Narasi

Mengasihi, Bukan Memprovokasi: Menghadirkan Akhlak Rasulullah di Media Sosial

Media sosial sudah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari aktivitas masyarakat sehari-hari. Bahkan, hari ini banyak masyarakat yang lebih banyak menghabiskan waktu sehari-hari di media sosial. Hal ini semakin mempertegas bahwa media sosial sudah menjada dunia baru bagi banyak kalangan.

Tak ayal jika realitas media sosial (maya) banyak mempengaruhi sikap dan cara berpikir orang. Artinya, konten media sosial yang sehat, mencerahkan, menyejukkan dan mendamaikan akan berbanding lurus dengan realita di dunia nyata. Sebaliknya. Jika dunia maya dijejaki oleh konten-konten provokasi, hoax, agitasi, saling membenci dan memecah-belah, maka kehidupan nyata pun akan dengan cepat berubah menyesuaikan dunia maya. Seringkali anarkistis, bahkan paham radikal, akarnya dari media sosial.

Jika dicermati secara seksama, dinamika media sosial hari ini lebih banyak dijadikan sebagai alat yang efektif oleh oknum tertentu untuk melakukan provokasi dan memecah belah. Saling hujat, merendahkan dan memprovokasi menjadi suatu hal yang gampang kita temui. Celakanya lagi, media sosial sudah banyak ‘dikendalikan’ oleh kelompok radikal.

Narasi provokasi di tengah pandemi yang sering viral menjadi salah satu indikaor kuat bahwa kelompok radikal sudah mulai memegang ‘kendali’ wacana atau isu di media sosial. Akhlak yang menjadi benteng terakhir dalam mewujudkan keadaban dan peradaban yang sejuk, kini sulit ditemukan lagi. Masyarakat mudah menghujat, marah, dan tidak segan-segan melakukan perundungan terhadap orang yang berbeda pendapat.

Menghadirkan Akhlak Rasulullah

Dalam situasi yang jauh dari kata ideal tersebut, penting kiranya masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam mengambil langkah arif nan bijaksana dalam menyikapi persoalan mutakhir ini. Akhlak Rasulullah harus dihadirkan dalam dunia media sosial.

Akhlak harus menjadi perisai dan ada dalam setiap diri seorang muslim, terutama ketika menjalankan aktivitas di media sosial yang sudah semakin brutal. Akhlak karimah yang diajarkan Rasulullah harus dipraktekkan dalam aktivitas bermedia agar media sosial, sebagaimana himbauan Presiden Jokowi, dapat dimanfaatkan untuk kebaikan umat dengan cara mengisi konten media sosial dengan konten yang menyejukkan, meneduhkan dan mendamaikan.

Terkait hal di atas—meskipun berbeda konteks namun memiliki spirit sama, berikut penulis hadirkan sebuah kisah luar biasa yang datang dari Rasulullah, terutama berkaitan denga  akhlak beliau yang sangat penyayang terhadap umat manusia.

Mengasihi atau sifat kasih sayang termasuk akhlak Rasulullah SAW hasil didikan langsung Rab-Nya serta bimbingan kitab suci-Nya. Dalam QS. At-Taubah ayat 128 disebutkan bahwa Rasulullah amat belas kasihan lagi penyayang terhadap manusia.

Berkaitan dengan hal tersebut, ada kisah yang amat populer di kalangan umat Islam, terutama di pesantren. Suatu ketika, Rasulullah sedang melakukan perjalanan di pusat kota bersama dengan istrinya, Sayyidah Aisyah. Pada saat itu, Rasulullah dan istrinya berjumpa dengan sekelompok orang Yahudi, yang berlagak baik karena menyapa Rasulullah tetapi sesungguhnya mereka membenci Rasulullah.

Kebencian mereka terhadap Rasulullah dilampiaskan dengan melontarkan kata “As-Samu’alayk” kepada Rasulullah. Kata tersebut berarti: “Semoga kematian segera menemui dirimu.” Orang-orang Yahudi tersebut sengaja memplintir “Assalamu’alaykum” yang berarti salam perdamaian menjadi salam cacian, bahkan termasuk kutukan.

Rasulullah tenang, sama sekali tidak terprovokasi oleh sekelompok Yahudi yang ‘menghina’ Rasulullah. Bahkan Rasulullah malah membalas ucapan sekelompok Yahudi itu dengan senyuman sembari mengucapkan “Wa’alaykum salam” (begitu juga denganmu”.

Mendengar dan melihat perlakuan tersebut, Sayyidah Aisyah yang berada di samping Rasulullah segera merespons sekelompok Yahudi yang berkata kotor dan menyakitkan itu dengan ekspresi kesal—tak terima—lantaran suaminya mendapat perlakuan yang tak elok itu.

“Ya, semoga kematian menyertaimu, bersama dengan kutukan Allah dan murka-Nya,” jawab Sayyidah Aisyah dengan nada cukup tinggi lantara ‘turut’ terpancing perkataan atau kutukan dari sekelompok Yahudi kepada Rasulullah.

Melihat reaksi yang diberikan oleh Sayyidah Aisyah kepada sekelompok Yahudi itu, Rasulullah lantas menenangkan istrinya agar tetap berkata lembut kepada mereka yang secara terang-terang menghina.

Begitulah akhlak Rasulullah. Meskipun provokasi datang bertubi-tubi, tetapi beliau tetap bersikap arif dan malah mengasihi mereka. Hal ini sejalan dan konsisten dengan sabda beliau: “Sesungguhnya orang yang tidak memiliki kasih sayang, ia tidak akan dirahmati (Allah SWT)”, (HR. Ahmad dan lain-lain).

Di lain waktu, Nabi Muhammad juga menekankan akan sikap lemah lembut. Nabi SAW bersabda, “Kelembutan yang ada dalam segala sesuatu akan menyeimbangkannya, dan kekerasan dalam segala sesuatu akan memperburuknya.” (HR. Muslim).

Mengasihi menjadi prinsip utama dakwah Rasulullah. Dengan sikap mengasihi dan lemah lembut, akan efektif dalam menyelesaikan banyak persoalan. Lain hal jika sikap keras yang diambil, niscaya akan berpotensi menimbulkan masalah baru. Oleh sebab itulah, Allah berfirman: “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran [3]: 159).

Sesungguhnya tidak hanya kisah yang disebutkan di atas saja, akan tetapi ada banyak kisah dan teladan Rasulullah terkait dakwah secara santun dan lemah lembut lainnya.

Namun demikian, apa yang penulis uraian di atas kiranya sudah memberikan gambaran yang jelas akan sifat mengasihi, bukan memprovokasi menjadi salah satu faktor utama kesuksesan dakwah Rasulullah, sehingga kita sebagai umat beliau, bisa mencontohnya. Dan yang demikian ini bukan merupakan sebuah pengetahuan saja yang cukup diri sendiri yang mengetahuinya, melainkan akhlak Rasulullah tersebut harus kita teladani dan hadirkan dalam setiap aktivitas sehari-hari, terutama di media sosial.

This post was last modified on 22 Desember 2020 11:29 AM

Fauziyah S

Aktif bergerak di bidang sosial dan isu-isu perempuan serta perdamaian, tinggal di Semarang, Jawa Tengah.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

14 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

14 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

14 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

14 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago