Narasi

Memecah Gelembung Fanatisme di Media Sosial

Fanatisme itu ibarat minuman keras yang memabukkan. Daripada aspek kebermanfaatannya, fanatisme justru lebih sering memicu kekerasan yang berujung pada kemudaratan yang lebih besar. Sejarah telah mencatat banyak contoh tragis tentang bagaimana fanatisme dapat memporak-porandakan peradaban dengan berbagai bentuk kekerasan. Perang saudara, genosida, dan terorisme adalah beberapa di antaranya.

Kecenderungan manusia untuk membela sesuatu secara berlebihan tanpa mempertimbangkan rasionalitas dan dampak sosialnya sering kali memporak-porandakan tatanan sosial. Salah satu tamsil paling ironi dari fanatisme barangkali adalah pembunuhan Mahatma Gandhi.

Seorang pejuang kemerdekaan India yang masyhur dengan ajaran non-kekerasan (ahimsa) itu harus meregang nyawa di tangan seorang nasionalis sayap kanan, Nathuram Godse. Ironisnya, Gandhi justru tewas oleh seseorang yang begitu fanatik terhadap ideologi kebangsaan yang ia yakini.

Godse melihat Gandhi sebagai ancaman bagi India yang ia impikan. Dan sikap fanatisme inilah yang membuatnya merasa berhak untuk mengokang nyawa orang lain. Tiga peluru dari bedil Godse seketika mengakhiri hidup Gandhi. Peristiwa ini meninggalkan pelajaran penting: fanatisme dapat membutakan seseorang, bahkan terhadap kebenaran yang sangat jelas.

Selain Gandhi, musisi The Beatles John Lennon juga menemui gerbang ajalnya karena fanatisme salah satu penggemarnya. Lennon meninggal setelah tubuhnya dikoyak dua timah panas dari revolver berkaliber 38 mm milik penggemarnya, Mark David Chapman.

Fanatisme yang mendorong Chapman melakukan tindakan brutal ini sangatlah kompleks. Sebagai penggemar berat Lennon, Chapman merasa dikhianati oleh kehidupan Lennon yang ia anggap tidak sejalan dengan pesan-pesan idealisme dalam lagu-lagunya. Namun pada akhirnya perasaan kagum yang berlebihan terhadap Lennon justru berubah menjadi kebencian.

Dua contoh tragis itu menghamparkan pelajaran betapa destruktifnya fanatisme yang tidak terkendali. Walakin, kita sendiri bahkan sering kali tidak menyadari bahwa fanatisme tidak hanya ada di masa lalu atau dalam cerita-cerita babon dalam buku sejarah.

Saat ini, dengan kemajuan teknologi dan media sosial, fanatisme justru semakin mudah berkembang dan menyebar dengan cepat. Kita barangkali sering tidak menyadari bahwa dalam keseharian kita, kita bisa terjebak dalam pusaran fanatisme yang tersebar melalui berbagai platform media sosial.

Media sosial, yang awalnya dirancang untuk menghubungkan manusia dari berbagai belahan dunia, kini justru menjadi alat yang cukup efektif untuk mendeseminasi kebencian, misinformasi, dan tentunya fanatisme. Algoritma canggih yang ada di balik platform media sosial bekerja dengan cara mengidentifikasi minat dan preferensi kita, lalu menyajikan konten yang sesuai dengan pandangan dan keyakinan kita. Di titik inilah media sosial menciptakan sebuah “gelembung filter” di mana kita hanya menerima informasi yang mendukung keyakinan kita, dan secara perlahan menolak atau bahkan mengabaikan pandangan yang berbeda.

Fenomena ini jelas sangat berbahaya jika tidak segera disadarai. Media sosial pada titik tertentu bisa memperkuat fanatisme tanpa kita sadari. Berita bohong, hoaks, dan ujaran kebencian menyebar begitu cepat di dunia maya, terutama di antara kelompok-kelompok yang memiliki pandangan fanatik.

Lebih buruknya lagi, para aktor yang dengan sengaja mempolarisasi masyarakat memanfaatkan media sosial sebagai alat propaganda. Hasilnya, masyarakat mudah sekali terpecah. Ujaran kebencian begitu nyaring kedengarannya, dan lebih dari itu, orang jadi sulit menerima perbedaan pandangan. Dengan kondisi ini, ruang dialog yang sehat menjadi semakin sempit, sementara fanatisme semakin tumbuh subur.

Langkah Preventif

Fanatisme di media sosial tidak hanya terjadi dalam konteks politik, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan lainnya seperti agama, budaya, hingga olahraga. Bahkan, hal-hal yang awalnya bersifat sederhana bisa berubah menjadi fanatisme ekstrem ketika perbedaan pendapat dianggap sebagai ancaman eksistensial. Contoh nyata yang kita lihat saat ini adalah maraknya konflik di media sosial antara pendukung berbagai tokoh politik, selebriti, atau bahkan klub sepak bola. Perdebatan yang terjadi sering kali tidak lagi rasional, melainkan penuh dengan caci maki dan ujaran kebencian, yang justru semakin memperdalam polarisasi.

Menghadapi fanatisme yang semakin merajalela ini, rasanya kita perlu kembali ke khittah dasar yang mengajarkan toleransi dan kemanusiaan. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan benegara, Pancasila pada dasarnya menyediakan khazanah penting dalam menghadapi tantangan ini.

Dari Pancasila, misalnya, kita bahkan telah diberi panduan oleh para founding person untukmenjalani kehidupan yang rukun, terhormat dengan, salah satunya, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Nilai-nilai inilah yang dapat menjadi benteng pertahanan kita melawan fanatisme, terutama dalam era digital di mana informasi dapat dengan mudah dipelintir dan digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Lebih dari itu, kita juga perlu bersikap kritis menyikapi disrupsi informasi di ruang digital, terutama dari media sosial. Kesadaran bahwa algoritma media sosial sering kali hanya menyajikan informasi yang memperkuat pandangan kita, harus diimbangi dengan keinginan untuk keluar dari “gelembung filter” tersebut.

Mencari perspektif yang berbeda, berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki pandangan berlawanan, dan selalu membuka diri terhadap kemungkinan salah merupakan langkah awal untuk memerangi fanatisme. Sebab, jika kita terus terjebak dalam fanatisme, kita tidak hanya merusak hubungan antarindividu, tetapi juga berpotensi menghancurkan masyarakat dan bangsa kita.

Fanatisme, baik dalam bentuk kekaguman berlebihan maupun kebencian membabi buta, adalah ancaman yang nyata bagi keberagaman dan persatuan. Oleh karena itu, kita harus selalu waspada, menjaga akal sehat, dan tidak pernah membiarkan fanatisme menguasai diri kita. Karena pada akhirnya, fanatisme hanya akan membawa kita pada jalan yang penuh dengan konflik, kekerasan, dan kehancuran.

Yasmeen Mumtaz

Recent Posts

Beragama dengan Ilmu: Menyusuri Jalan Kebenaran, Bukan Sekadar Militansi

Beragama adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan banyak individu. Ia menjadi landasan spiritual yang memberi…

6 jam ago

Iman Itu Menyejukkan, Bukan Menciptakan Keonaran

Iman adalah salah satu anugerah terbesar yang diberikan Allah kepada umat manusia. Ia adalah pondasi…

6 jam ago

Kedewasaan Beragama, Menata Rasa Sesama

Nuladha laku utama Tumrape wong Tanah Jawi Wong agung ing Ngeksiganda Panembahan Senopati Kepati amarsudi…

6 jam ago

Waspada Kebangkitan Ormas Intoleran dan Ancaman Kerukunan di Sulawesi Selatan

“Kita perang saja! Tentukan saja, kapan dan di mana perangnya?” “Biar saya sendirian yang pimpin…

1 hari ago

Melawan Amnesia Pancasila; Dari Ego Sektarian ke Perilaku Intoleran

Hari-hari belakangan ini lanskap sosial-keagamaan kita diwarnai oleh banyaknya kasus intoleransi. Mulai dari kasus video…

1 hari ago

Refleksi Kesaktian Pancasila: Pilar Keteguhan Bangsa dalam Menghadapi Tantangan

Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, bukan sekadar rangkaian kata dalam lima sila. Ia adalah nafas…

2 hari ago