Categories: Narasi

Mendidik ‘Rahmat’ di Sekolah

Sebuah survei yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) Jakarta pada tahun 2010 menunjukkan fakta yang cukup mencengangkan. Sebanyak 48,9 % siswa dari total 200 SMP dan SMA di Jabodetabek menyatakan setuju terhadap aksi kekerasan atas nama agama. Hal ini menunjukkan paham kekerasan bukan saja telah masuk ke sekolah, melainkan telah berkembang dan mulai mendapat pengikut di kalangan pelajar.

Fakta tersebut menyentak kesadaran nasional, ternyata selama ini kita lengah dan kehilangan kesadaran tentang bahaya pengaruh paham kekerasan atas nama agama itu. Masuknya paham tersebut di dunia pendidikan tidak bisa begitu saja dipersalahkan kepada para guru ataupun guru agama formal. Karena sejatinya pengaruh negatif, baik itu pornografi maupun kekerasan atas nama agama, adalah tanggung jawab nasional kita sebagai bangsa. Konten-konten bermuatan negatif itu justru masuk lewat jalur luar dunia pendidikan formal, seperti internet, televisi, atau majalah.

Bahkan belakangan, kehadiran pihak luar sekolah yang menjadi mentor pengajaran agama ekstra kurikuler patut dipertanyakan. Menurut beberapa studi, sejumlah kalangan yang ‘berani’ mengajarkan nilai agama di ekstra kurikuler sekolah tidak memiliki kompetensi memadai dalam keilmuan agama. Karena memang faktanya selama ini, para mentor eskul tersebut tidak pernah disertifikasi atau dinilai kelayakan keilmuan dan paham keagamaannya.

Jika demikian keadaannya, tidak menutup kemungkinan bila penyebaran konten negatif berupa paham kekerasan atas nama agama berawal dari mentor yang tidak mumpuni dalam persoalan keagamaan. Bagaimana mungkin kita bisa mempercayakan nilai-nilai agama yang luhur dan penuh ‘rahmat’ diajarkan oleh orang yang kurang memahami agama?!

Tentu, tidak ada kata terlambat untuk membenahi persoalan ini. Paham kekerasan, permusuhan, dan eksklusifitas beragama yang pernah diajarkan lewat eskul sekolah masih mungkin untuk dibendunng dan diarahkan kepada hal yang jauh lebih positif. Caranya adalah dengan ‘membanjiri’ kurikulum eskul sekolah dengan nilai-nilai agama yang cinta damai.

Masuknya konten negatif kekerasan agama di sekolah bukan saja ancaman di masa kini, tetapi juga di masa mendatang. Jika tidak segera dibendung, para siswa yang notabene masih berusia muda dapat berpotensi memunculkan keresahan dan mengganggu nilai peradaban agama dan negara di masa depan. Kita semua mafhum bahwa konten negatif kekerasan itu lahir dari pembacaan dan pemahaman ajaran agama yang tidak tepat. Karena tidak mungkin agama mengedepankan kekerasan terhadap sesama!

Namun sayangnya, pemahaman agama yang tidak tepat itu justru memiliki porsi penyebaran yang sangat besar di media, terutama internet. Khusus untuk internet, penelitian yang dilakukan Setara Institute di 76 sekolah SMU di Jakarta dan 38 lainnya di Bandung pada 9-19 Maret 2015 lalu menunjukkan bahwa 67 % siswa mengaku mendapat informasi dari media internet. Sementara hanya 2,2 % siswa yang mendapat informasi dari ceramah/penyuluhan. Sisanya mengaku mendapat informasi dari media lain seperti Televisi, Radio, majalah, dan sebagainya.

Penyebaran informasi melalui media internet ibarat dua mata pedang. Di satu sisi patut disyukuri kemajuan teknologi dapat membantu siswa mendapat informasi secara lebih mudah dan menyenangkan. Namun di sisi lain, kita juga harus selalu waspada karena informasi yang disebar di Internet nyaris tidak memiliki ‘saring’ sehingga perlu diverifikasi lebih lanjut kebenarannya. Informasi apapun, salah ataupun benar, dapat menyebar dengan bebas tanpa batas ruang dan waktu.

Hasil riset tersebut berlanjut pada data mencengangkan. Ternyata, 16,9 % siswa yakin ISIS sedang menjalankan titah agama dengan mendirikan negara Islam. Bahkan, 9,5 % siswa setuju dengan agenda dan ‘dakwah’ kejam ala ISIS. Meski jumlah itu tidak sebanyak dibanding dengan siswa yang menganggap ISIS adalah teroris sadis (36,2%) dan pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama (30,6%), namun tetap saja jumlah ini mengkhawatirkan. Bukankah satu orang pelaku bom bunuh diri sanggup membunuh puluhan nyawa tak berdosa?! Semoga kita bisa menatap masa depan yang lebih baik lagi!

This post was last modified on 20 Mei 2015 10:50 AM

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Sangkan-Paran, Kebudayaan, dan Mata Air Keagamaan

Sejauh mana pada dasarnya lokalitas dalam ungkapan “kearifan lokal” ketika ternyata kearifan itu telah melewati…

1 jam ago

Kearifan Lokal Menumbuhsuburkan Syariat Agama

Sangat disayangkan manakala ada anggapan bahwa kearifan lokal merupakan musuh bagi syariat agama. Kearifan lokal…

1 jam ago

Pintu Masuk Radikalisasi adalah Antipati terhadap Kearifan Budaya

Radikalisasi merupakan proses yang menyebabkan seseorang jatuh dalam pemikiran radikal dan ekstrem. Salah satu pintu…

1 jam ago

Benarkah Budaya Lokal Mendangkalkan Akidah ?

Dalam beberapa tahun terakhir, diskusi tentang hubungan antara Islam dan kearifan lokal semakin sering mencuat,…

2 jam ago

Kerapuhan Khalid Basalamah dalam Menyikapi Islamisasi Tradisi Lokal

Salah-satu sosok penceramah yang sangat gencar menolak islamisasi tradisi lokal adalah Khalid Basalamah. Bahkan, beberapa…

23 jam ago

Anggapan Keliru Kearifan Lokal dan Tradisi Menodai Akidah

Akidah mana yang tercemari oleh pujian-pujian kepada nabi, bunyi rebana, wewangi kemenyan, atau bahkan ziarah…

1 hari ago