Narasi

Memberangus Bibit-Bibit NII Gaya Baru di Abad Digital

Isu diduganya keterlibatan Ponpes Al-Zaitun dengan NII tentu semakin membuat bangsa ini harus senantiasa waspada. Bahwa di era sekarang, apa dan bagaimanapun caranya bisa dilakukan gerakan ideologi NII, termasuk menyusup ke dunia pendidikan. Publik tentu masih ingat tahun silam terungkapnya jaringan NII di Sumatera Barat berjumlah sekitar 1200-an orang. Bahkan setahun sebelumnya pembaiatan 59 orang di Garut oleh organisasi Negara Islam Indonesia (NII). Ini menjadi alarm bahwa gerakan NII masih ada, belum mati.

Kemudian kita juga masih ingat bahwa pada 2008, lagi-lagi Sensen dan anggotanya membuat geger khalayak umum setelah diangkat di sebuah media koran atas pengibaran bendera Merah Putih bergambar Bulan Bintang, di Kampung Babakan Cipari Kecamatan Pangatikan Kabupaten Garut. Pada 1999 masyarakat bahkan pemerintah pernah dibuat heboh. Kala itu, Sensen Komara Bakar Misbah yang notabene merupakan pemimpin DI Fillah bersama anggotanya secara terang-terangan menolak terhadap pemilu, dengan alasan bahwa pemilu yang diadakan pada 1999 inkonstitusional dan mengkhianati terhadap Undang-Undang 1945 (Diningrat, 2021).

Berbagai gerakan keagamaan kamuflase NII ini tentu harus segera diberantas supaya tidak menjalar, termasuk di dunia pendidikan. Adapun strategi yang bisa bangsa ini lakukan adalah dengan pertama adalah Pancasila. Dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa janganlah sekedar internalisasi pada tataran pengetahuan teoritis belaka. Namun, juga harus diaktualisasikan dalam kehidupan kebangsaan, termasuk di dunia pendidikan. Ideologi Pancasila merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan yang diamalkan. Pancasila adalah satu pilihan yang jelas membawa komitmen untuk mewujudkannya. Atau dengan kata lain, apabila seseorang memiliki kesadaran ideologi Pancasila yang mendalam, maka akan semakin tinggi pula rasa komitmennya untuk melaksanakan nilai-nilai ideologi Pancasila. Komitmen itu akan tercermin dalam sikap seseorang.

Benteng kedua adalah UUD 1945. Derivasi nilai-nilai luhur Pancasila tertuang dalam norma-norma yang terdapat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Oleh karena itu, landasan kedua yang harus menjadi acuan dalam pembangunan karakter bangsa sekaligus memberantas radikalisme-terorisme adalah norma konstitusional UUD 1945. Dalam hal pengembangan karakter banhgsa, norma-norma konstitusional UUD 1945 menjadi landasan yang harus ditegakkan, dihayati, dijiwai, serta ditaati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan tentu menjadi sarana strategis menerapkan ini.

Benteng ketiga adalah komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesepakatan yang juga perlu ditegaskan dalam pembangunan karakter bangsa adalah komitmen terhadap NKRI. Karakter yang dibangun adalah karakter yang memperkuat dan memperkokoh komitmen terhadap NKRI, bukan karakter yang berkembang secara tidak terkendali, apalagi menggoyahkan NKRI. Oleh karena itu, rasa cinta terhadap tanah air, nasionalisme, dan patriotisme perlu dikembangkan dalam pembangunan karakter bangsa.

Pengembangan sikap demokratis dan menjunjung tinggi HAM sebagai bagian dari pembangunan karakter harus diletakkan dalam bingkai menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa, bukan untuk memecah belah bangsa dan NKRI (Kaelan, 2012). Ini menjadi penting karena banyak juga kasus generasi bangsa yang terindikasi paham Khilafah dan Fundamentalisme. Itu tentu terjadi karena rapuhnya rasa cinta tanah air dan komitmen terhadap NKRI. Oleh karenanya, sudah sewajibnya generasi bangsa berkomitmen penuh terhadap NKRI.

Benteng keempat adalah Bhinneka Tunggal Ika. Sebagaimana disebutkan Apri Atika Sari (2021) bahwa semboyan ini bertujuan menghargai perbedaan/keberagaman, tetapi tetap bersatu dalam ikatan sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang memiliki kesamaan sejarah dan kesamaan cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang “adil dalam kemakmuran” dan “makmur dalam keadilan” dengan dasar negara Pancasila dan dasar konstitusional UUD 1945. Keanekaragaman suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan suatu keniscayaan.

Namun, keberagaman itu harus dipandang sebagai kekayaan bangsa, kekayaan yang harus kita syukuri sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa, bukan sebagai problem masalah, atau bukan dijadikan sebagai alat terpecah-belah. Hal inilah yang harus disematkan dan dijiwai oleh seluruh generasi bangsa sebagai benteng dari paham radikal dan terorisme. Empat benteng kebangsaan tersebut diharapkan bisa diaktualisasikan dalam dunia pendidikan dan menjadi senjata atau tameng terhadap doktrin seperti NII dan turunannya dengan berbagai model atau gaya di era sekarang.

This post was last modified on 12 Juli 2023 1:29 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

4 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

4 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

4 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago