Categories: Tokoh

Ibnu Jarir Al Thabari

Siapa tidak tahu Ibnu Jarir Al Thabari? Para pegiat keilmuan Islam klasik pasti tau nama ini. Dia adalah mufassir besar yang hidup di masa klasik Islam (310 H). Dilahirkan pada 224 H atau 225 H (sekitar 839 atau 840 H) di sebuah desa bernama Amul di daerah Thabaristan (sebelah selatan laut Kaspia) dan masuk wilayah Iran saat ini. Disebut Thabaristan karena pada masa itu wilayah ini dihuni oleh masyarakat yang gemar berperang menggunakan ‘Thabar’ (Kapak), sementara istilah ‘stan’ berarti Bumi.

Nama lengkapnya Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kholid bin Gholib al-Thabari, atau Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Gholib al-Thabari. Dia juga populer dengan sebutan Abu Ja’far (bapaknya Ja’far). Sebutan itu bukan karena mempunyai anak bernama Ja’far, melainkan sebagai gelar kehormatan dari kaum Muslimin. Kata ‘Ja’far’ sendiri berarti ‘sungai yang luas’, karena itu gelar ‘Abu Ja’far’ adalah pengakuan atas keluasan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya.

Kepandaian Al Thabari konon telah diketahui ayahnya sejak ia masih kecil. Dalam sebuat riwayat dikisahkan ayahnya pernah bermimpi melihat Al Thabari bersama Rasulullah. Al Thabari terlihat sedang membawa sekop berisi batu yang kemudian diletakan di hadapan Nabi. Menurut seorang ‘alim, mimpi itu berarti kelak Al Thabari akan menjadi ulama besar dan menguasai syariat Islam.

Al Thabari hidup di masa puncak keemasan peradaban dinasti Abbasiah. Ia lahir pada saat khalifah al-Mu’tashim (khalifah ke-8 dinasti Abbasyiah) berkuasa (833-842 M). Lalu hidup dalam kepemimpinan sebelas khalifah selama 85 tahun. Pengalamannya melihat kondisi sosial politik inilah yang dikemudian hari memberinya inspirasi menulis magnum opus dalam bidang sejarah bernama Tarikh Al Umam wal Mulk (Sejarah Bangsa-bangsa dan Kerajaan).

Meskipun pada saat itu internal kerajaan kekhalifahan Islam silih berganti kepemimpinan lewat kudeta berdarah, namun masyarakat tidak terpengaruh dan tetap ‘menggilai’ ilmu pengetahuan dan pengembangan teori berbagai disiplin ilmu. Pada masa itu, para ulama dan cendikiawan diberi fasilitas memadai untuk bisa mengeksplorasi gagasan keilmuannya. Boleh jadi hal ini disebabkan oleh komitmen pemerintahan Abbasiah yang sejak awal berdirinya memiliki visi pengembangan peradaban dan keilmuan Islam.

Di masa hidupnya, Al Thabari menyaksikan peristiwa bersejarah yang sangat penting bagi umat Islam, yaitu tumbangnya doktrin teologi Mu’tazilah yang kala itu menjadi madzhab resmi negara. Bersamaan dengan itu, doktrin Asy’ariyah lahir dan berkembang pesat sebagai doktrin Ketuhanan paling populer dan banyak dipelajari.

Di masa ini pulalah, kodifikasi keilmuan Islam yang lain juga berlangsung. Kodifikasi keilmuan Islam seperti Ilmu Kalam (Teologi), Fikih, Tafsir, Hadits, Bahasa, Tasawuf, dan sebagainya mengalami kemajuan yang sangat pesat. Di masa yang sama, keilmuan Tafsir Alquran mengalami pemisahan dengan keilmuan Hadits Nabi, dimana kedua keilmuan tersebut sebelum melebur jadi satu.  Selanjutnya

Perjalanan Intelektual

Al Thabari beruntung memiliki ayah yang peduli pada pendidikan. Sedari kecil ia telah dimotivasi untuk berguru kepada sejumlah ulama besar pada zamannya. Menurut pengakuannya sendiri, ia telah menjadi hafidzul Quran (Penghapal Alquran) di usia tujuh tahun dan telah dipercayakan menjadi imam masjid di usia delapan tahun. Sementara di bidang Hadits, Al Thabari mengaku sudah melakukan upaya kodifikasi ucapan Rasulullah itu di usia sembilan tahun.

Setelah puas menimba ilmu di kampung halaman, Al Thabari memutuskan merantau untuk mencari guru-guru baru yang memiliki keilmuan yang tinggi. Perjalanan intelektual pertamanya ia mulai Kota Rayy (sebuah kota tua di selatan Iran saat ini), dan beberapa kota di sekitarnya. Di kota ini ia belajar Hadits kepada Muhammad bin Humaid al-Razi dan Al Musanna bin Ibrahim al-Ibili. Di sini pula ia belajar sejarah kepada Muhammad bin Ahmad bin Hammad al-Daulabi.

Perantauan berikutnya dilanjutkan di kota Metropolitan Baghdad. Awalnya ia ingin berguru pada Imam Ahmad bin Hambal (salah seorang pendiri salah satu madzhab empat). Namun ternyata, Imam Ahmad bin Hanbal telah wafat dan kabar tersebut baru ia dengar setelah berada di Baghdad. Peristiwa ini terjadi pada tahun 241 H.

Mengetahui hal itu ia segera memutuskan menggeser petualangan inteletualnya ke Kota Kufah. Disini ia belajar ilmu Qiraat dari Sulaiman al-Tulhi. Ia pun belajar Hadits pada Ibrahim Abi Kuraib Muhammad bin al-A’la al-Hamdani, salah seorang ulama besar dibidang hadits. Di sini Al Thabari dikenal sebagai murid yang memiliki hapalan yang sangat tajam lantaran ribuan Hadits yangn diriwayatkan Abi Kuraib telah dihapalnya diluar kepala. Selain Kufah, ia juga kerap berguru pada sejumlah ulama di Kota Bashrah.

Setelah lama ‘nyatri’ di Kufah, ia memutuskan kembali ke Baghdad dan berguru pada Ahmad bin Yusuf al-Taghlibi dalam ilmu Qiraah. Disini pulalah ia mengenal fikih Syafi’i dari Al Hasan bin Al Sabbah Al Za’farani dan Abi Said Al Astakhari. Di kota ini ia berkesempatan belajar bahasa, sastra, dan sejarah dari ulama-ulama kenamaan.

Setelah Baghdad Kota Mesir menjadi sasaran berikutnya pada 253 H. Di Mesir Al Thabari tinggal di wilayah Fustat selama beberapa saat sebelum melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Syam (Syiria). Pada tahun 256 H ia kembali lagi ke Mesir memperdalam fikih Syafi’i pada Al Rabi’ bin Sulaiman Al Muradi, Muhammad bin Abdullah bin Al Halim, dan Isma’il bin Ibrahim Al Muzanni. Di Mesir pula ia belajar Qiraah Hamzah dan Warsy kepada Yunus bin Abdul A’la al-Sadafi.

Setelah berkelana ke banyak kota, Al Thabari kembali ke Baghdad dan memutuskan untuk tinggal di sana dan mengajarkan pengetahuan yang ia dapat. Ia sempat kembali beberapa tahun di kampung halamannya yang kemudian dilanjutkan kembali mengajar di Baghdad hingga wafat di tahun 310 H.

Sejarah peradaban Islam mencatat Al Thabari sebagai ilmuan interdisipliner, menguasai berbagai disiplin pengetahuan. Kepandaiannya terbentang mulai Ilmu Alquran-Hadits, Bahasa, Sastra, Yurispundensi Islam (Fikih), Leksikografi, Matematika, Logika, Kedokteran, hingga Sejarah. Dia adalah penghapal Alquran yang menguasai ragam bacaan Alquran (ilmu Qiraat/Variae Lectiones). Ia pun mengetahui keilmuan kritik sanad untuk memverifikasi hadits Nabi.

Tidak cukup dikenal sebagai ulama yang sangat pandai, ia juga dikenal sebagai salah seorang ulama yang sangat produktif pada masanya. Puluhan kitab berhasil ia dedikasikan kepada umat Islam, meski tidak semuanya bisa diakses hingga sekarang. Setidaknya hingga saat ini tersisa dua karyanya yang masih sangat relevan dijadikan referensi keilmuan, yaitu Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wiliy Ayyi al-Quran dalam bidang Tafsir yang merupakan kitab tafsir paling tua yang bisa diakses hingga kini dan Tarikh al-Umam wa al-Mulk dalam bidang sejarah.

Atas prestasi akademisnya yang luar biasa, ia diberi sejumlah gelar kehormatan yang luar biasa. Al Hafidz (penghapal Alquran), Al Mufassir (penafsir Alquran), Al Faqih (yang mendalami hukum Islam), Al Muarrikh (sejarawan), adalah sebagian gelar yang dinisbatkan kepadanya. Dalam pemahaman saat ini, barangkali tidak berlebihan jika Al Thabari disebut sebagai ulama ensiklopedik.

Sebagaimana tradisi keulamaan di dunia Islam, kecerdasan Al Thabari tidak hanya berhenti diakal ia pun dikenal memiliki akhlak dan budi pekerti yang luhur. Di kehidupan pribadinya ia dikenal sebagai seoranng Zahid, menjauhi kehidupan dunia. Ia disebut pernah beberapa kali menolak sejumlah imbalan atau posisi penting di pemerintahan.Selanjutnya

Dituduh Syiah

Perjalanan karir Al Thabari tidak semulus yang dibayangkan. Ia pernah dituding sebagai penganut Syiah, atau setidaknya ‘berbau Syiah’ (Tasyasyu’) lantaran sejumlah karyanya yang dinilai membela Ahlu Bait. Sebenarnya, tuduhan Syiah terhadap sejumlah ulama Sunni di masa klasik bukan hanya terjadi Al Thabari saja, ulama lain seperti Imam Al Baihaqi penyusun kitab hadits Al Mustadrak pun pernah mengalaminya.

Salah satu karya Al Thabari yang cukup kontroversial hingga membuatnya dituduh Syiah adalah kitab Fadlail ‘Ali ibn Abi Thalib. Kitab ini berisi pandangan dan hadits yang berisi keistimewaan dari sahabat Ali dan kebenaran hadits Ghadir Khum. Kelompok Syiah meyakini bahwa peristiwa Ghadir Khum adalah momen saat Nabi melimpahkan kewenangan kekhalifahan kepada Ali.

Tuduhan ‘berbau Syiah’ kepada Al Thabari tak berhenti di periode klasik saja. Mohammed Arkoun, seorang cendikiawan Muslim kontemporer berkesimpulan bahwa Al Thabari adalah penganut Zaidiyah, salah satu sekte Syiah. Menurut Arkoun upaya Al Thabari membicarakan sengketa madzhab pada zamannya hanyalah kamuflase untuk memuluskan paham keagamaan yang ia anut (Syiah). Arkoun melihat kecenderungan pemikiran Al Thabari lebih dekat pada Syiah Zaidiyah yang cenderung mempersalahkan Bani Umayyah, Bani Abbasiah, dan Syiah politis.

Tuduhan Arkoun di atas berawal dari asumsi sosial-politik yang berkembang saat itu. Dimana pasca runtuhnya Mu’tazilah sebagai ideologi keagamaan resmi negara, para oposan keagamaan mendapatkan momentum berebut pengaruh. Disisi lain, dinasti Abbasiah tengah menghadapi gangguan dari oposan politik. Dengan demikian Arkoun menuding Al Thabari memanfaatkan situasi untuk menjadikan Syiah Zaidiyah sebagai madzhab resmi negara.

Namun demikian, ulama Sunnah tetap meyakini bahwa Al Thabari merupakan salah seorang ulama besar yang berpegang teguh pada prinsip Ahlussunnah wal Jamaah. Kesyiahannya hingga kini belum pernah terbukti kebenarannya. Sikap Al Thabari yang berupaya membangun sendiri madzhab pemikirannya, yang pernah dikenal dengan nama Madzhab Jaririyah, diyakini murni berdasarkan kapasitas keilmuan mumpuni (mujtahid). Para ulama berbagai kelompok besar umat Islam, Sunni dan Syiah, masih menjadikan karya-karya Al Thabari sebagai rujukan utama hingga saat ini.

Belajar dari tuduhan Syiah pada Al Thabari, nampaknya model tuduhan seperti itu masih belum hilang dari tradisi Muslim. Lebih dari seribu tahun paska wafatnya Al Thabari, sejumlah ulama maupun komunitas keagamaan dituding Syiah lantaran memiliki paham berbeda dengan sekelompok kecil gerakan Islam. Meskipun, layaknya sebuah tuduhan, kesyiahan para tokoh yang dituduhkan tidak pernah terbukti secara nyata.

Sebut saja misalnya nama Quraish Shihab, seorang pakar tafsir Indonesia, yang dituduh Syiah lantaran menerbitkan bukunya yang mengajak agar Sunni dan Syiah bergandengan tangan. Demikian pula dengan nama sejumlah ulama NU yang seperti Said Aqil Siradj yang dituduh Syiah lantaran berpendapat ‘meski teologi Syiah tidak sama, tapi mereka harus dilindungi dari tindak kekerasan’.

Bahkan, Habib Riziq Shihab, yang dikenal keras dalam dakwah FPI-nya dituduh Syiah lantaran secara akademis ia pernah mengungkap sejarah Syiah beserta pembagian sekte-sektenya dalam sejarah kaum Muslim. Padahal tokoh-tokoh tersebut dikenal sebagai ulama yang saban hari bicara soal teologi Ahlussunnah. Jika demikian, tidak salah jika tudingan Syiah dianggap terlalu politis dan hanya digunakan sebagai alat untuk memojokkan pemikiran orang lain. Atau tudingan ini hanya untuk menebar kebencian di tengah masyarakat Muslim. Semoga tidak terjadi lagi!

This post was last modified on 19 Mei 2015 6:39 PM

PMD

Admin situs ini adalah para reporter internal yang tergabung di dalam Pusat Media Damai BNPT (PMD). Seluruh artikel yang terdapat di situs ini dikelola dan dikembangkan oleh PMD.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

12 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

12 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

12 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago