Apa yang dilakukan masyarakat kiwari, seperti memanjakan kehendak dirinya sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Kehidupan diskursus publik, seolah bergerak kepada situasi word over-supply, bahkan telah beranjak ke words chaos, yang mencampuradukkan makna dan simbol. Yang memutarbalikkan pengertian-pengertian. Setiap pernyataan yang dilansir, seringkali tak mewakili hati nurani dan cenderung menyudutkan pihak lain. Seakan, perdebatan di ruang maya, tidak ada habisnya.
Mereka yang sama sekali bukan ahli, turut pula nimbrung. Padahal, itu hanya akan menambah kerunyaman suasana. Perputaran hoaks sering terjadi di lingkaran seperti ini. Entah bagaimana mestinya, hoaks diciptakan karena ada kepentingan masing-masing. Jika dibiarkan, dari kebencian di dunia maya, maka akan mewujud di ruang nyata. Yang pada akhirnya, kericuhan dan perpecahan masyarakat disinyalir dan digerakkan oleh informasi bohong.
Itu yang terjadi saat ini. Ramai-ramai media sosial membincangkan Taliban. Banyak dari mereka yang bersimpati kepada Taliban, saling mendukung, bahkan banyak pula yang menyuruh agar Indonesia meniru Taliban. Alasannya, supaya negara ini bisa melaksanakan hukum syariah secara ketat. Pikiran-pikiran semacam itu yang harus dihilangkan. Sebabnya, dalam jangka panjang, berefek ‘meracuni’ otak masyarakat sehingga timbul beragam perpecahan.
Terlepas benar atau tidaknya apa yang dilakukan Taliban, sepantasnya kita harus berhati-hati. Bisa saja, momentum seperti ini digunakan oleh kaum radikalis untuk memopulerkan dan menambah pengikut ideologi transnasionalnya. Arief, pengkaji di Lembaga Studi Infromasi Strategis Indonesia (LSISI), mengatakan bahwa ideologi transnasional merupakan suatu pandangan hidup yang saat ini diidentikkan dengan ajaran agama Islam ketimuran yang membawa gelora-gelora baru, yang merujuk kepada gerakan global melintasi batas-batas bangsa dan negara. Ideologi ini bukan hanya sebatas dakwah belaka, lebih dari itu, menggunakan gerakan politik dan militer sehingga dapat mempengaruhi kebijakan di suatu negara.
Membicarakan ideologi transnasional haruslah hati-hati, sebab, jika isu ini dimainkan dan ditunggangi oleh orang yang berniat buruk, maka mayoritas umat Islam di negeri ini akan terpancing emosi, sehingga malah mendatangkan kebencian. Ideologi transnasional ibarat sebilah pisau yang dengan mudah akan memutus jalinan kokoh NKRI.
Harus diakui, bahwa gerakan ideologi ini telah membuat Indonesia menjadi boneka mainan pihak asing. Mereka mengambil untung dari konflik keagamaan yang terjadi. Jika kedaulatan negara telah terancam, maka sangat mudah untuk dicuri SDA-nya. Boro-boro mau menjaga SDA, rakyatnya saja saling pecah dan bermusuhan.
Sebenarnya, jika umat Islam Indonesia bisa benar-benar kembali berkiblat dan mengamalkan Pancasila, tidak ada kata khawatir dengan ideologi transnasional ini. Jelas, ideologi tersebut adalah produk luar, sehingga akan termentakkan karena tidak cocok dengan ekosistem dan keragaman yang ada di Indonesia. Sedangkan Pancasila, diambil dari saripati ajaran luhur bangsa Indonesia. Oleh sebabnya, semua agama dan kepercayaan lokal di negara ini, tidak ada yang mempertentangkan ajarannya dengan Pancasila.
Semisal dalam lingkup agama Islam sendiri, justru Pancasila itu termasuk salah satu manifestasi dari hasil penafsiran Al-Quran dan Hadis. Pancasila yang sarat dengan nilai-nilai kesetaraan, demokrasi, dan ke-Esa-an Tuhan, sangat sesuai dengan spirit yang Islam ajarkan.
Dengan mengimplementasikan Pancasila, bukan berarti orang Islam menjadi kafir. Malahan, Islam sendiri yang menjadi inspirasi dari Pancasila itu. Konklusinya, jika seorang Muslim mengamalkan Islam secara benar dan kaffah, maka ia secara otomatis juga mengamalkan Pancasila. Karena Islam dan Pancasila bersifat linier—tidak bertentangan.
Pancasila sebagai dasar negara, dapat disamakan dengan Piagam Madinah yang dicetuskan oleh Rasulullah SAW ketika memimpin Madinah. Dengan Pancasila, Indonesia bukan menjadi negara atheis, sekuler, ataupun teokrasi-oligarki, melainkan menjadi negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan kesetaraan.
Oleh karena itu, mereka yang berjiwa Pancasilais, jelas akan memiliki kecintaan dan kesetiaan melimpah kepada bangsa dan negaranya, yang merupakan hasil final dari proses panjang perjuangan para ulama dan pahlawan dalam melawan penjajah. Ibarat kata, Pancasila adalah rumah besar dan kokoh yang sudah selesai dibangun, yang dapat melindungi pemiliknya dari terik matahari dan derasnya hujan. Dan pemilik rumah itu adalah bangsa Indonesia.
This post was last modified on 26 Agustus 2021 2:56 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…