Narasi

Membaca Agenda Ideologis Di balik Tudingan “Sekuler” pada Duta Damai BNPT

Ketika sebuah kelompok mengkritik Program Duta Damai BNPT sebagai duta sekularisme dan liberalisme, pertanyaan yang perlu diajukan bukanlah: “Apakah Duta Damai benar-benar sekuler?” Melainkan: “Siapa yang mengajukan kritik ini, dan apa agenda ideologis di balik kritik tersebut?”

Tuduhan terhadap Duta Damai datang dari jaringan kelompok yang melihat Indonesia sebagai wadah perjuangan untuk mendirikan sistem politik agama berbasis “khilafah” dengan versi yang mereka anggap paling autentik.

Klaim mereka terhadap Duta Damai datang dari mindset “kami vs mereka”, yang khas dengan kelompok eksklusifis. Strategi ini bekerja dengan cara membagi spektrum Islam menjadi hanya dua kategori. Entah seseorang mendukung ideologi mereka, atau ia adalah pendukung sekularisme-liberalisme.

Tidak ada ruang ketiga. Tidak ada ruang di mana seseorang dapat komitmen penuh pada keimanan kepada Allah dan Rasulnya, namun sekaligus menghormati keberagaman, menganut sistem demokrasi Pancasila, dan bekerja dalam kerangka NKRI.

Argumen “Sekuler-Liberal” untuk Menegaskan Musuh

Perlu dicatat, tuduhan terhadap Duta Damai bukan lahir dari keresahan sosial atau dialektika intelektual murni. Gugatan ini adalah kemasan dari sebuah agenda strategis.

Dengan mengkategorikan Duta Damai sebagai “sekuler-liberal”, kelompok ini sedang melakukan dua hal sekaligus. Pertama, mereka sedang menciptakan binary frame di mana Islam sejati hanya identik dengan visi mereka, sementara segalanya yang lain adalah paham yang salah. Ini adalah cara yang sangat efektif untuk membangun in-group solidarity dan out-group hostility.

Kedua, dengan memposisikan diri sebagai satu-satunya “pembela” Islam sejati, mereka berharap dapat menarik generasi muda yang idealis, yang mencari identitas keagamaan yang kuat, dan yang merasa khawatir tentang isu marginalisasi Islam dalam ruang publik yang sebetulnya juga rekayasa mereka sendiri untuk kepentingan propaganda.

Kekhawatiran ini legit dan mungkin penting untuk diakui. Namun, kelompok-kelompok ini memanfaatkan kekhawatiran tersebut dengan menawarkan solusi yang sebenarnya adalah proyek mengubah bentuk fundamental NKRI menjadi negara totalitarian. Duta Damai menjadi target kritik karena program ini secara langsung mengancam mobilitas mereka.

 

Beda Moderasi Islam dari Sekularisme-Liberalisme

Argumen “Jika kamu tidak mendukung khilafah, maka kamu sekuler-liberal” adalah cacat berpikir. Faktanya, ada banyak cara untuk menjadi Muslim yang komitmen penuh pada keimanan tanpa obsesi mendirikan politik agama yang sempit.

Islam moderat yang berkembang dalam tradisi Nusantara adalah posisi teologis yang unik. Ia adalah Islam yang komitmen penuh pada Quran dan Hadis, yang menghormati tradisi Islam klasik, namun sekaligus membaca teks-teks keagamaan dengan sensitivitas terhadap konteks zaman dan keragaman masyarakat.

Moderasi Islam bukanlah relativisme moral yang mengatakan semua agama itu sama atau tidak ada kebenaran mutlak. Ini adalah kesalahpahaman yang sering digunakan oleh kelompok radikal teroris.

Sebaliknya, moderasi Islam adalah posisi di mana seseorang memiliki conviction yang kuat tentang kebenaran agamanya, namun sekaligus mengakui hak-hak dasar manusia lain untuk memiliki kepercayaan yang berbeda. Ini adalah Islam yang memprioritaskan kemanusiaan tanpa mengorbankan keislaman.

Sebaliknya, sekularisme-liberalisme (paling tidak dalam pengertian mereka) adalah pandangan dunia yang berusaha menghilangkan agama dari ruang publik, yang menjadikan relativisme moral sebagai prinsip, dan yang menempatkan individual choice di atas nilai-nilai kolektif atau keagamaan.

 

Apa yang Mereka (pura-pura) Tidak Tahu dari Duta Damai

Jika Duta Damai benar-benar program “sekuler-liberal”, bagaimana kita menjelaskan keterlibatan masif dari institusi-institusi keagamaan Islam sendiri?

Fakta pertama adalah kehadiran Duta Damai Santri di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Program ini secara khusus merekrut kader dari pesantren-pesantren. Pesantren adalah lembaga yang sangat menjaga integritas keislaman.

Mereka jelas tidak akan mengirim kadernya untuk menyebarkan sekularisme. Fakta bahwa pesantren—yang seharusnya paling waspada terhadap westernisasi—aktif berpartisipasi dalam Duta Damai adalah indikasi yang sangat kuat bahwa program ini tidak anti-Islam atau sekuler.

Fakta kedua adalah kolaborasi Program Duta Damai dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini secara kumulatif mewakili puluhan juta Muslim Indonesia.

Mereka bukan organisasi yang akan berkompromi dengan nilai-nilai keislaman mereka untuk tujuan pemerintah. Ketika NU dan Muhammadiyah mendukung dan berkolaborasi dengan Duta Damai, ini adalah bukti bahwa organisasi-organisasi Islam terbesar di Indonesia memandang program ini sejalan dengan misi mereka dalam menjaga Islam, bukan bertentangan dengannya.

Fakta ketiga adalah keterlibatan tokoh-tokoh Islam moderat dan ulama dalam setiap aspek program. Pelatihan Duta Damai tidak hanya mencakup teknis media sosial dan desain grafis. Pelatihan ini mencakup wawasan kebangsaan, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan moderasi beragama.

Bukti empiris ini menunjukkan bahwa gugatan sekularisme-liberalisme tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Program Duta Damai bukan program yang dipaksakan dari atas oleh pemerintah yang sekuler.

Ini adalah program yang telah menerima endorsement dari institusi-institusi Islam terkuat di Indonesia dan yang dijalankan dalam kolaborasi dengan komunitas Muslim.

 

Kapan Islam “Dimarginalisasi”?

Mengapa strategi “takfir intelektual” ini begitu efektif? Karena ia memanfaatkan kekhawatiran yang riil dari sebagian kalangan Muslim tentang marginalisasi Islam dalam ruang publik modern.

Sekularisasi, di mana nilai-nilai keagamaan semakin marginalisasi dalam diskursus publik, memang fenomena yang nyata. Tapi itu bukan di Indonesia.

Karena itu, tuduhan sekulerisme yang mereka layangkan sangat tidak tepat sasaran dan sangat tidak akurat. Tudingan ini justru menyingkap agenda ideologis mereka yang tidak jauh-jauh dari obsesi untuk mendirikan utopia politik berbasis agama yang sempit.

Mereka mengatakan, “Satu-satunya cara mengatasi marginalisasi Islam adalah dengan mendirikan negara khilafah dan menerapkan syariat Islam secara kaffah (total).”

Pertanyaannya, kapan Islam dimarginalisasi di Indonesia yang notabene adalah negara paling relijius di dunia?

Jika mungkin mereka masih merasa Islam kurang berwarna di ruang publik solusinya tidak perlu mengeliminasi demokrasi, penolakan Pancasila, atau perubahan NKRI. yang bisa kita lakukan adalah mempromosikan nilai-nilai Islami yang substantif (keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, kebijaksanaan), melibatkan komunitas Muslim dalam pembuat kebijakan nasional, dan menunjukkan bahwa Islam adalah maslahat yang dapat berkontribusi aktif pada pembangunan bangsa.

Duta Damai adalah contoh konkret dari alternatif ini. Program ini menunjukkan bahwa generasi muda Muslim dapat menjadi agen perubahan sosial yang aktif dalam ruang digital, dalam kerangka Pancasila dan NKRI, dan sekaligus tetap berkomitmen penuh pada keislaman mereka. Program ini menunjukkan bahwa Islam moderat bukan Islam yang terkompromi. Ia adalah Islam yang autentik, yang terakar dalam tradisi Nusantara.

Gatot Sebastian

Recent Posts

Revitalisasi Filosofi Ki Hajar Dewantara untuk Mencegah Kerentanan Anak Terhadap Paham Ekstrem

Kerentanan anak-anak terhadap paham ekstrem termasuk xenofobia dan chauvinism menjadi perhatian serius dalam dinamika sosial…

5 jam ago

Sekolah dan Akar Kekerasan : Bagaimana Menyikapinya?

“Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.” – John Dewey Pernyataan filosof…

5 jam ago

Membangun Sekolah yang Steril dari Infiltrasi Radikalisme, Sebuah Keniscayaan!

Di tengah gempuran propaganda ekstremisme yang semakin terdesentralisasi, ruang aman bagi anak-anak kita kian menyempit.…

1 hari ago

Dari Darkweb ke Internet Sehat; Menyelamatkan Anak dari Konten Kekerasan di Ruang Digital

Salah satu fakta yang terungkap dari penyelidikan aksi kekerasan di SMAN 72 adalah bahwa pelaku…

1 hari ago

Falsafah Ki Hadjar; Adaptasi Konsep Pamong dan Among di Tengah Transnasionalisme Digital

Kits mengenal tiga dosa dalam dunia pendidikan nasional. Yakni intoleransi agama, kekerasan seksual, dan perundungan…

1 hari ago

Ciri-Ciri Awal Paparan Ideologi Sayap Kanan pada Anak dan Remaja

Kasus ledakan di sekolah Jakarta beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa radikalisasi di kalangan pelajar kini…

4 hari ago