Dalam kehidupan beragama yang majemuk, kasih sayang antar umat beragama menjadi esensi penting untuk menjaga perdamaian dan persaudaraan. Setiap agama pada dasarnya mengajarkan cinta kasih, baik kepada sesama umat beragama maupun kepada mereka yang berbeda keyakinan. Sayangnya, sebagian kelompok keagamaan justru menunjukkan sikap al-wala’ wal-bara’ yang berlebihan, yang malah mempertegas batas-batas dan jarak antar kelompok, memicu polarisasi yang rentan menimbulkan konflik.
Al-wala’ wal-bara’, yang dalam tradisi Islam berarti loyalitas kepada sesama muslim dan pelepasan dari yang dianggap sebagai musuh Islam, sering disalahpahami oleh kelompok-kelompok tertentu. Ketika konsep ini diterapkan secara ekstrem, ia menciptakan tembok pembatas yang memisahkan umat Islam dari umat beragama lain. Alih-alih membangun jembatan kasih sayang dan persaudaraan antar manusia, konsep ini disalahgunakan untuk memperkuat eksklusivitas kelompok tertentu, yang tidak sejalan dengan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Pengamalan ajaran al-wala’ wal-bara’ yang berlebihan sering kali mengambil dua bentuk ekstrem yang bertentangan. Kekeliruan dalam memahami ajaran ini menyebabkan sebagian pihak memaknainya secara sempit sebagai sikap sosial dan politik yang eksklusif serta intoleran (ifrath). Bahkan, dalam beberapa kasus, interpretasi yang ekstrem berkembang menjadi ekstremisme dan radikalismeyang diwujudkan melalui kekerasan dan tindakan teror.
Kita perlu merenungkan kembali makna persaudaraan antar umat manusia yang sejatinya melampaui batas-batas agama, suku, dan bangsa. Agama bukanlah alasan untuk memecah belah, melainkan sarana untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan dan makhluk lainnya. Sikap kasih sayang lintas agama adalah cerminan dari rasa kemanusiaan yang lebih mendalam, bahwa di atas segalanya, kita adalah makhluk yang memiliki hak yang sama untuk hidup damai dan sejahtera.
Pentingnya kasih sayang antar umat beragama ini selaras dengan pemikiran Karen Armstrong, dalam bukunya The Case for God (2009). Armstrong menegaskan bahwa inti dari semua tradisi agama adalah kasih sayang, dan bahwa perbedaan agama seharusnya tidak menjadi pemicu perpecahan, melainkan sebuah peluang untuk memperkaya pemahaman kita akan kemanusiaan.
Menurutnya, konflik yang muncul akibat perbedaan agama sering kali bukan karena ajaran agama itu sendiri, melainkan karena interpretasi yang sempit dan radikal dari para penganutnya. Armstrong mendorong agar umat beragama kembali ke akar-akar belas kasih yang diajarkan oleh para nabi dan pendiri agama, karena hanya melalui kasih sayang kita bisa mencapai perdamaian sejati.
Sikap al-wala’ wal-bara’ yang ekstrem justru membuka ruang gelap bagi ketegangan dan konflik yang tidak perlu. Ketika orang memusatkan perhatian pada loyalitas sempit terhadap kelompok mereka sendiri, mereka kehilangan kesempatan untuk mengenal dan menghargai kemanusiaan di luar kelompok itu. Kasih sayang lintas agama harus dilihat sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai perbedaan, mengingat bahwa pada intinya, semua manusia diciptakan untuk saling mengasihi.
Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia baru-baru ini menjadi contoh nyata bagaimana sikap kasih sayang dan welas asih antar umat beragama dapat memperkuat persaudaraan lintas keyakinan. Paus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin agama yang sangat peduli terhadap semua manusia tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau kebangsaan. Dalam berbagai kesempatan, ia selalu menekankan pentingnya dialog lintas agama, kerendahan hati, dan kepedulian terhadap sesama, terutama mereka yang lemah dan tertindas. Welas asih yang ia tunjukkan dalam sikap dan perkataannya tidak hanya menjadi inspirasi bagi umat Katolik, tetapi juga bagi semua orang yang ingin membangun dunia yang lebih damai dan penuh cinta kasih.
Selaras dengan Indonesia yang memiliki keberagaman agama, sikap kerendahan hati dan penuh kasih menjadi semakin krusial. Sebenarnya keragaman yang dimiliki oleh Indonesia merupakan bentuk kekayaan yang harus mampu di jaga dengan rasa saling menghirmati dan toleransi. Jika masyarakat dan pemerintahan Indonesia tidak dapat menjaga perbedaan yang ada, maka perbedaan ini justru akan menjadi bom waktu yang dapat memecah belah bangsa. Oleh karena itu, penting bagi setiap kelompok agama untuk mengedepankan sikap welas asih terhadap sesama, alih-alih memperkuat sekat-sekat yang ada.
Kasih sayang antar umat beragama bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah tindakan nyata untuk menunjukkan bahwa persaudaraan universal lebih penting daripada perbedaan keyakinan. Dalam setiap pertemuan, dialog, dan kerja sama lintas agama, semangat kasih sayang inilah yang seharusnya menjadi pedoman. Kita perlu belajar dari sejarah bahwa konflik agama tidak pernah membawa kedamaian, dan justru dialog yang dilandasi kasih sayanglah yang mampu menyatukan berbagai perbedaan.
Dengan kembali kepada esensi kasih sayang yang diajarkan oleh setiap agama, kita bisa membangun dunia yang lebih damai dan bersatu. Seperti yang dikatakan oleh Karen Armstrong, “Agama tidak seharusnya menjadi alasan untuk perpecahan, tetapi untuk membangun sebuah komunitas global yang saling mengasihi dan peduli satu sama lain.”
This post was last modified on 12 September 2024 1:16 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…