Keagamaan

Meluruskan Pemahaman Qs. Al-Kafirun:6 dalam Mereduksi Paham Sektarianisme

Sektarianisme itu tak pernah berakar pada kebenaran agama. Banyak umat Islam yang masih terjebak ke dalam pemahaman yang sesat. Bahwa prinsip dari lakum dinukum walidayin: untukmu agamamu dan untukku agamaku dalam (Qs. Al-Kafirun:6) justru dipahami sebagai pemisah/pembeda secara primordial. Bahwa, di luar kelompoknya (perbedaan aliran/keyakinan) dianggap tak ada jalan untuk bersama apalagi bersaudara.

Imam Fahruddin Ar-Razi dalam tafsir Mafatihul Ghaib menegaskan bahwa lakum dinukum waliyadin dalam (Qs. Al-Kafirun:6) tidak bisa dipahami sebagai jalan untuk saling meninggalkan apalagi saling bermusuhan. Sebab, potongan ayat tersebut sebagai penegas secara sosial dalam menyikapi perbedaan. Bahwa segala hal yang berkaitan dengan perbedaan keyakinan itu telah menjadi hal final (kemutlakan) yang tak bisa dipaksakan apalagi saling menegasi.

Perbedaan sebagai simbol dalam Menjamin Hak Beragama

Secara reflektif jika kita pahami, (Qs. Al-Kafirun:6) ini justru menjadi simbol spirit penting kita untuk bisa saling menjamin hak-hak dalam beragama. Mengapa demikian? Bahwa tidak ada hak bagi kita untuk meng-klaim kelompok lain sesat/keliru dengan standar penilaian yang eksklusif berdasarkan perspektif keyakinan-iman yang kita miliki-yakini. Agama yang diyakini oleh mereka (umat agama lain) dan agama yang (kita yakini) telah berada dalam dua garis yang seharusnya tidak saling mengganggu.

Tak ada legitimasi bahwa perbedaan keyakinan atau perbedaan aliran (kelompok) sebagai satu legitimasi untuk saling mereduksi (munculnya sektarianisme beragama). Penegasan bahwa kita berbeda secara keyakinan telah menunjukkan bagaimana nilai-nilai toleransi dan jaminan hak beragama telah menjadi bagian integral dalam beragama. Jadi ini menjadi satu kesadaran penting bagi kita dalam menegaskan bahwa perbedaan adalah simbol bagi kita dalam menjamin hak beragama itu sendiri.

Misalnya dalam konteks perayaan hari raya umat agama lain. Jelas, tidak ada hak bagi kita untuk membangun statement beragama bahwa mereka dituduh keliru atau sesat atas dasar keyakinan yang kita miliki. Kebenaran dari potongan ayat (Qs. Al-Kafirun:6) berupaya untuk melepaskan dari segala macam standar tunggal (standar primordialisme) dalam melihat kebenaran beragama.

Tidak ada legitimasi kebenaran-Nya yang menjadikan satu sikap beragama yang penuh kebencian, permusuhan apalagi penuh kezhaliman atas mereka yang berbeda. Apa yang kita sikapi sebagai satu kebenaran dalam keyakinan agama kita tak layak untuk dibawa ke ruang publik untuk mengeliminasi kebenaran keyakinan agama lain. Sebab, perbedaan keyakinan atau peribadatan dalam konteks (realitas kemajemukan) telah menjadi kemutlakan yang seharusnya dijaga.

Merefleksikan Prinsip Lakum Dinukum Waliyadin dalam Menjaga Kemajemukan Bangsa, Mereduksi Sektarianisme Beragama  

Prinsip dari lakum dinukum waliyadin dalam (Qs. Al-Kafirun:9) bukan sebagai legitimasi dalil sektarianisme dalam beragama. Melainkan sebagai semangat dalam menjaga kemajemukan. Sebab, satu spirit penting dalam merawat kemajemukan di negeri ini, ketika kita sadar bahwa kita memang diciptakan berbeda. Kesadaran semacam ini akan menumbuhkan semangat (egalitarianisme) dalam beragama sehingga perbedaan tidak disikapi sebagai musuh, melainkan sebagai satu ketetapan teologis yang harus dijaga dengan baik dalam kehidupan sosial.

Tak ada kebenaran bahwa untuk-mu agama-mu dan untukku agamaku berarti: kita berpisah. Dengan alasan, kita berbeda dan kita dianggap tak pernah bisa menjalin persaudaraan di tengah perbedaan kelompok/keyakinan. Agama telah menegaskan dan selalu berulang-ulang dijelaskan bahwa kita dilarang bermusuhan. Sebab, Tuhan sangat mencintai orang senantiasa berlaku adil dan berbuat baik kepada mereka yang berbeda keyakinan (Qs. Al-Mumtahanah:8).

Jadi, kesimpulan penting yang harus kita sadari, (Qs.Al-Kafirun:6) bukan sebagai legitimasi dalil dari sektarianisme agama. Sebab, agama tak pernah membenarkan permusuhan, kebencian apalagi tindakan zhalim. Islam sangat menjunjung persaudaraan (Qs. Al-Hujurat/49:10) dan kebersamaan (Qs Al-Maidah:2) yang harmonis. Sektarianisme dalam sepanjang sejarah adalah satu fakta pemicu konflik berdarah yang sangat melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang harus kita tinggalkan, karena tak memiliki dasar dalil apa-pun.

Sitti Faizah

Recent Posts

Algoritma Kemarahan; Bagaimana Kegaduhan Medsos Berperan Mendelegitimasi Pemerintah?

Akhir Agustus, ketika sejumlah kota di Indonesia dilanda demonstrasi massa, media sosial pun ikut bergejolak.…

20 jam ago

Membaca Solusi Khilafah: Antara Romantisme Sejarah, Ideologisasi dan Realitas Kontemporer

Khilafah sering kali digembar-gembor oleh sebagian kecil kelompok sebagai solusi pamungkas bagi segala permasalahan umat…

20 jam ago

Membaca Kerentanan Anak Muda dalam Jejaring Kekerasan Demonstrasi

Demonstrasi yang terjadi di Indonesia pada tanggal 25-28 Agustus telah memberikan peringatan keras bagi para…

20 jam ago

Menyingkap Simpati Semu dalam Narasi Radikal

Dalam beberapa minggu terakhir, Indonesia diguncang oleh serangkaian demonstrasi besar yang melibatkan berbagai elemen masyarakat,…

2 hari ago

Demokrasi Spiritual: Sebuah Tawaran dari Penghayat Kepercayaan

Jalanan sudah kembali bersih. Aktivitas warga berangsur normal, dan suara bising unjuk rasa telah digantikan…

2 hari ago

Membedakan Demokrasi Gagal dan Cacat; Tantangan Kaum Radikal Memahami Politik Kontemporer

Dalam satu dekade belakangan, kondisi demokrasi global mengalami penurunan kualitas secara signifikan. Hasil riset IEU…

2 hari ago