Narasi

Menata Dakwah di Ruang Publik Virtual

Dakwah agama (apa pun itu!) sejatinya harus  disampaikan dengan cara-cara terbaik (billati hiya ahsan). Dakwah yang merangkul, bukan memukul; mengajak, bukan mengejek; dakwah yang tidak melukai perasaan orang lain.

Ruang publik dakwah seharusnya diisi dengan narasi positif-konstruktif-akomodatif, bukan malah terjebak pada narasi negatit-destruktif-agitatif. Dakwah  yang bisa diterima oleh semua tanpa mencederai rasa dan hati agama atau tradisi golongan lain.

Di sebagaian pemeluk agama –untuk tidak mengatakan seluruhnya—masih ada logika bahwa dakwah santun, sejuk, adem, damai, dan toleran hanya perlu di ruang publik. Sementara di ruang privat, kita boleh kok eksklusif, merasa paling benar, sembari menyalahkan agama dan keyakinan orang lain.

Logika ini tentu perlu ditinjau ulang kembali. Sebab, di era media sosial –ketika dinding sekat-sekat itu sudah roboh –batasan mana ruang privat dan mana ruang publik sangat tipis sekali, bahkan hampir tak bisa dibedakan lagi.

Boleh jadi, yang dulu dianggap ruang privat, dalam konteks sosial media, dunia digital, dan gemerlap informasi sekarang, justru dianggap sebagai ruang publik yang  bisa diakses oleh khalayak umum.

Dalam konteks ini, dakwah dengan cara-cara menegasikan agama lain, membandingkan agama kami dan agama mereka, sembari menegasikan keyakinan orang lain perlu ditinggalkan, baik oleh pemeluk agama terlebih penganjur agama. Dakwah dengan cara-cara ahsan (paling baik) tidak bisa tidak, harus disemarakkan.

Pergeseran Media Dakwah

Pergeseran media dakwah, dari cetak kepada media digital, perlu mendapat perhatian bersama. Mengingat, tidak semua konten yang disebarkan dalam berdakwah di sosial media (baca: ruang publik virtual) mengajak kepada nilai-nilai persaudaraan, cinta-kasih, kedamaian, persatuan, dan rasa tanggungjawab.

Data menunjukkan, banyak konten yang berseliweran di sosial media justru penuh dengan dakwah provokatif, hasutan, intoleransi, bahkan indoktrinasi radikalisme.

Dengan Fecabook, Youtube, Instagram, Twitter, dan sebagainya, ceramah atau khubat agama menyebar kemana-mana, tidak berhenti hanya pada komunitas agama tertentu saja.

Kita tidak bisa lagi mengatakan, “Itukan ceramah khusus agama kami, mengapa agama lain curi-curi dengar. Salah mereka sendiri!” Sebab, zamannya sekarang adalah era keterbukaan, kita hidup dalam ruang yang taka da sekat-sekat lagi.

Solahuddin (2018), peneliti yang sudah lama bergelut dalam penelitian terorisme, dalam presentasinya di Sekolah Kebudayaan dan Kemanusian Ahmad Syafii Maarif,  menyampaikan bahwa doktrinasi dan radikalisasi anggota teroris sekarang dilakukan lewat media sosial.“Jika di dunia nyata butuh sekitar 10 tahun untuk menjadikan seseorang menjadi teroris, maka di dunia maya hanya membutuhkan sekitar 1 tahun saja, imbuhnya.

Mendekteksi ‘dakwah negatif-destruktif-agitatif” merupakan bagian dari dakwah. Bila menyampaikan pesan damai, cinta, persaudaraan disebut dengan amar ma’ruf, maka mencegah agar dakwah itu tidak terjerumus kepada hal-hal yang menimbulkan pertengkaran, perselisihan sebagai anak bangsa, itu disebut sebagai nahy mungkar.

Patroli Online

Hubungan yang damai, toleran, dan penuh kedekatan merupakan idaman setiap insan. Akan tetapi, di tengah gemerlap kemajuan teknologi, di tambah lagi adanya penetrasi media sosial, setiap insan dalam konteks tertentu lupa akan cita ideal itu. Membangun toleransi, kesalingpahaman, dan bentuk ke-saling-an yang lain adalah model dalam hubungan berbangsa dan bernegara.

Egoisme dan individualisme yang merebak menjadi salah satu pemicu maraknya tindakan yang jauh dari kata kesalingpahaman. Orang hanya memikirkan diri dan kelompoknya sendiri. Sikap mau membangun hubungan dengan orang jika itu menguntungkan, jika tidak akan ditolak mentah-mentah.

Kondisi seperti ini, tentu sudah menjadi tugas bersama menjadikan patrol online sebagai safari dakwah dunia maya. Selain berperan aktif dalam berdakwah, setiap kita juga harus aktif patroli untuk mengawasi mana konten-konten yang provokatif, hasutan, menimbulkan perpecahan; mana dakwah yang merangkul dan mendamaikan.

Tugas ini penting, dengan alasan apabila patroli dakwah ini dilakukan oleh pelaku dakwah sendiri, maka akan lebih efektif dan mengena, ketimbang dilakukan oleh orang luar yang bukan pelaku dakwah.

Patroli online dilakukan dengan cara melihat nalar para pelaku dakwah di media sosial. Nalar adalah basis paling fundamental untuk melihat sesuatu. Nalar kekerasan akan melahirkan produk kekerasan, teror, intoleransi, permusuhan, dan dis-harmoni. Sebaliknya nalar cinta akan menumbuhkan kedamaian, kesejukan, cinta-kasih, rasa kemanusian, toleransi, dan tenggang rasa.

Artinya, kebencian, cinta, permusuhan, kedamaian, dan semacamnya merupakan sebuah produk, sementara nalar adalah alat produksi. Maka untuk mengubah sesuatu, yang harus pertama kali dikendalikan dan dibenahi adalah nalarnya, karena dia adalah mesin, bukan yang lain.

Buruknya wajah media sosial kita memang tak lepas  absennya cinta sebagai nalar yang digunakan oleh para pengguna media sosial dalam berdakwah. Akibatnya saling serang, cacimaki, dan hasutan kebencian terelakkan lagi.

Cinta harus bersemayam lagi di hati para pelaku dakwah. Bila cinta bersemayam, takkan mungkin ada istilah: minna wa min hum, ini golongan kami, mereka bukan golongan kami. Kami selalu benar, mereka selalu salah. Dalam kondisi seperti inilah perlu menjadikan cinta sebagai nalar.

Billati Hiya Ahsan

Dakwah billati hiya ahsan adalah dakwah santu, merangkul, menyebarkan kebenaran tanpa melukai dan menyalahkan pihak lain. Dakwah ahsan bisa menjadi jalan keluar.

Menyebarkan kebenaran agama yang kita anggap benar, tetapi tidak menyalahkan kebenaran agama lain. Menyerukan keagungan Tuhan yang kita sembah, sembari tidak mencaci-maki Tuhan dan sesembahan agama lain. Mengajak dengan doktrin dan dogma agama yang kita ikuti, pada saat yang sama tidak mengatakan sesat dan kafir kepada doktrin dan dogma agama orang lain. Semua ini adalah kerja-kerja dakwah ahsan yang penuh kesantunan.

Ini penting dilakukan, sebab dakwah sekarang sudah bisa dilakukan oleh semua pihak. Pernyataan, jawaban, fatwa, dan nasihat yang diucapkan oleh tokoh agama tidak lagi dikonsumsi oleh pemeluk agama tertentu saja, melainkan bisa didengarkan oleh pemeluk agama lain. Sekalipun tokoh agama ceramah di tempat eksklusif agamanya, tetapi melalu rekaman itu bisa didengarkan penganut agama lain. Dakwah dengan cara provokasi, mencaci-maki, memfitnah, dan menegasikan yang lain sejatinya bukanlah dakwah. Agama apapun selalu mengajarkan, bahwa misi agama harus disampaikan dengan cara-cara terbaik (ahsan). Cara terbaik itu ukurannya adalah ketika pihak lain merasa nyaman dan tidak terusik dengan isi ceramah yang disampaikan

This post was last modified on 9 September 2020 6:24 PM

Hamka Husein Hasibuan

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

16 menit ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

20 menit ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

25 menit ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

1 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

1 hari ago