Pada dekade awal 1990an, lanskap keislaman di Indonesia diwarnai oleh model dakwah baru. Gerakan dakwah ini dimotori oleh jaringan organisasi keislaman transnasional, terutama Ikhwanul Muslimin yang pertama kali lahir di Mesir.
Berbeda dengan strategi dakwah ormas keislaman lokal seperti NU dan Muhammadiyah yang menjadikan masjid dan pesantren sebagai basis dakwah, organisasi transnasional ini lebih menyasar lingkungan perguruan tinggi.
Dalam perkembangannya, model dakwah yang demikian itu disebut dakwah harokah. Yakni dakwah yang berbasis pada gerakan keagamaan dan berorientasi pada terwujudnya aksi konkret umat dalam mengubah keadaan. Filosofi dakwah harokah adalah meneladani konsep dakwah Nabi Muhammad yang memadukan antara pemikiran keagamaan (religious thinking) dan aksi sosial-politik (socio-political action).
Dakwah harokah ini begitu populer di era tahun 1990an awal dan disambut euforia, terutama di kalangan kaum muda terdidik. Model dakwah harokah yang tidak melulu membahas teks keislaman klasik, namun juga isu-isu kontemporer tampaknya menarik perhatian kalangan muda saat itu. Perkembangan dakwah harokah ini kian menemukan momentumnya pasca berakhirnya Orde Baru yang kebijakannya cenderung mendeskreditkan kelompok Islam kanan.
Gerilya Dakwah Harokah
Pasca-Reformasi, dakwah harokah mendapatkan panggung yang luas, terlebih di lingkungan perguruan tinggi. Gerakan-gerakan dakwah dengan jargon tarbiyah, liqo’, dan sejenisnya menjamur di kampus-kampus. Motor penggeraknya adalah organisasi keislaman transnasional yang di masa Reformasi dengan bebas berkembang di Indonesia.
Antara lain, Ikhwanul Muslimin, Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir dan sejenisnya. Organisasi itu aktif berdakwah di kampus-kampus dengan menyusup ke lembaga strategis seperti BEM, Lembaga Dakwah Kampus, Ta’mir Masjid, dan organisasi intra/ekstra kampus lainnya. Sepintas, model dakwah harokah itu terlihat baik-baik saja. Mereka selalu mengusung agenda untuk mewujudkan peradaban Islam yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, pola dakwah harokah ini mulai menimbulkan banyak problem. Antara lain, pertama model dakwah harokah cenderung berkarakter puritanistik. Dalam artian punya kehendak untuk memurnikan ajaran Islam dari pengaruh budaya lokal. Watak puritan ini yang membuat dakwah harokah cenderung anti pada lokalitas dan praktik akultusasi budaya dan agama.
Kedua, dakwah harokah cenderung memahami konsep Islam kaffah atau jihad secara kaku. Mereka memaknai kaffah sebagai kondisi ketika umat Islam hidup dengan menjalankan syariah secara menyeluruh. Termasuk menjadikan syariah sebagai dasar hukum negara. Mereka juga cenderung mengidentikkan jihad dengan perang atau kekerasan.
Ketiga, dakwah harokah secara terbuka memperjuangkan berdirinya negara Islam (daulah islamiyyah), bahkan imperium Islam (khilafah islamiyyah). Seperti kita tahu, hal itu bertentangan dengan spirit keindonesiaan yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945.
Terakhir, dakwah harokah cenderung permisif pada cara-cara kekerasan dan teror untuk mewujudkan agendanya. Hal ini terbukti, banyak anggota kelompok harokah ini yang lantas menyeberang ke organisasi ekstremis dan menjadi pelaku teror.
Mengembangkan Dakwah Moderat
Filosofi dakwah harokah yang memadukan antara pemikiran dengan gerakan sebenarnya patut diapresiasi. Model dakwah Rasulullah pun juga memadukan antara pemikiran dan aksi nyata. Namun, problem dakwah harokah adalah salah kaprah dalam memahami konsep Islam kaffah. Mereka cenderung memahami Islam kaffah itu sebagai penerapan hukum Islam secara menyeluruh. Termasuk hukum bernegara.
Selain itu, dakwah harokah juga salah kaprah dalam memahami makna jihad yang diidentikkan dengan perang dan kekerasan. Rasulullah tidak pernah mengedepankan cara kekerasan dalam berdakwah. Rasulullah selalu mengedepankan cara humanis dalam berdakwah. Memang benar bahwa Rasulullah berkali-kali terlibat peperangan. Namun, hal itu dilakukan dengan motif membela diri atau memang terpaksa karena kondisi.
Selain itu, misi dakwah Rasulullah juga tidak berorientasi untuk mendirikan negara Islam apalagi khilafah. Misi dakwah Rasulullah itu sederhana; membangun akhlaqul karimah. Dalam artian, bukan sekadar menarik orang sebanyak-banyaknya untuk masuk Islam. Orientasi dakwah Nabi Muhammad bukan sekadar konversi keagamaan, namun juga mewujudkan transformasi sosial-kemanusiaan.
Misi dakwah Nabi juga tidak untuk membangun negara atau kekhalifahan Islam. Komunitas Madinah yang demokratis dan egaliter adalah bukti bahwa dakwah Rasulullah sebenarnya tidak bermuatan ideologis politis. Ia tidak menjadikan dakwah Islam sebagai alat membangun kekuasaan politik. Sebaliknya, ia justru menjadikan dakwah Islam sebagai elemen perubahan sosial.
Di era digital seperti sekarang, dimana dakwah bisa dilakukan melalui internet atau media sosial, perkembangan dakwah harokah patut diwaspadai. Dakwah harokah yang cenderung politis dan ideologis kini bisa menyusup melalui kanal media sosial. Sasarannya tentu saja adalah kaum gen Z yang ghiroh keagamaannya sedang memuncak.
Disinilah peran penting lembaga keislaman otoritatif seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah untuk secara aktif membendung gerakan dakwah harokah. Model dakwah harokah yang indoktrinatif itu harus dilawan dengan corak dakwah moderat. Yakni dakwah yang mengkompromikan kepentingan untuk menyampaikan ajaran Islam sekaligus kebutuhan merawat kebinekaan.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…