Narasi

Memanfaatkan Kearifan Lokal sebagai Deteksi Dini

Indonesia merupakan Negara yang terkenal dengan ragam kearifan lokal yang luar biasa. Nilai arif dari budaya lokal ini mampu mendidik masyarakat dengan etika dan adab yang memang beragam, tetapi mempunyai nilai yang sama yakni kesantunan, keramahan dan kebersamaan. Namun sayangnya, keunggulan bangsa yang banyak dikenal oleh bangsa lain ini mulai terkikis sedikit demi sedikit dan masyarakatnya kini lebih memilih sikap tidak perduli dengan lingkungan sekitar bahkan dengan kerabat dekatnya.

Krisis pemahaman terhadap kearifan lokal juga tidak bisa dipungkiri dengan serbuan paham dan ideologi dari luas. Terkadang ada paham tertentu yang membenturkan ajaran agama dengan kearifan lokal. Mereka berpandangan bahwa kearifan lokal adalah bentuk syirik dan bid’ah yang bertentangan dengan ajaran agama. Karenanya, mempersoalkan kearifan lokal yang telah bertahan lama di bumi nusantara ini adalah bagian dari mereka mencerabut memori kolektif masyarakat tentang kebhinekaan.

Paham intoleran adalah salah satu yang masuk ke ruang masyarakat dengan cara menghantam kearifan lokal. Dalam prakteknya, ajaran ini membelah masyarakat denagn tuduhan dan menyebabkan konflik horizontal. Masyarakat menjadi terpecah belah dengan cara pandang yang berbeda-beda. Sehingga pada ujung yang sangat ekstrim konflik dan kekerasan muncul hanya karena perbedaan keyakinan.

Dulu misalnya tidak ada persoalan dengan tradisi slametan desa atau bersih desa yang diadakan masyarakat. Pada prakteknya kearifan dan budaya lokal ini menjadi instrument perekat kohesi sosial dan menjadi festival perayaan perbedaan. Tidak ada yang mempersoalkan tentang keyakinan dan agama karena semua larut dalam perayaan lokal.

Masyarakat berkumpul dalam memperingati perbedaan dan merajut kebersamaan dengan kegiatan lokal tersebut. Slametan desa dan bersih desa adalah bagian dari cara masyarakat lokal untuk memohon kepada Sang Pencipta untuk dijauhkan dari segala musibah. Namun, hal terpenting juga dari dampak sosial kegiatan tersebut adalah perasaan bersama, peduli dan gotong royong.

Di samping semakin jarangnya masyarakat lokal menyelenggarakan perayaan budaya seperti itu, sisi lain ada gelombang yang terus menggerus keyakinan masyarakat. Infiltrasi paham yang menyerang kearifan lokal dengan dalil-dalil agama sejatinya bukan meluruskan pemahaman keagamaan tetapi justru memecah belah masyarakat.

Karena rasa seperti inilah Indonesia mulai rapuh dan mulai dimasuki paham-paham yang mampu memecah belah bangsa. Paham yang bersikap individualis bahkan intoleran seperti radikal terorisme mulai membuat masyarakat terpecah belah. Bayangkan di salah satu majelis keagamaan, ada seseorang yang mengatakan budaya ini dilarang, kegiatan lokal ini bertentangan dengan agama dan lain sebagainya. Praktek semacam ini bukan memperdalam keyakinan justru semakin meningkat resistensi masyarakat.

Sungguh berbeda jika kita mau merefleksikan metode dakwah penyebar Islam di nusantara yang menggunakan kearifan dan budaya lokal sebagai penguat keyakinan. Wali Songo misalnya tidak meletakkan secara dikotomik antara budaya lokal dan ajaran agama. Justru, kearifan lokal adalah instrument sebagai penguat dari ajaran Islam. Karena itulah, Islam dan budaya lokal berjalan secara harmonis dan tidak menimbulkan gejolak masyarakat.

Kearifan lokal sejatinya bisa menjadi alat deteksi dini intoleransi dan radikalisme. Mereka yang serta merta menolak perbedaan biasanya akan sangat anti pati dengan kearifan lokal. Mereka yang selalu ingin merasa benar sendiri dengan pandangan agamanya tidak pernah suka dengan kearifan lokal masyarakat yang mendorong kebersamaan. Kearifan lokal bagi paham radikal adalah batu sandungan.

Karena itulah, penting sekali bagi masyarakat di nusantara dengan kearifan lokal yang cukup beragam untuk merevitalisasi kearifan lokal sebagai benteng. Benteng dalam memperkuat kebersamaan dan kepedulian masyarakat terhadapi lingkungan sosial, sekaligus benteng untuk mendeteksi dini terhadap infiltrasi pemahaman yang ekstrim di tengah masyarakat.

Menghidupkan kembali kearifan local adalah bagian dari menjaga kultur budaya dan juga jati diri bangsa setra kedekatan untuk menumbuhkan kebersamaan di lingkungan masyarakat. Apabila kearifan lokal kembali tertanam dan menjadi kebudayaan, sikap dan perilaku menyimpang masyarakat akan sangat mudah untuk dideteksi oleh masyarakat.

This post was last modified on 29 Januari 2021 3:56 PM

Dodik Triyanto

Recent Posts

Membaca Kartini sebagai Simbol Perjuangan Emansipasi Perempuan dan Perdamaian

Kartini, seorang pahlawan nasional Indonesia yang telah melampaui batas waktu dan geografis, tidak hanya diakui…

9 jam ago

Da’i Perempuan dan Konstruksi Narasi Perdamaian di Panggung Dakwah

Selain diramaikan oleh para penceramah atau dai laki-laki, panggung dakwah kita belakangan juga diramaikan oleh…

10 jam ago

Lone Wolf Terrorism dan Pentingnya Menjadi Perempuan Berdaya Seperti Kartini

Lone wolf terrorism merupakan fenomena yang semakin mengkhawatirkan dalam dunia keamanan global. Ini merujuk pada…

10 jam ago

Kartini dan Keadilan Gender untuk Menangkal Radikalisme

Raden Ajeng Kartini tidak hanya dikenal karena perjuangannya dalam bidang pendidikan bagi perempuan, tetapi juga…

1 hari ago

Kartini Masa Kini Adalah Ujung Tombak Agen Pendidikan Perdamaian

Berbicara soal perempuan, dalam sejarah nasional tentu kita kenal sosok Raden Ajeng Kartini. Sosok perempuan…

1 hari ago

R.A. Kartini: Dari Kegelapan Konflik, Menuju Cahaya Perdamaian

Minggu 21 April 2024 diperingati hari Kartini. Sebagai seorang perempuan, ada satu hal yang harus…

1 hari ago