Narasi

Zaman Disrupsi dan Bagaimana Pemuda Memaknai Sumpahnya?

Zaman disrupsi telah menjadi babak baru dalam perjalanan umat manusia. Dunia berubah dengan sangat cepat, ditandai oleh kemajuan teknologi, digitalisasi, dan kecerdasan buatan yang mengubah hampir seluruh aspek kehidupan. Disrupsi bukan sekadar tentang kemajuan teknologi, melainkan juga tentang pergeseran cara berpikir, berinteraksi, bekerja, bahkan memahami realitas sosial dan politik.

Di tengah perubahan yang tak terhindarkan ini, generasi muda berdiri di persimpangan sejarah—antara mempertahankan jati diri kebangsaan dan terseret arus globalisasi yang tanpa batas. Dalam situasi ini, pertanyaan penting muncul: bagaimana pemuda masa kini memaknai sumpahnya, semangat yang dulu membentuk fondasi persatuan bangsa, di tengah realitas dunia yang semakin terhubung namun juga semakin rapuh secara moral dan sosial?

Zaman disrupsi membawa banyak peluang luar biasa. Dengan hanya satu perangkat di genggaman, seorang pemuda bisa belajar dari universitas dunia, membuka usaha daring, atau membangun gerakan sosial lintas negara. Dunia digital menawarkan kecepatan, efisiensi, dan keterbukaan informasi yang belum pernah ada sebelumnya. Namun, bersamaan dengan itu, muncul pula berbagai tantangan yang kompleks: mulai dari disinformasi hingga polarisasi.

Di dunia maya, batas antara kebenaran dan kebohongan semakin kabur; yang viral sering kali dianggap benar, dan yang benar justru tenggelam di antara lautan opini dan persepsi liar nitezen. Dalam kondisi ini, pemuda dihadapkan pada tantangan moral yang jauh lebih rumit dibandingkan generasi sebelumnya—bagaimana tetap berpikir kritis, menjaga integritas, dan menegakkan nilai kebangsaan di tengah derasnya arus disrupsi global.

Pemuda sejatinya adalah simbol perubahan, kekuatan moral, dan energi kebangsaan. Sejarah bangsa Indonesia mencatat, setiap fase penting dalam perjalanan nasional selalu melibatkan peran strategis anak muda. Namun dalam konteks kekinian, perjuangan pemuda tidak lagi berbentuk fisik atau perlawanan terhadap penjajahan, melainkan perjuangan menghadapi bentuk kolonialisme baru: penjajahan informasi, kapitalisme digital, dan penetrasi budaya asing yang perlahan menggerus nilai-nilai nasional sebagai identitas bangsa.

Ketika algoritma media sosial menentukan apa yang harus dilihat, disukai, dan dipercaya, pemuda dituntut untuk memiliki daya seleksi yang tinggi agar tidak kehilangan arah dan jati dirinya. Maka, menjadi pemuda Indonesia di era disrupsi berarti bukan hanya melek teknologi, tetapi juga melek nilai—mampu memanfaatkan teknologi dengan semangat kebangsaan yang berpijak pada kearifan lokal dan cita-cita nasional bangsa Indonesia.

Dahulu, semangat persatuan dimaknai dalam konteks teritorial dan etnis, tetapi kini, persatuan harus diterjemahkan dalam bentuk solidaritas digital dan kolaborasi lintas batas. Pemuda dari Aceh hingga Papua bisa bekerja sama tanpa harus bertemu secara fisik, menyatukan ide dan kreativitas untuk membangun inovasi sosial. Persatuan tidak lagi semata tentang wilayah, tetapi tentang visi bersama: membangun Indonesia Emas 2045.

Oleh karena itu, memaknai sumpah pemuda di era disrupsi berarti mengembalikan semangat kebersamaan di tengah dunia yang terfragmentasi oleh algoritma dan ego digital. Pemuda harus belajar menjadi jembatan—bukan sekadar pengguna teknologi, tetapi penggerak nilai yang mempertemukan perbedaan. Pemuda masa kini harus memahami bahwa nasionalisme bukan sekadar mencintai simbol-simbol kebangsaan, melainkan juga mencerminkan sikap bertanggung jawab dalam penggunaan teknologi digital, menolak ujaran kebencian, dan aktif menyebarkan nilai kemanusiaan di ruang digital.

Hari Sumpah Pemuda yang setiap tahun diperingati pada 28 Oktober tidak boleh hanya menjadi ritual seremonial, tetapi juga harus momen reflektif untuk meninjau kembali peran mereka dalam menghadapi dunia yang terus berubah. Sumpah pemuda bukan sekadar sejarah masa lalu, melainkan kompas moral yang menunjukkan arah masa depan bangsa. Di tengah derasnya arus disrupsi, sumpah itu memanggil lagi—agar para pemuda tidak sekadar menjadi penonton perubahan, tetapi menjadi penggerak yang menyalakan kembali api kebangsaan.

Alfie Mahrezie Cemal

Recent Posts

Resep Pemuda di Era Rasulullah Membangun Persatuan Madinah

Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia mengenang kembali ikrar agung para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara…

6 menit ago

Menghayati Elan Kepemudaan, Dari Generasi Pendiam Hingga Generasi Z dan Alfa

Pernah pada suatu masa, mobilitas dan militansi orang tak pernah ditentukan oleh otoritas-otoritas agung, nama-nama…

8 menit ago

Kaum Muda Sebagai Game Changer; Masih Relevankah Sumpah Pemuda bagi Gen Z?

Di peringatan Hari Sumpah Pemuda, Alvara Institute merilis whitepaper hasil riset terhadap generasi Z. Riset…

1 hari ago

Sumpah Pemuda di Medan Juang Metaverse: Menjaga Kedaulatan Digital Menuju Indonesia Emas 2045

Dunia metaverse yang imersif, kecerdasan buatan (AI) yang kian intuitif, dan komunikasi interaktif real-time telah…

1 hari ago

Manusia Metaverse; Masihkah Gen Alpha Butuh Nasionalisme?

Beberapa tahun lalu, gambaran dunia virtual tiga dimensi seperti dalam film Ready Player One hanyalah…

1 hari ago

Penguatan Literasi Digital untuk Ketahanan Pemuda Masa Kini

Kita hidup di zaman yang oleh sosiolog Manuel Castells disebut sebagai Network Society, sebuah jejaring…

2 hari ago