Radikalisme dan terorisme layaknya wabah penyakit yang sukar diberantas. Ia berkembang biak dan beranak-pinak dalam senyap serta kerapkali lihai berkamuflase menghindar dari pantauan publik dan aparat keamanan. Tulisan Farhah Sholihah di Kanal Suara Kita Jalandamai.org berjudul “Tetanggaku Ternyata Teroris: Pentingnya Deteksi Dini Berbasis Komunitas” secara apik mendedahkan fenomena tersebut. Layaknya virus, ideologi radikal secara tidak kasat mata berkembang di sekitar kita, menginfiltrasi orang-orang terdekat kita; teman, tetangga bahkan keluarga.
Sama halnya dengan memberantas wabah penyakit yang membutuhkan pencegahan sejak awal, menanggulangi radikalisme juga membutuhkan kesiapsiagaan dan sistem deteksi dini yang memadai di tingkat masyarakat paling bawah. Perjuangan melawan gerakan radikal-ekstrem harus menjadi komitmen bersama yang harus mewajibkan partisipasi seluruh eksponen bangsa, tidak terkecuali masyarakat yang berada di lapisan paling bawah dalam struktur birokrasi kenegaraan. Mengingat, radikalisme dan terorisme sebagaimana disebut oleh Robert W. Hefner merupakan “the most troubling development in the new Indonesia”.
Terorisme dan radikalisme memang bukan hanya monopoli satu agama saja, melainkan hampir ada di semua agama. Namun demikian, harus diakui bahwa di beberapa dekade belakangan Islam merupakan agama yang lekat dengan stigma radikalisme dan terorisme. Peristiwa teror 11 September 2001 di Amerika Serikat turut andil dalam munculnya anggapan bahwa Islam merupakan agama yang identik dengan teror dan kekerasan. Stigma Islam sebagai agama kekerasan dan teror ini juga mau tidak mau menyasar ke komunitas muslim di Indonesia.
Pasca serangan Bom Bali I tahun 2002, stigma Indonesia sebagai sarang teroris pun tidak terhindarkan. Terlebih pasca serangan Bom Bali I, kelompok-kelompok Islam radikal garis keras justru kian menunjukkan eksistensinya di ruang publik kita. Kini, kita dihadapkan pada tantangan tidak ringan ihwal bagaimana menghadapi infiltrasi radikalisme dan terorisme yang telah bertransformasi dan bermetamorfosis sedemikian rupa hingga sukar dilacak, diidentifikasi dan dideteksi.
Menjinakkan Gerakan Radikal
Seperti kita tahu, jejaring gerakan radikal-teroris telah menjangkau nyaris seluruh lapisan dan kelompok masyarakat. Jaringan itu mirip seperti sel tidur yang tidak tampak mencolok di muka publik namun pergerakan bawah tanahnya cukup mengkhawatirkan. Berkali-kali kita “kecolongan” oleh aksi-aksi teror tak terduga yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Jamaah Ansharud Daulah (JAD), Jamaan Islamiyyah (JI), Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan sejenisnya. Gus Martin dalam bukunya Understanding Terrorism: Challenges, Perpsectives and Issues, mengungkapkan bahwa aksi kekerasan dan teror atas nama agama mustahil diprediksi kapan dan dimana terjadi. Namun, aksi itu bisa dicegah dengan jalan mendeteksi keberadaan gerakan ekstremis-radikal dan “menjinakkannya” ketika masih berwujud embrio.
Lema “menjinakkan” yang dipakai oleh Martin ini menarik kita elaborasi lebih lanjut. Selama ini, dalam isu pemberantasan terorisme, kita lebih akrab dengan kata “melumpuhkan” ketimbang “menjinakkan”. Istilah “melumpuhkan” cenderung mengacu pada makna mengatasi terorisme melalui pendekatan hukum dan keamanan, seperti memburu, menangkap dan memenjarakan pelaku teror dan jaringannya. Pendekatan ini cenderung hanya mengatasi persoalan terorisme dalam jangka pendek, dan bukan tidak mungkin justru melahirkan lingkaran setan kekerasan baru yang sukar diputus. Sedangkan istilah “menjinakkan” sebagaimana ditawarkan Martin lebih merujuk pada upaya mencegah sejak dini.
Dalam konteks Indonesia, upaya “menjinakkan” radikalisme dan terorisme itu harus kita akui belum maksimal. Persoalan terorisme dan radikalisme selama ini cenderung dipahami dalam bingkai isu keamanan nasional dimana Polri dan TNI sebagai ujung tombaknya. Hal ini memang tidak salah. Namun, patut diingat bahwa radikalisme dan terorisme mustahil menjadi jejaring gerakan yang besar dan solid kecuali mendapat ruang gerak yang leluasa di masyarakat. Ruang gerak itu tercipta lantaran masyarakat cenderung abai pada pentingnya mekanisme deteksi dini terhadap radikalisme dan terorisme.
Spirit Gotong Royong Mencegah Radikalisme
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang komunal dengan semangat gotong royong yang kuat. Semangat komunalisme dan gotong royong itulah yang idealnya kita manfaatkan untuk membangun mekanisme deteksi dini mencegah radikalisme di lingkup masyarakat. Deteksi dini radikalisme harus dipahami sebagai kerja kolaboratif yang melibatkan seluruh unsur masyarakat, mulai dari keluarga, institusi pendidikan, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan serta stakeholder lainnya. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat merupakan institusi domestik yang berperan penting dalam mendeteksi gejala radikalisme keagamaan terutama di kalangan generasi muda, kelompok yang selama ini menjadi sasaran utama propaganda kaum radikal. Dalam konteks ini, peran orang tua dalam mengawasi perkembangan sosial-keagamaan anak-anaknya menjadi sangat penting. Orang tua perlu mendeteksi penyimpangan perilaku keagamaan anak-anaknya.
Begitu pula institusi pendidikan dan lembaga kemasyarakatan dan keagamaan yang hendaknya membangun sensitivitas untuk mendiagnosa gejala radikalisme di lingkup masyarakat secara luas. Dalam konteks ini, penting untuk mengingat pernyataan Nurcholis Madjid (1994) bahwa gejala radikalisme agama bukanlah masalah keagamaan murni, melainkan juga berkelindan dengan gejala sosiologis-politis. Pernyataan itu mendapat kontekstualisasinya dalam konteks kekinian dimana kondisi sosial dan politik kita mengalami sejumlah persoalan serius yang berakibat pada kian mewabahnya gerakan radikal-ekstrem.
Kondisi sosiologis yang penuh dengan segregasi, bahkan kesenjangan telah membuat ideologi radikal mendapatkan simpati publik luas. Kondisi ini sejalan dengan tesis Thomas Sowell yang menyebut bahwa di kondisi masyarakat yang diwarnai kesenjangan sosial, ideologi subversif dan radikal dipastikan akan tumbuh subur. Demikian pula fanatisme politik yang menguat belakangan ini juga dimanfaatkan kaum radikal untuk kian menancapkan dominasinya di ranah publik. Keterbelahan sosial akibat fanatisme keagamaan dan polarisasi politik membuat masyarakat abai pada infiltrasi ideologi yang berkembang di sekitarnya. Isu-isu sosial-politik yang menyita perhatian publik telah membuat masyarakat lalai dan kecolongan terhadap manuver dan sepak terjang kaum radikal.
Masa transisi demokrasi ini memang membuat masyarakat menjadi rapuh (fragile). Kerapuhan itu menjadi angin segar bagi kaum radikal-teroris. Maka, diperlukan konsolidasi masyarakat untuk mengoptimalkan spirit gotong royong menangkal radikalisme. Spirit gotong royong yang kita warisi dari kebudayaan luhur Nusantara idealnya menjadi modal mengembangkan corak keberagamaan dan relasi sosial yang bertumpu pada pluralisme, yakni penghargaan dan pengakuan terhadap kebinekaan. Paradigma keberagamaan pluralistik secara otomatis akan membentuk mekanisme deteksi dini menghalau radikalisme. Arkian, penerbitan Perpres RAN PE beberapa waktu lalu kiranya turut andil membangkitkan kembali spirit gotong royong menghadapi wabah radikalisme.
This post was last modified on 25 Januari 2021 11:49 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…