Narasi

Memberantas Perundungan di Bangku Pendidikan

Perundungan atau bullying merupakan fenomena fakta yang tak dapat dibantah dalam kancah pendidikan bangsa. Hampir setiap waktu kita dihadapkan pada kasus bullying yang diperankan oleh dan antar siswa. Jika ditelisik lebih dalam, sekolah merupakan lingkungan paling berpotensi terjadinya perundungan.

Sekolah memang merupakan rumah kedua anak yang paling riskan menyulut terjadinya kekerasan bullying. Ketika seorang anak melalukan tindakan bully otomatis akan men-stimulus lainnya untuk bertindak serupa. Maka sangat wajar jika Kid President dari Amerika, Robby Novak melontarkan sinyalemen “Don’t be a bully. Don’t even be a bully to the bullies, it just make more bullies”.

Sebab itu ketika memperingati hari Anak Nasional kemarin (23 Juli 2018), KPAI berhasil merilis kasus kekerasan pada tahun 2018. Data bidang pendidikan menyebutkan kasus anak pelaku kekerasan dan bullying menempati posisi puncak, yaitu sebanyak 41 kasus atau 25,5 persen dari 161 kasus.

Tak elok rasanya jika lembaga pendidikan disisipi dengan tindakan perundungan yang melampaui batas. Tindakan bullying baik verbal, fisik, dan psikis menjadi momok paling berbahaya di kalangan generasi muda. Ini biasanya dilakukan pada momen-momen tertentu, misalnya pada saat masa orientasi peserta didik baru. Umumnya, dilakukan oleh kakak kelas kepada adik kelas.

Bagi remaja bullying dianggap sebagai laku ringan yang tak membekas apa-apa demi memperoleh apresiasi sekitar. Padahal, bullying sangat besar pengaruhnya terhadap korban. Tindakan perundungan biasanya berujung percekcokan dan baku hantam yang kemudian memakan korban.

Dilansir dari berita Republika.co.id 28 April 2018 lalu, Sebuah sekolah di provinsi Shaanxi, China terjadi peristiwa penusukan yang menyebabkan tujuh siswa meninggal sementara 12 lainnya menderita cedera. Pelaku penusukan yang berhasil diamankan polisi bernama Zhao yang berdomisili di desa Zhaojiashan. Dia mengaku melakukan penusukan tersebut karena mendapatkan bully dari rekan-rekannya di sekolah. Artinya, bullying bukan kasus remeh yang hanya dipandang sebelah mata.

Melihat fenomena tersebut sekolah sebagai lokomotif pembangun manusia harus berjuang keras menghadang arus perundungan yang sulit dibendung. Berbagai revisi dan evaluasi regulasi terus bergulir untuk mencegah kasus perundungan yang semakin menjamur.

Akuntabilitas Pendidikan Anak

Anehnya, di tengah upaya berjuang melawan fenomena perundungan yang semakin mengakar, lembaga pendidikan masih dijadikan kambing hitam oleh pihak orang tua. Seolah akuntabilitas mutlak pendidikan anak berada pada pundak meja pendidikan. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Mencegah kasus perundungan yang begitu masif tidak hanya bisa melibatkan lembaga pendidikan an sich. Kehidupan anak di sekolah tak lepas dari efek kehidupan di rumah dan pergaulan dalam masyarakat. Kita sepakat bahwa kedua domain tersebut (keluarga dan masyarakat) juga sama-sama menjadi donatur utama terbentuknya tindakan perundungan.

Namun, fakta yang terjadi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat masih belum bersinergi dalam memberantas bullying. ketika sekolah berupaya mencari segala solusi ternyata terbentur dengan kebijakan orang tua siswa (keluarga). Begitupun, ketika keluarga berusaha mati-matian menanamkan benih kebaikan kepada anak, tak sedikit dari lingkungan masyarakat menampakkan perilaku yang bertolak belakang.

Permasalahan lain, mayoritas kita belum menyiapkan diri menjadi orang tua sehingga ketika dihadapkan dengan fenomena perundungan masih kelimpungan. Minimnya pendidikan parenting menjadi salah satu indikator apatisme orang tua terhadap permasalahan anak. Akhirnya anak terbiasa melakukan tindakan amoral.

Terlepas dari kehidupan keluarga ternyata lingkungan masyarakat yang merupakan ranah paling luas juga ambil peran dalam kasus perundungan. Hal ini tidak bisa disalahkan, karena tak sedikit dari masyarakat kita masih perlu pemberdayaan. Contoh sederhana, ketika remaja saling mengejek (bullying) antar sejawat, masyarakat yang melihat hanya diam tanpa menegur, bahkan tak sedikit juga yang menertawakannya.

Bentuk pemberdayaan terhadap masyarakat paling tidak mencakup pemberdayaan orang tua (Parent empowerment), dan kemitraan masyarakat dan sekolah (partnership/communal parents and teachers collaborate equitably). Dalam banyak penelitian tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan, sekolah dan masyarakat yang sederajat (equal partnership) merupakan strategi yang paling efektif dan memberi pengaruh besar terhadap hasil belajar siswa (Bauch dan Goldring dalam Ahmad Baedowi, 2015)

Jadi, untuk mencapai keberhasilan anak dan terhindar dari laku negatif di lembaga pendidikan butuh peran keluarga dan mayarakat yang maksimal. Menyelaraskan kebijakan sekolah, keluarga, dan masyarakat memang tidak semudah membalikka tangan, diperlukan suatu media atau wadah untuk menyatukan pandangan ketiga domain tersebut. Pertanyaannya, kegiatan apa yang pantas untuk hal tersebut?

Revitalisasi PPOT

Dalam rangka menunjang pendidikan anak, dan meminimalisir kasus perundungan dan tindakan negatif yang mungkin terjadi, sekolah berinisiatif mengadakan Program Pelatihan Orang Tua (PPOT) untuk para wali murid. Dan ini bukan hal baru dalam dunia pendidikan khususnya di perkotaan. Namun, program ini biasanya hanya dilaksanakan di awal tahun ajaran baru atau hanya satu kali dalam semester.

Seyogyanya PPOT harus lebih diintensifkan lagi mengingat makin masifnya problema yang menimpa anak-anak kita. Program tersebut sangat efektif untuk menunjang kepapaan orang tua dalam mendidik anak. Konten pelatihan dapat berupa pendidikan menjadi orang tua yang baik atau cara-cara menangani kasus-kasus negatif anak seperti perundungan dan lain-lain.

Orang tua yang selama ini masih gamang dengan cara mendidik anak, akhirnya bisa mengambil sikap dengan adanya program tersebut. Sehingga peran keluarga bisa terlaksana secara efektif dan optimal. Tapi, bagaimana dengan masyarakat yang tidak memiliki akses untuk mengikut PPOT di sekolah?

Jawaban yang pas untuk pertanyaan di atas yaitu dengan pengadaan PPOT di lingkunga masyarakat. Ini bisa menjadi langkah jitu untuk merevitalisasi semangat masyarakat dalam mengambil peran lantaran minimnya pengetahuan. Peran serta tokoh masyarakat seperti Ketua RT/RW sangat diharapkan dalam pelaksanaannya. Tokoh masyarakat juga bisa bersinergi dengan para aktivis pendidikan untuk menunjang kesuksesan program tersebut.

Pelaksanaan PPOT yang melibatkan ranah keluaraga dan masyarakat diharapkan menjadi pelecut spirit dan pemersatu mindset dalam memberantas perundungan dan kekerasan anak yang semakin marak di bangku sekolah. Artinya, Peran keluarga dan masyarakat mutlak tidak dapat diabaikan dalam satuan pendidikan.

This post was last modified on 6 September 2018 5:46 PM

Nurul Yaqin

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

9 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

9 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

9 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago