Pernah pada suatu masa, mobilitas dan militansi orang tak pernah ditentukan oleh otoritas-otoritas agung, nama-nama besar, dan bahkan harta. Mobilitas dan militansi itu ternyata dapat pula dibangkitkan dengan dunia khayali atau imajinasi, sebagaimana daya musik yang mampu membangkitkan tanpa perlu kemengertian.
Dalam kajian budaya, kita tentu paham akan para pemikir semacam Lyotard, Derrida, Barthes, McLuhan, Baudrilliard, dsb., yang semuanya seperti menemukan kenyataan dari berbagai analisanya pada hari ini.
Artinya, kita, atau generasi-generasi sebelum kita, seolah sudah hidup di zaman digital seperti sekarang ini meskipun hanya pada tataran konseptual ataupun angan. Jadi, ketika pun sedikit terlambat atau gagap dalam menyikapi realitas zaman ini, setidaknya kita cukup paham akan segala konsekuensi yang mesti dihadapi.
Berbeda dengan generasi Z, generasi Alfa, dst., yang tentu saja seakan langsung berdenyut dengan realitas dunia digital dengan segala logika dan mekanismenya sebagai lingkungan pertamanya. Maka, jangan sekali-kali berani berharap akan berbagai “ideologi” yang bekerja di balik segala gebyar zaman digital ini akan patut untuk sekedar ditengok oleh generasi-generasi sekarang ini.
Sebagaimana Foucault yang pernah menyatakan bahwa kuasa kita di tengah “permainan” jejaring kuasa-pengetahuan hanyalah sekedar tahu bahwa “permainan” itu adalah milik kita, atau dengan kata lain kita tak mungkin mengelak dari itu semua (The Passion of Michel Foucault, 1993), begitulah pula yang barangkali menjadi “nilai etis” tertinggi generasi sekarang ini.
Ketika mesti berkaca pada film Matrix yang disutradarai oleh Wachowsky Brother, sebuah film yang cukup representatif dalam menggambarkan realitas zaman ini, tentu peran seorang Neo yang pernah disadarkan mati-matian oleh Morpheus bukanlah sebuah peran yang layak untuk diperankan.
Namun, tentu saja “kekurangan”—atau justru “kelebihan”?—generasi masa sekarang itu mempunyai konteks dan momentumnya sendiri. Persis sebagaimana generasi Y (yang sudah mengawali “revolusi” dengan jalur digital) yang dahulu memiliki denyutnya sendiri terlepas dari generasi X yang konon lebih emansipatif, entah dalam artian marxian ataupun kanan.
Dengan demikian, perkembangan dunia digital yang seolah tak mungkin lagi untuk disikapi, bukanlah sebuah fenomena yang pantas untuk dikhawatirkan, karena konon setiap zaman memang memiliki anak-anak kandungnya sendiri.
Elan kepemudaan yang direpresentasikan oleh peristiwa Sumpah Pemuda yang terjadi pada tahun 1928, yang konon dilakukan oleh generasi pendiam (Silent Generation), tentu akan memiliki makna dan greget kebangsaan yang berbeda dengan generasi-generasi sesudahnya.
Zaman disrupsi telah menjadi babak baru dalam perjalanan umat manusia. Dunia berubah dengan sangat cepat,…
Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia mengenang kembali ikrar agung para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara…
Di peringatan Hari Sumpah Pemuda, Alvara Institute merilis whitepaper hasil riset terhadap generasi Z. Riset…
Dunia metaverse yang imersif, kecerdasan buatan (AI) yang kian intuitif, dan komunikasi interaktif real-time telah…
Beberapa tahun lalu, gambaran dunia virtual tiga dimensi seperti dalam film Ready Player One hanyalah…
Kita hidup di zaman yang oleh sosiolog Manuel Castells disebut sebagai Network Society, sebuah jejaring…