tidak mudah diperoleh untuk dibaca”.

Di masa-masa berikutnya, menjelang akhir dasawarsa 90-an, setelah kran reformasi dibuka, kesempatan untuk menyampaikan pendapat, memberitakan, dan mengakses informasi jadi luar biasa mudahnya. Tak ada lagi aib, tak ada lagi rahasia. Bahkan, keadaan rumah tangga seseorang yang mestinya dirahasiakan pun akhirnya menjadi bahan ‘berita’, bahan gosip, dan itu diperdagangkan menjadi bagian bisnis: bisnis bisik-bisik dan bisnis ngerumpi.

Pepatah “titip uang berkurang, titip kata berlebih” menyampaikan kearifan dalam menyikapi berita. Sebab, secara naluriah, orang menerima informasi itu cenderung apa adanya. Apa yang didengar dan disampaikan, ya, itulah berita. Kini, masyarakat mulai mengerti karena mereka cerdas sebagian walaupun tetap lugu pada sebagian yang lain.

Memang, hakikat berita itu senantiasa menyampaikan kebenaran/fakta, tapi ini tidak berlaku umum, apalagi di zaman sekarang. Agar tetap terkesan objektif, ada yang menyampaikan sebuah kebenaran namun menyimpan kebenaran lain yang tidak mendukung kepentingan diri dan kelompoknya. Intinya, kepentingan, dengan takaran tertentu, selalu ada dan membebani sebuah berita.

Hingga hari ini, sebagian masyarakat masih menggunakan persepsi dan cara pandang lama dalam menyambut berbagai macam media—termasuk media abal-abal, yakni tetap berpegang pada prinsip asal: asal baca, asal dengar, asal percaya. Puncaknya, setelah ‘social media’ (seperti blog, facebook, twitter, mailing list, dll) dikenal dan digunakan oleh hampir semua unsur masyarakat, kebebasan jadi kebablasan. Bukan hanya yang abu-abu yang disampaikan, yang tidak jelas dan meragukan pun ikut diberitakan. Fitnah jadi konsumsi publik. Gosip dianggap fakta.

Lalu, dari mana kita mendapatkan informasi dan bagaimana mestinya kita bersikap? Untuk itu, terjemah Surah Al-Hujurat ayat ke-6 ini dapat dijadikan pegangan: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.” Ayat ini memperingatkan kita untuk mempertimbangkan sumber, bukan sekadar berita; anjuran verifiksi ayam sebelum memungut telur.

M. Faizi

Seorang penulis, blogger, penggemar perjalanan naik bis.

Recent Posts

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

4 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

4 jam ago

Menghapus Dosa Pendidikan ala Pesantren

Di lembaga pendidikan pesantren, tanggung-jawab seorang Ustadz/Kiai tidak sekadar memberi ilmu kepada santri. Karena kiai/guru/ustadz…

4 jam ago

Sekolah Damai BNPT : Memutus Mata Rantai Radikalisme Sejak Dini

Bahaya intoleransi, perundungan, dan kekerasan bukan lagi hanya mengancam keamanan fisik, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi…

1 hari ago

Dari Papan Kapur sampai Layar Sentuh: Mengurai Materialitas Intoleransi

Perubahan faktor-faktor material dalam dunia pendidikan merefleksikan pergeseran ruang-ruang temu dan arena toleransi masyarakat. Jarang…

1 hari ago

Pengajaran Agama yang Inklusif sebagai Konstruksi Sekolah Damai

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Duta Damai BNPT telah berinisiasi untuk membangun Sekolah…

1 hari ago