Narasi

Melestarikan Wayang untuk Membendung Ideologi Transnasional

Kalau kita kuliti sejarah perkembangan Islam di Nusantara, wayang tak hanya merupakan karya seni kearifan lokal, tetapi juga media dakwah Sunan Kalijaga yang terbilang sukses mengenalkan wajah Islam yang ramah dan rahmah ke masyarakat. Islam pun mudah masuk dan juga diterima oleh masyarakat kala itu. Dan hari ini, bangsa kita kerap dihadapkan serangan ideologi transnasional yang tak sejalan dengan ideologi bangsa, Pancasila. Tentunya wayang sangat potensial sekaligus strategis sebagai media untuk membendung arus ideologi transnasional tersebut.

Itu artinya juga penanaman nilai-nilai luhur Pancasila dapat dilakukan dengan media wayang melalui cerita ataupun penggambaran tokoh. Dengan wayang pula kita bisa menyisipi ceritanya dengan nilai-nilai kebangsaan. Selain itu juga kita bisa menyisipi cerita tentang nasionalisme.

Nasionalisme bangsa Indonesia kita pupuk melalui seni pewayangan. Dan ini patut dilakukan sejak dini, sebab ada indikasi bahwa generasi muda saat ini banyak yang terpengaruh ideologi transnasional yang nampak lebih modern dan mengemasnya dengan menarik. Padahal, nilai-nilai kearifan lokal wayang bukanlah seni yang usang (kadaluarsa), ketinggalan zaman, sehingga tidak menarik minat. Wayang merupakan salah satu kearifan lokal kekayaan bangsa yang dinamis. Kita harus bangga memilikinya.

Ketika banyaknya problem kebangsaan di kalangan masyarakat baik lewat pemberitaan televisi, internet, surat kabar, maupun sosial media. Bahwa keadaan tersebut semua cenderung disebabkan karena virus ideologi transnasional. Dengan melalui media wayang kita bisa mengukuhkan rasa nasionalisme kebangsaan serta menangkal ideologi transnasional itu.

Strategi dakwah Walisongo dengan wayang bukanlah semata-mata karena perombakan Islam yang dianggap bid’ah oleh kaum radikal. Namun, karena adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada. Wayang adalah media dakwah Islam pembangun karakter bangsa yang tak kaku seperti ideologi transnasional yang cenderung menampakkan wajah Islam yang ekstremisme dan takfirisme.

Dalam sejarah banyak dibuktikan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan Islam di Jawa adalah Wayang. Para tokoh punakawan juga berfungsi sebagai pamomong (pengasuh) untuk tokoh wayang lainnya. Pada prinsipnya setiap manusia butuh yang namanya pamomong, mengingat lemahnya manusia. Pamomong dapat diartikan pula sebagai pelindung. Tiap manusia hendaknya selalu meminta lindungan kepada Allah SWT, sebagai sikap introspeksi terhadap segala kelemahan dalam dirinya.

Penggunaan media wayang dalam menangkal ideologi transnasional sangat diperlukan untuk memahamkan masyarakat modern saat ini mana yang hitam dan mana yang putih secara jelas. Wayang juga merupakan kesenian yang dapat ditonton oleh semua kalangan masyarakat hampir seluruh nusantara. Kesenian tersebut juga memberikan banyak pesan-pesan moral dalam cerita wayang yang dapat diterima baik oleh masyarakat dan diharapkan bisa diaplikasikan oleh masyarakat setempat.

Oleh karenanya, pengenalan tokoh wayang kepada generasi bangsa penting untuk dilakukan. Terdapat beberapa alasan mengapa tokoh wayang perlu diperkenalkan kepada generasi bangsa Pertama, wayang merupakan kesenian masyarakat Indonesia yang wajib bagi generasi penerus untuk tetap melestarikannya. Kedua, ada indikasi tidak tertariknya generasi terhadap cerita wayang. Ketiga, cerita wayang memiliki banyak nilai moral kehidupan. Selain itu, tokoh wayang juga memiliki sifat-sifat yang berbeda dari tokoh satu dengan tokoh lain.

Terdapat tokoh dengan sifat terpuji yang dapat dijadikan teladan bagi generasi bangsa. Terdapat pula tokoh dengan sifat tercela yang dapat diantisipasi generasi bangsa, agar dapat menghindari sifat tercela. Wayang merupakan gambaran hidup bagi manusia, sehingga baik jika digunakan untuk pembangun karakter bagi generasi bangsa. Dan karakter yaitu nilai hidup bersama berdasarkan pilar kedamaian, menghargai, kerjasama, kebebasan, kebahagiaan, kejujuran, kerendahhatian, kasih sayang, tanggung jawab, kesederhanaan, toleransi, dan persatuan (Nurgiyantoro, 2018).

Secara tradisional, wayang merupakan intisari kebudayaan masyarakat Jawa yang diwarisi secara turun temurun, tetapi secara lisan diakui bahwa inti dan tujuan hidup manusia dapat dilihat pada cerita serta karakter tokoh- tokoh wayang. Sementara, secara Filosofis, wayang adalah pencerminan karakter manusia, tingkah laku, dan kehidupannya. Dan secara praksis media wayang ini sangat strategis dan relevan untuk menangkal berbagai serangan ideologi transnasional yang menggempur bangsa ini.

This post was last modified on 2 September 2021 12:02 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

10 jam ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

10 jam ago

Cyberterrorism: Menelisik Eksistensi dan Gerilya Kaum Radikal di Dunia Daring

Identitas Buku Penulis               : Marsekal Muda TNI (Purn.) Prof. Asep Adang Supriadi Judul Buku        :…

10 jam ago

Meluruskan Konsep Al Wala’ wal Bara’ yang Disimplifikasi Kelompok Radikal

Konsep Al Wala' wal Bara' adalah konsep yang penting dalam pemahaman Islam tentang hubungan antara…

1 hari ago

Ironi Kebebasan Beragama dan Reformulasi Hubungan Agama-Negara dalam Bingkai NKRI

Di media sosial, tengah viral video pembubaran paksa disertai kekerasan yang terjadi pada sekelompok orang…

1 hari ago

Penyelewengan Surat Al-Maidah Ayat 3 dan Korelasinya dengan Semangat Kebangsaan Kita

Konsep negara bangsa sebagai anak kandung modernitas selalu mendapat pertentangan dari kelompok radikal konservatif dalam…

1 hari ago