Narasi

Memahami Pluralisme Kebangsaan dalam Praktek Interaksi Sosial yang Dinamis

Agama merupakan alat perekat sosial. Begitu kata Emile Durkheim. Menurutnya, pemahaman terhadap agama pada akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan “yang sakral” dan “yang profan”, di mana komunitas akan saling berkompromi untuk mendefinisikan keduanya. Dalam pengertian ini, tanpa keberadaan agama, manusia sebagai makhluk sosial belum sepenuhnya dapat dikatakan sebagai manusia yang sempurna karena ada unsur relasi sosial yang tak saling terjalin.

Terpisah, seorang teolog Kristen bernama Leonardo Boff mengatakan bahwa jika relasi sosial itu ingin tetap harmonis maka seseorang harus menghayati ajaran agamanya dengan baik. Caranya adalah dengan menaruh perhatian terhadap kondisi sosial dan peristiwa kemanusiaan yang ada di sekitarnya.

Salah satu tanda dari rasa kepedulian sosial dan rasa kemanusian yang tinggi itu terejawantah pada bagaimana sikap manusia terhadap kepercayaan umat agama yang lain. Kesadaran akan perbedaan keyakinan antarumat beragama menjadi salah satu tolak ukur kemanusiaan dan kepedulian sosial seseorang.

Kesadaran penganut agama terhadap pluralitas dan kemajemukan dapat digunakan untuk mengukur seberapa kuat toleransi keberagamaan yang dimilikinya. Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid mengartikan pluralisme agama sebagai suatu keragaman jalan menuju Tuhan. Pluralisme agama dilihat sebagai kemajemukan jalan menuju suatu kebenaran yang hakiki, yakni kebenaran Tuhan. “Banyak pintu menuju Tuhan”, demikian adagium yang disampaikan untuk meneguhkan argumentasinya soal pluralisme agama.

Umat beragama mungkin perlu membedakan apa itu pluralisme dan pluralitas. Pluralisme dengan imbuhan “isme” dipahami sebagai seperangkat pemahaman dan ideologi yang lekat dengan nilai-nilai pencetusnya. Sedangkan “pluralitas “ dengan imbuhan “itas” merupakan sebuah kondisi faktual yang bebas nilai terkait keragaman yang ada di tengah masyarakat.

Alwi Shihab mengatakan bahwa pluralisme dapat dilihat dari empat sudut pandang; pertama, pluralisme tak hanya menggambarkan realitas majemuk yang ada, namun lebih kepada turut serta dan terlibat dalam aktifitas kemajemukan tersebut; kedua, perlu dibedakan antara pluralisme dengan kosmopolitanisme yang cenderung mengakomodir perbedaan satu ras atau bangsa tertentu yang sama-sama tinggal bersama di satu lokasi tetapi tidak meniscayakan terjadinya interaksi sosial sehingga masing-masing darinya hidup independen.

Ketiga; konsep pluralisme harus dibedakan dengan konsep relativisme. Bagi penganut relativisme, kebenaran absolut milik satu agama harus ditiadakan sehingga dalam pandangannya seluruh agama berkedudukan setara; keempat, pluralisme agama berbeda dengan sinkretisme yang mengadopsi beberapa unsur keagamaan di luar agamanya untuk kemudian mempersatupadukan antara unsur-unsur tersebut menjadi satu bagian integral darinya

Nurcholis Madjid mengatakan, dalam bukunya, bahwa pluralisme yang diterima legalitasnya dalam Islam bukan pada ranah doktrinal yakni dengan mengasumsikan bahwa terdapat kebenaran dalam setiap agama, sehingga konsekuensinya setiap penganut agama berhak masuk kedalam surga. Namun, pada ranah sosial yang melibatkan satu individu dengan individu lainnya.

Cak Nur mengklasifikasi sikap keberagamaan umat beragama kaitannya dengan pluralisme agama menjadi tiga; pertama, cara pandang eksklusivisme dalam melihat agama lain. Sudut pandang kelompok ini cenderung menyalahkan dan menyesatkan umat agama lain, sehingga hanya agamanya saja yang membawa jalan keselamatan, sementara di luar agamanya tidak ada jalan keselamatan;

Kedua, sikap inklusivisme. Sikap ini mengakui adanya kebenaran dalam agama lain meskipun secara bersamaan ia juga sedang meyakini kebenaran dalam agamanya; ketiga, sikap pluralisme. Sikap ini tidak menyasar kepada benar atau salahnya suatu agama, karena ia lebih kepada kesadaran akan fakta kemajemukan dalam kehidupan.

Masing-masing dari ketiga sikap di atas mempunyai dasar argumentasi. Para penganut sikap eksklusif dalam beragama memegang ayat 19 surah Ali Imran yakni “Hanya Islam saja agama yang benar dan diridhoi Allah” dan surah Ali-Imran ayat 85 yang berbunyi:

 

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

Sementara bagi pemegang prinsip inklusivisme dalam beragama, mereka menggunakan ayat lain untuk mendukung sikapnya terhadap pemeluk agama lain. Bahwa yang membedakan antara agama Islam dengan agama sebelumnya ialah pada tataran syariatnya bukan pada prinsip dasar ajarannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan pada surah al-A’la ayat 18-19:

“Sesungguhnya ini terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu. Yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa”.

Para penganut sikap inklusifisme dalam beragama juga menggunakan ayat Ali-Imron ayat 19 tetapi dengan pemahaman yang berbeda. Mereka memahami kata ‘al-Islam’ pada ayat tersebut bukan sebagai agama Islam, tetapi sebagai ketundukan kepada Allah Swt. Syakih al-Nawawi al-Bantani dalam tafsir Marah Labid ketika menjelaskan makna ‘al-Islam’ dalam konteks ini ialah “at-Tauhid”, sehingga tidak ada agama yang diridhoi oleh Allah kecuali agama yang mengajarkan ketundukan dan kepasrahan hanya kepada-Nya.

Kemudian bagi para penganut pluralisme dalam beragama mereka mengklaim bahwa kandungan dari surah al-Maidah ayat 48 merupakan isyarat atas adanya keragaman dan kemajemukan hidup. Ayat tersebut berbunyi:

وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۖ فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

Menimbang dari beberapa definisi dan keterangan mengenai konsep pluralisme dapat disimpulkan bahwa pada akhirnya pluralisme agama adalah sesuatu yang sudah ditakdirkan Allah dan pasti adanya (bersifat inheren), tidak bisa dicegah dan diinkari.

Dalam konteks kebangsaan, pluralisme beda dengan kosmpolitanisme, relativisme, maupun sinkretisme. Pluralisme di Nusantara meniscayakan interaksi sosial yang lentur di tengah keberagaman. Bukan hanya meniscayakan pluralitas tanpa interaksi sosial yang baik. Oleh karena itu, sikap ini harus diamalkan dengan cara saling menghormati dan menghargai antar umat beragama karena hal ini merupakan suatu keniscayaan dari Tuhan, dengan harapan, terjalin masyarakat sosial yang tidak hanya plural tapi juga saling bercakap-cakap dengan rukun dan damai.

Gatot Sebastian

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

21 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

21 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

21 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

21 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago