Narasi

Memperkuat Imunitas Mental; Menangkal Narasi Radikal di Dunia Digital

Penggunaan teknologi digital di masa pandemi meningkat drastis. Data Kemenkominfo menyebut, terjadi peningkatan penggunaan internet sekitar 10 persen selama pandemi. Di saat yang sama, terjadi peningkatan produksi dan distribusi konten berbau radikalisme di internet. Hal itu dikonfirmasi oleh Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar dalam acara The Second Uniterd Nations High-Level Conference of Heads of Counter-Terrorism Agencies of Member States.

Ruang digital kerap disebut sebagai ruang sesak media. Di dalamnya, berbagai jenis pesan, informasi dan pengetahuan dalam berbagai format (teks, audio, audio-visual) saling berebut tempat menjadi paling dominan. Ruang digital telah menjadi semacam arena pertempuran (battle ground) opini, wacana dan narasi baik dalam konteks isu sosial, politik dan keagamaan.

Di masa pandemi, asumsi dunia digital sebagai arena battle ground itu semakin tervalidasi. Saban hari kita menyaksikan bagaimana opini, wacana dan narasi disebarluaskan di kanal-kanal media sosial. Ironisnya, tidak semuanya memiliki vibes yang positif. Tidak sedikit di antaranya justru bernuansa radikalisme. Di dunia digital, kaum radikal tidak melulu bicara tentang kekerasan, bom bunuh diri dan sejenisnya.

Di dunia digital, narasi radikalisme diperhalus ke dalam upaya adu-domba antarsesama masyarakat maupun provokasi untuk membangkang pada aturan pemerintah. Saking halusnya, masyarakat kerap tidak sadar bahwa mereka tengah terjebak dalam arus besar propaganda wacana yang digulirkan kelompok radikal. Pelan namun pasti, masyarakat pun terpapar bahkan terinveksi virus radikalisme digital.

Di era pandemi ini, kaum radikal getol memelintir kebijakan pemerintah dengan narasi-narasi yang menyesatkan. Kebijakan PPKM Darurat ihwal pembatasan tempat ibadah misalnya dipelintir ke dalam narasi islamophobia dan sentimen anti-Islam. Nyaris saban hari, tanda pagar yang mendeskreditkan kinerja pemerintah menangani pandemi menjadi trending topic di kanal medsos. Semua itu tidak lain merupakan bagian dari skenario kaum radikal untuk melemahkan negara dari dalam.

Menguatkan Imunitas Mental

Tingginya intensitas radikalisasi digital mengharuskan kita menguatkan imunitas mental. Selain menjaga kesehatan fisik agar tidak terpapar virus corona, kita juga perlu menjaga imunitas mental agar tidak terpapar narasi radikal di dunia digital. Merujuk pada penelitian yang dilakukan Minardi, penyalahgunaan teknologi digital oleh kaum radikal dapat diklasifikasikan ke dalam setidaknya empat bentuk.

Pertama, penggunaan media digital untuk menyebar propaganda radikalisme. Praktik ini biasanya dilakukan dengan menyebar narasi keagamaan yang intoleran. Selain itu, narasi radikal di dunia digital juga mewujud pada upaya memprovokasi dan mengadu-domba masyarakat sehingga tercipta semacam polarisasi.

Kedua, penggunaan media digital sebagai sarana rekrutmen dan indoktrinasi anggota baru. Selama ini, rekrutmen dan indoktrinasi melalui daring nisbi berhasil melahirkan para teroris-teroris baru. Zakiah Aini, perempuan pelaku aksi penyerangan Mabes Polri ialah bukti nyata betapa efektifnya rekrutmen dan indoktrinasi radikalisme-terorisme melalui komunikasi daring.

Ketiga, penggunaan media digital sebagai sarana merencanakan teror lapangan. Dalam beberapa tahun terakhir, kaum radikal-teroris lebih suka menggunakan media daring untuk merencanakan aksi ketimbang melalui komunikasi tatap muka. Beragam platform komunikasi digital dipakai untuk mengelabuhi aparat keamanan. Alhasil, banyak aksi terorisme yang terjadi tanpa bisa diprediksi sebelumnya.

Keempat, penggunaan media digital untuk mencari pendanaaan. Modus yang belakangan ini marak ialah melalui penggalangan dana secara daring dengan menunggangi isu-isu kemanusiaan seperti isu konflik Suriah atau Palestina. Belakangan terungkap, hasil penggalangan dana tersebut beberapa ada yang mengalir ke sejumlah organisasi teroris.

Mengidentifikasi modus-modus penyalahgunaan teknologi digital oleh kelompok radikalis ini penting agar masyarakat tidak terjerumus dalam tarikan arus radikalisasi di dunia maya. Kita patut mengapresiasi langkah tegas aparat keamanan yang gencar membongkar jejaring kelompok radikal di dunia maya. Tercatat, atusan akun medsos dan puluhan situs yang giat menyebarkan propaganda radikalisme di dunia maya telah diblokir pemerintah.

Namun, itu belum cukup untuk menangkal narasi radikal di dunia digital. Diperlukan kesadaran bersama masyarakat untuk jeli dalam memilah dan memilih informasi. Jangan sampai kita menjadi kepanjangan tangan dari kaum radikal dengan menyebarkan konten anti-pemerintah atau narasi yang mengarah pada provokasi dan adu-domba. Perpaduan antara tindakan hukum dan penyadaran publik itu akan menjadi modal penting membentuk imunitas mental dalam menangkal ideologi radikal di dunia digital.

This post was last modified on 13 Juli 2021 1:29 PM

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago