Narasi

Melawan Amnesia Pancasila; Dari Ego Sektarian ke Perilaku Intoleran

Hari-hari belakangan ini lanskap sosial-keagamaan kita diwarnai oleh banyaknya kasus intoleransi. Mulai dari kasus video viral seorang ASN Pemkot Bekasi yang melarang tetangga non-muslim melakukan kegiatan keagamaan. Sampai kasus pelarangan kegiatan ibadah di Wihara di Cengkareng, karena dianggap mengganggu warga sekitar.

Dua kasus itu tentu melibatkan oknum umat Islam sebagai pelakunya. Artinya, di sini umat mayoritas menjadi subyek intoleransi. Namun demikian, mayoritas tidak selamanya menjadi subyek intoleransi. Ada kalanya mayoritas juga menjadi obyek intoleransi. Seperti tampak di media sosial, dimana ada oknum-oknum umat Kristen yang kerap menjadikan ajaran dan simbol Islam sebagai bahan ejekan atau olokan.

Perilaku intoleransi, baik yang dilakukan oleh kelompok mayoritas maupun minoritas merupakan gejala amnesia Pancasila. Amnesia seperki kita tahu merupakan penyakit hilang ingatan dimana manusia tidak lagi mampu mengingat peristiwa atau informasi yang terjadi di masa lalu. Amnesia biasanya terjadi karena adanya sebab tertentu, seperti benturan pada kepala, penyakit kronis, dan sebagainya.

Amnesia Pancasila dengan demikian bisa diartikan sebagai ketidakmampuan bangsa dalam mengingat hakikat Pancasila sebagai produk pemikiran para pendiri bangsa di masa lalu. Penyebabnya juga beragam, antara lain kian derasnya arus globalisasi yang membawa kultur dan pemikiran asing, menguatnya fanatisme agama, dan faktor lainnya.

Amnesia Pancasila ini tampak jelas di kalangan generasi Z. Kelompok yang mendapat juga kerap dijuluki sebagai Generasi TikTok, ini mengalami gejala amnesia yang cukup parah. Di permukaan, banyak generasi Z yang bahkan tidak hafal redaksi Pancasila. Mereka kesulitan menyebutkan satu per satu sila dalam Pancasila.

Lebih parahnya lagi, sebagian dari mereka juga tidak lagi menganggap Pancasila sebagai ideologi yang relevan untuk Indonesia. Hal ini terungkap dari sejumlah survei yang mendapati fakta bahwa banyak generasi Z yang justru menganggap ideologi agama (Islam) sebagai ideologi yang relevan dan harus diterapkan di Indonesia.

Sindrom amnesia Pancasila di kalangan generasi Z ini tentu patut dikhawatirkan. Ketidakmampuan generasi Z memahami dan mengartikulasikan Pancasila adalah persoalan serius. Apalagi bangsa Indonesia tengah mematok target terwujudnya Indonesia Emas 2045. Target itu kiranya hanya bisa terwujud jika generasi Z nya mampu memahami dan mengartikulasikan Pancasila.

Pancasila; Perisai Ideologi dan Titik Temu Perbedaan

Mengapa pemahaman dan artikulasi Pancasila itu sangat penting? Alasan pertama, Pancasila merupakan perisai yang melindungi bangsa di tengah kontestasi ideologi global. Hal itu telah terbukti di dekade 1960an ketika kontestasi ideologi liberalisme-kapitalisme dan sosialisme-komunisme terlibat dalam konfrontrasi terbuka.

Peristiwa G30S pada dasarnya tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konteks pertarungan ideologi liberalisme di satu sisi dan komunisme di sisi lain. Blok Barat (Amerika dan sekutu) dan Blok Timur (Uni Sovyet) saling berebut dominasi untuk menguasai panggung politik dunia. Indonesia sebagai negara besar dan strategis pun terseret dalam perseteruan dua kutub raksasa tersebut.

Beruntung, setelah melewati ujian yang diwarnai tragedi kemanusiaan yakni tewasnya para jenderal di peristiwa G30S, Pancasila masih tetap eksis sampai sekarang. Atas dasar itulah, kita sampai hari ini memperingati Hari Kesaktian Pancasila saban tanggal 1 Oktober. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila adalah ikhtiar untuk merawat ingatan dan mencegah amnesia sejarah.

Ironisnya, peringatan ini setiap tahunnya nyaris tanpa gaung. Hal ini tampak pada sepinya perbincangan ihwal Hari Kesaktian Pancasila di berbagai platform media sosial. Media sosial adalah cerminan kehidupan generasi Z. Apa yang menjadi trending topic di dunia maya, itulah yang mencerminkan gagasan dan kecenderungan generasi Z.

Alasan kedua, Pancasila menjadi titik temu berbagai identitas kesukuan dan keagamaan yang eksis di Indonesia. Dengan Pancasila, kita dimungkinkan untuk menegosiasikan dan mengkompromikan perbedaan identitas itu sehingga tidak timbul konflik sektarian. Selama ini, kita terjebak pada ego sektarian yang rawan konflik, karena gagal memahami dan mengartikulasikan Pancasila.

Melawan amnesia Pancasila adalah tugas bersama. Pemerintah selama ini bekerja keras untuk memastikan seluruh kelompok masyarakat mampu memahami dan mengartikulasikan Pancasila. Misalnya dengan mendirikan lembaga seperti BPIP yang gencar mensosialisasikan Pancasila ke kalangan muda milenial dan generasi Z.

Upaya birokratis itu tentu harus disambut oleh inisiatif yang sifatnya berbasis pada gerakan sipil. Maka, elemen masyarakat sipil mulai dari kaum intelektual, tokoh agama, atau influencer idealnya juga ikut andil melawan amnesia Pancasila ini. Bangsa ini membutuhkan gerakan kolektif untuk memulihkan ingatan pada Pancasila.

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago