Tindakan kekerasan di masyarakat sudah pada level sangat mengkhawatirkan. Fenomena main hakim sendiri, aksi kekerasan, dan tindakan anarkis sudah masuk ke dalam hampir semua lini kehidupan. Mulai dari keluarga, sekolah, organisasi, perguruan tinggi, hingga ruang publik.
Mengapa bangsa yang dulunya dikenal adem, santun, suka kedamaian, kita berubah drastis menjadi bangsa yang suka marah, dikit-dikit demo, tak bisa memaafkan, dan kekerasan dijadikan jalan keluar?
Dalam acara Mufakat Budaya Indonesia 2019 di Jakarta, 29-31 Oktober lalu, para pemikir dan budayawan sampai kepada kesimpulan, bahwa salah satu penyebabnya adalah bangsa Indonesia sudah kehilangan akar budayanya sebagai bangsa bahari yang tergantikan dengan budaya daratan.
Kebudayaan bahari adalah kebudayaan yang egaliter dan terbuka. Dalam kebudayaan bahari, masyarakatnya bisa menerima sesuatu yang “asing”, dan mau berdialog dengan liyan.
Beda halnya dengan kebudayaan daratan, yang lebih menekankan individualisme dan kompetisi. Akibatnya, susah berdialog, mau menang sendiri, dan tidak terjadi proses saling memahami.
Egaliter dan Terbuka
Kunci peradaban bahari adalah egaliter dan terbuka. Egaliter, memposisikan semua manusia itu setara, tidak ada kelas wahid dan kelas dua, tidak ada kasta, semuanya dalam standar kemanusiaan, yakni setara.
Sikap egaliterisme yang ditimbulkan oleh kebudayaan bahari sangat efektif dalam menangkal radikalisme. Radikalisme –baik sebagai pemikiran, sikap, terlebih-lebih tindakan –selalu menempatkan manusia menjadi dua kotak: kami versus mereka. Kami pasti benar, baik, dan bagus. Mereka pasti salah, buruk, dan jahat.
Baca Juga : Spiritualisme Versus Radikalisme
Pembedaan ini lahir dari keyakinan mendasar bahwa manusia itu tidak setara. Kami unggul, pasti benar, mereka lemah, pasti kalah. Dalam budaya bahari, pembedaan ini tidak ada. Semuanya setara dan sama sebagai manusia; sama-sama ciptaan ilahi.
Sifat kesetaraan ini akan melahirkan sikap yang kedua yakni, keterbukaan. Para pendahulu kita yang hidup di pinggir laut dan terbiasa dengan dunia laut, adalah manusia-manusia yang terbuka.
Faktor alam yang tidak menentu, iklim yang bisa berubah-ubah, kondisi laut yang tidak bisa dipastikan, secara aktual mempengaruhi sikap, tindakan, dan cara berpikir mereka menjadi manusia-manusia yang terbuka.
Terbuka terhadap ilmu pengetahuan baru, terbuka kepada tradisi dan budaya baru, dan terbuka terhadap tamu yang baru. Sikap terbuka, mau berdialog dan memahami yang lain adalah modal yang sangat kuat bagi individu untuk tidak terjerumus kepada kubangan radikalisme.
Terjadi Pergeseran
Akan tetapi, dua karakter mendasar bangsa ini, egaliter dan terbuka –mulai bergeser kepada budaya daratan yang individual dan penuh kompetisi. Sikap individual, yang lebih menekankan diri/kelompoknya sendiri, adalah fenomena daratan yang tidak dikenal dalam kebudayaan bahari.
Yenrizal Tarmizi, selaku pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang (11/11/2109) menyatakan: “Kebudayaan bahari dipahami sebagai kebudayaan yang melahirkan manusia tidak egois, mereka bangga jika dirinya memberikan manfaat bagi banyak orang”.
Kebanggaan dalam budaya bahari adalah kebanggaan sebab memberikan manfaat kepada orang lain, bukan kebanggaan sebab menebarkan terror, ketakutan, pembunuhan, dan bom bunuh diri.
Kebangaan terakhir lahir dari individualisme, yang tidak mau berempati terhadap pihak lain. Maunya menang sendiri, dan tidak mau mengalah.
Sifat individualisme pada akhirnya melahirkan sifat kedua, yakni, kompetisi, maunya selalu bersaing. Bersaing dalam kebaikan tentu sangat bagus, tetapi bersaing dalam kebaikan hanya bisa dilakukan jika ada kolaborasi, mau bekerjasama dan menjalin persaudaraan dengan yang lain.
Persaingan ala kebudayaan daratan adalah persaingan yang tidak ada kerjasama dan persaudaraan. Asalkan saya menang, saya siap menikam lawan. Asalkan saya masuk surga, saya siap membunuh orang. Asal saya membela kebenaran, saya bersedia mati, meski dengan bom bunuh diri.
Rekomendasi
Untuk itu, para pakar dan budayawan yang terkumpul dalam forum Mufakat memberikan beberapa rekomendasi terkait dengan mengatasi radikalisme.
Pertama, mengurangi atau menghapus pola atau berelasi atau berkomunikasi berdasar adab daratan yang banyak ditandai dengan konflik dan menggantinya dengan budaya bahari/air yang lebih toleran, terbuka, dan akomodatif.
Kedua, menghupus kebijakan pemerintah yang mengganggu dan merusak tatanan adat masyarakat. Yang harus dilakukan pemerintah adalah mendukung atau membuat kebijakan yang memperkuat kualitas produksi budaya.
Ketiga, pemerintah tidak boleh merasa memiliki hak untuk mengendalikan pikiran dan gagasan sebagai pre-tekxt untuk mengurangi atau menghapuskan radikalisme, tetapi harus ditempuh dengan kerja-kerja kolektif, gotong-royong, dan melibatkan budaya lokal.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…