Narasi

Media Sosial dan “Wabah” di Era Digital

Pada bulan November 2020, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet di Indonesia (APJI) memaparkan laporan hasil survei internet di Indonesia tahun 2019 hingga kuartal II 2020. Survei tersebut menunjukkan bahwa pengguna internet meningkat tajam dibandingkan tahun 2018. Hingga kuartal II 2020, jumlah pengguna internet di Indonesia sebesar 73,7% dari total populasi di Indonesia atau setara dengan 196,7 juta pengguna. Jumlah tersebut jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2018 yakni sebesar 64,8% atau setara 264,16 juta pengguna.

Berdasarkan survei yang sama, pengguna internet di Indonesia menghabiskan waktu 8 jam sehari mengakses internet. Ada beberapa alasan utama mereka mengakses internet di antaranya adalah media sosial (Facebook, Instagram, Twitter), aplikasi pesan, game online dan belanja online. Artinya, mayoritas pengguna internet di Indonesia mengakses internet dengan tujuan untuk bermain media sosial.

Wabah” Digital

Media sosial menjadi alasan nomor wahid masyarakat Indonesia berselancar di dunia maya. Lalu bagaimana jika media sosial berisi hoax, ujaran kebencian bahkan provokasi? Tentu sangat berbahaya. Tapi memang begitu kenyataannya. Berdasarkan survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) tahun 2019, media sosial di Indonesia menjadi saluran utama penyebaran hoax, disusul aplikasi chatting dan website. Sementara hoax paling banyak adalah hoax politik, SARA dan pemerintahan.

Hoax, ujaran kebencian dan provokasi sejatinya adalah “wabah” di era digital yang efeknya sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana layaknya wabah, ketiganya memiliki daya rusak dan penghancur. Hoax tentang SARA misalnya, memiliki dampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, negara ini terdiri dari banyak suku, beragam agama dan bermacam ras. Jika ada hoax SARA yang membenturkan antar pemeluk agama, tentu akan terjadi gesekan yang berujung konflik. Dan konflik di mana pun tempatnya, hanya akan berujung kerugian. Menang jadi arang, kalah jadi abu!

Pun demikian dengan ujaran kebencian ataupun provokasi. Apalagi, provokasi yang mengatasnamakan agama. Ambil contoh Suriah. Dulu, negara itu tenang dan nyaman, tapi kini berubah menjadi medan perang yang tak berkesudahan. Semua itu berawal dari provokasi atas nama agama. Syekh Adnan Al-Afyouni, ulama kenamaan Suriah mengatakan bahwa negara-negara di Timur Tengah, porak-poranda akibat perang saudara yang berawal dari provokasi bermotif agama.

Tentu, akan sangat berbahaya jika provokasi yang mengatasnamakan agama disebarkan melalui media sosial!

Bergerak Bersama

Mengingat berbahayanya hoax, ujaran kebencian dan provokasi di media sosial, Presiden Jokowi secara tegas mengajak masyarakat Indonesia agar memanfaatkan media sosial untuk hal-hal positif. Jangan sampai media sosial yang diakses separuh lebih penduduk Indonesia digunakan untuk menebar hoax, ujaran kebencian dan provokasi yang berujung pada kerusakan.

Jokowi juga mengajak agar media sosial diisi dengan pemberitaan yang penuh keteduhan dan kesejukan. Masyarakat Indonesia juga diajak untuk mengklarifikasi berita-berita hoax dan menutup segala ujaran kebencian yang ada di media sosial.

Himbauan dan ajakan Jokowi tersebut tentu langkah yang baik. Artinya, ia paham bahaya dari “wabah” digital berupa hoax, ujaran kebencian dan provokasi yang banyak tersebar di media sosial. Sudah seharusnya masyarakat Indonesia menyambut ajakan Presiden Jokowi dengan penuh semangat. Sebab, menjaga NKRI dari kehancuran akibat “wabah” digital adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas pemerintah saja. Oleh karenanya, masyarakat Indonesia harus bergerak bersama mengisi media sosial dengan hal-hal positif, melawan hoax dan menyapu bersih ujaran kebencian.

Langkah pemerintah lewat Kominfo yang mengajak masyarakat melaporkan konten berisi hoax, ujaran kebencian dan juga provokasi patut diapresiasi. Hanya saja, jangan sampai hal itu hanya formalitas belaka. Maksudnya, ketika masyarakat sudah melapor, akun-akun yang menyebarkan “wabah” digital tersebut harus segera diblokir. Pemerintah jangan hanya mengajak, tapi juga harus cepat dalam bertindak.

Terakhir, mari kita lawan segala hoax, ujaran kebencian dan provokasi di media sosial. Jangan beri ruang kelompok-kelompok yang ingin menghancurkan Indonesia. Benar kata Bung Karno, bahwa musuh kita hari ini sangat berat, karena melawan saudara sebangsa sendiri. Walaupun begitu, tanggung jawab untuk menjaga NKRI dari kehancuran tetaplah yang utama. Merdeka!

This post was last modified on 22 Desember 2020 11:28 AM

Nur Rokhim

Alumnus Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga. Aktif di Lembaga Ta’lif wa Nasyr (LTN) NU DIY.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago