Keagamaan

Mekanisme Kerja Khalifah sebagai Cerminan Demokrasi Islam Berkeadilan

Pada fase peradaban Islam awal, gelar ‘khalifah’ merujuk kepada mereka yang dipercaya sebagai penerus Nabi Muhammad dalam hal pengelolaan negara untuk menyejahterakan masyarakat. Orang yang mengemban amanah sebagai ‘khalifah’, dengan demikian, harus merujuk pada napak tilas kebijaksanaan Nabi Muhammad.

Meski begitu, khalifah berbeda dengan Nabi. Sementara Nabi itu ma’shum dan yang ‘melantik’ adalah Tuhan, khalifah terikat erat dengan sistem sosial. Itulah kenapa ekspresi persetujuan umat untuk seorang khalifah terejawantah melalui bai’at.

Bai’at merupakan keniscayaan bagi seorang khalifah karena legitimasi kekuasaannya bersumber melalui bai’at tersebut. Bai’at dilakukan oleh ahlul ḥalli wal ‘aqd yang berisi para cendekiawan serta tokoh umat. Ahlul ḥalli wal ‘aqd sendiri merupakan representasi kepentingan umat atau masyarakat.

Sebagai gantinya, kekuasaan khalifah akan terus dipantau oleh masyarakat dan oleh karena itu harus siap jika mendapat masukan dan kritik jika ada kebijakan yang berpeluang merugikan kepentingan umum. Ringkasnya, seorang khalifah tidak bisa bertindak sewenang-wenang.

Dalam batas tertentu, rakyat juga harus ikut berpartispasi bersama sang khalifah dalam mengelola kekuasaan. Seorang pakar sejarah Islam, Yusuf al-Isy, mengatakan bahwa seorang khalifah biasanya akan memilih beberapa orang dari kalangan umat yang bisa dijadikan tempat konsultasi, bermusyawarah, dan bahkan bertukar pikiran. Orang-orang kredibel yang diseleksi khalifah tersebut kemudian terkumpul dalam dewan atau yang biasa disebut majelis syura bagi institusi kekhalifahan. Majelis itu merupakan hak prerogatif khalifah dan bukan hasil pilihan rakyat.

Jadi di sini rakyat ikut terlibat, baik dalam pemberian kekuasaan kepada khalifah melalui bai’at dan proses pengawasan terhadap kinerja khalifah jika ia bersalah dalam majelis syura. Mekanisme tersebut berlangsung dalam bingkai ‘demokrasi’ sistem khilafah. Juga, ia berlangsung dalam bingkai otoritas di mana khalifah adalah pihak yang akan ‘mengetok palu’, sehingga apa yang ia putuskan itulah yang dipatuhi.

Misalnya adalah apa yang pernah terjadi ketika sekelompok warga menyoal kebijakan kontroversial Utsman bin Affan dalam kasus Baitul Māl. Ketua Dewan Pengelola Baitul Māl, yang pada masa Umar dikelola dan dijabat oleh Abdullah bin Arqam, yang terkenal sangat jujur dan kredibel dalam mengelola Baitul Māl, ditiadakan di masa Khalifah Utsman. Selanjutnya, pengelolaan Baitul Māl ditangani langsung oleh sang khalifah.

Kebijakan itu dikecam oleh tokoh-tokoh masyarakat. Kecaman tersebut muncul karena Abdullah bin Arqam dikenal sebagai orang yang sangat jujur dan sangat disiplin dalam menjalankan tugas. Bukan hanya itu. Pengelolaan Baitul Māl yang langsung ditangani Utsman bin Affan mengalami kemunduran dari sisi manajerial kelembagaan.

Kekuasaan khalifah dalam hal ini tidaklah diwariskan dan tidak bersinambung kepada orang atau golongan tertentu. Hal ini menunjukkan sisi demokratis yaitu bersifat terbuka untuk dimiliki rakyat, dan setiap rakyat berhak menjadi khalifah, jika memang benar ia memiliki kredibilitas dan kapasitas yang dibutuhkan sebagai seorang khalifah.

Perlu dicatat, seorang khalifah mempunyai kekuasaan yang sangat luas. Kita tidak akan bisa mendapati pembagian kekuasaan dan pembatasannya dalam konsep Khulafaur Rasyidin, sebagaimana yang kita pahami saat ini bahwa ada tiga macam kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada pemerintahaan masa itu, ketiga kekuasaan tadi berada di tangan sang khalifah.

Meski demikian, dia bisa melakukan pendelegasian kekuasaan kepada yang lain, seperti bisa mewakilkan kekuasaan yudikatif kepada seorang hakim (qāḍi). Namun hakim qāḍi harus mengikutinya, dan seorang khalifah berhak menggantinya dengan orang yang lain kapan saja sang khalifah menginginkannya. Begitu juga kekuasaan legislatif yang juga merupakan hak kekuasaan khalifah, tapi tetap pada koridor Al-Qur’an dan Hadis. Kekuasaan eksekutif juga berada dalam kuasa khalifah dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh syara’.

Sedangkan untuk jabatan menteri, yang biasa kita pahami dalam sistem pemerintah sekarang, tidak ditemukan dalam negara khilafah. Namun fungsi sebagai pembantu khalifah, dalam prakteknya, ditemukan karena biasanya seorang khalifah dibantu oleh para tenaga ahli dari para sahabat. Sebagai contoh Umar adalah menteri di masa pemerintahan Abu Bakar, dan Utsman adalah menteri di masa khalifah Umar bin Khattab.

Khalifah memberi kewenangan penuh kepada para ‘menteri’-nya untuk mengangkat beberapa orang yang dipercaya untuk menjalankan tugas-tugas dan menangani urusan-urusan yang ada di bawah. Misalnya, mengambil kewajiban zakat, sadaqah, pajak, serta menjalankan kewenangan peradilan, pembangunan, pertahanan (militer) dan semacamnya. Namun tetap saja, khalifah adalah kepala atau pimpinan dalam segala hal, sedang lainnya menjalankan fugas bersama khalifah tapi tidak memiliki kewenangan yang luas.

Dalam arti lain, khalifah memiliki kuasa absolut terhadap negara dan rakyatnya. Namun, tentu kita tidak bisa memandang ‘absolutisme’ ini sebagai hal yang negatif karena bagaimanapun keempat khalifah di era Khulafaur Rasyidin adalah para sahabat yang telah dijamin surga oleh Allah. Oleh karena itu, sistem pembagian kuasa trias politica yang semuanya mengacu pada otoritas khalifah tidak perlu diperdebatkan lagi, karena berangkat dari Al-Qur’an dan Hadis serta ijtihad mereka dalam kapasitas sebagai sahabat Nabi.

Bersama dengan lahirnya era negara bangsa, sistem khilafah tidak serta merta diterjemahkan secara letterlek sebagai konsep pemerintahan ‘alā minhāj an-nubuwwah. Islammemang menyinggung pentingnya politik kebangsaan. Namun faktanya tak satupun nash Islam yang menyebut implisit soal sistem khilafah. Mekanisme khilafah di fase awal peradaban Islam bisa menjadi landasar moral untuk mengambil esensi dari politik kebangsaan yang menjadi perhatian Islam tersebut.

This post was last modified on 23 November 2023 11:02 AM

Haris Fatwa

Pegiat Kontra Narasi dan Moderasi Beragama

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

21 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

21 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

21 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

21 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago