Tragedi ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakut, Jumat lalu (7/11/2025), menyisakan kepedihan mendalam bagi dunia pendidikan kita. Mengingat peristiwa memilukan itu bukan sekadar soal kekerasan antarpelajar, akan tetapi menjadi alarm keras bahwa virus perundungan (bullying) dan ideologi kebencian bisa bersenyawa dan mudah menyusup ke ruang-ruang sunyi anak muda, bahkan di lingkungan sekolah.
Peristiwa itu menegaskan bahwa radikalisme tak selalu datang dengan wajah garang. Ia bisa menjelma dalam bentuk candaan yang memecah belah, unggahan yang menebar kebencian, atau komentar yang menormalisasi kekerasan. Bahkan kekerasan bisa dipicu bermula dari hal yang awalnya terkesan sepele PUBG game onlie. Dan semua itu merambat liar di media sosial (medsos), merasuki pikiran muda yang masih rentan dan labil.
Di abad digital ini, generasi Z hidup dalam pusaran gawai dan media sosial. Setiap hari mereka bersentuhan dengan algoritma yang bisa menjadi guru kebajikan, namun juga ladang subur bagi benih kebencian. Game online seperti PUBG yang awalnya hanya permainan, akan tetapi bisa memicu dampak brutal radikalisme. Ketika ruang digital kehilangan keseimbangan narasi dan game online malaah justru membuat pemainnya bertindak radikal. Dan di sanalah ideologi ekstrem tumbuh diam-diam, menunggangi emosi muda yang masih mencari makna dan identitas.
Karena itu, generasi Z tak seharusnya diposisikan hanya sebagai korban, tetapi juga sebagai pelaku aktif dalam menyingkirkan radikalisme dari dunia maya. Caranya? Dengan mengisi ruang digital dengan narasi-narasi damai, toleran, dan kebangsaan. Mereka perlu hadir bukan untuk berdebat, melainkan untuk menyapa, mengedukasi, dan menebar harapan.
Kita patut belajar dari Duta Damai BNPT, wajah muda Indonesia yang memilih menyalakan lentera di tengah gelapnya jagat digital. Mereka hadir dengan energi dan kreativitas yang menyegarkan. Dengan kecakapan teknologi yang melekat pada generasi Z. Para Duta Damai tampil sebagai pilar penjaga nafas kebangsaan di dunia maya. Mereka menggunakan pendekatan yang kreatif, adaptif, dan komunikatif, seperti membuat komik, video pendek, meme, hingga podcast yang menyampaikan pesan toleransi, Islam moderat, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Tak berhenti di ruang maya, Duta Damai juga menebar pengaruh di dunia nyata. Mereka menginisiasi webinar lintas iman, menulis artikel di website, mengajar di pesantren, hingga berdiskusi tentang kitab kuning di kampus-kampus. Di berbagai daerah, seperti Yogyakarta, Kalimantan Timur, Jawa Timur, hingga Sulawesi Selatan, mereka menjadi penjaga harmoni di akar rumput, menjembatani perbedaan dengan dialog dan empati.
Pendekatan kreatif itu selaras dengan semangat tathawwur wa ibtikar, yang berarti terus berkembang dan berinovasi. Seperti diungkap Baidawi dkk (2020), nilai ini mengajarkan agar setiap insan mampu mencipta hal baru dalam menyelesaikan persoalan zaman. Semangat ini penting agar upaya kontra-radikalisme tidak stagnan, melainkan selalu menemukan bahasa baru yang ramah bagi generasi muda.
Namun, perjuangan ini tak bisa ditopang oleh Duta Damai semata. Sekolah, keluarga, dan masyarakat perlu berkolaborasi dalam membangun ekosistem literasi digital dan kebangsaan yang sehat. Guru dan orang tua perlu hadir sebagai pendamping yang sabar, bukan hakim yang mudah menilai. Sebab, banyak remaja tersesat bukan karena mereka ingin berbuat jahat, tetapi karena mereka tak menemukan figur yang membimbing dengan kasih.
Tragedi di SMA 72 hendaknya menjadi cermin bahwa pendidikan tidak cukup dengan transfer ilmu, tetapi juga perlu penanaman nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Literasi damai harus menjadi bagian dari kurikulum kehidupan: bagaimana menghormati perbedaan, memahami agama tanpa kebencian, dan beragama tanpa meniadakan yang lain.
Akhirnya, kerja-kerja damai seperti yang dilakukan Duta Damai BNPT menjadi oase di tengah gurun kegaduhan digital. Mereka membuktikan bahwa generasi Z bukan generasi yang hilang, tetapi generasi yang siap menyalakan kembali bara cinta tanah air dan kemanusiaan. Semoga dari tragedi lahir kesadaran baru, bahwa damai harus diajarkan, dilatih, dan diwariskan. Sebab masa depan Indonesia ada di tangan mereka yang memilih berdamai, bukan membenci, apalagi berlaku radikalisme-terorisme.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), beberapa tahun terakhir aktif menyelenggarakan program “Sekolah Damai” di berbagai daerah. Meski…
Kekerasan dan bullying di lingkungan sekolah telah menjadi masalah yang semakin mendapat perhatian dalam beberapa…
Kasus peledakan di SMAN 72 Jakarta telah mengguncang kesadaran publik sekaligus membuka kewaspadaan dari lahirnya…
Nasionalisme, pada esensinya, adalah sebuah kekuatan pembebas. Paham ini pertama kali muncul di Eropa pada…
Ledakan bom rakitan yang mengguncang SMAN 72 Jakarta pada 7 November 2025 mengejutkan banyak pihak.…
Ledakan yang mengoyak ketenangan SMAN 72 pada 7 November lalu bukan sekadar berita kriminal. Ia…