Tiada tantangan tanpa perjuangan. Nampaknya, demikianlah perjuangan Nabi Ibrahim a.s sejak kecil (ketika mencari tahu siapa Tuhannya) hingga masa tuanya (ketika dikaruniai seorang anak). Meski begitu, tidak sedikit pun dapat dilihat Nabi Ibrahim melalui setiap perjuangannya tanpa totalitas. Di masa muda Ibrahim misalnya, sebagaimana yang difirman Allah dalam Surat Al An’am (ayat 74), Ibrahim bahkan berani mencoba meluruskan pandangan Ayahnya (Aazar) terhadap sesembahannya yang oleh Ibrahim dianggap tidak tepat.
Bagaimana tidak?. Ayah Ibrahim dan masyarakat lainnya ketika itu menjadikan patung yang notabene adalah buatan tangan manusia sebagai sesembahan. Ayat itu berbunyi, Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”. Dalam konteks saat ini, tentu sulit menemukan seorang anak muda yang berani mendobrak (baca: meluruskan) pandangan orang tuanya sendiri, terlebih juga menyangkut pandangan masyarakat secara umum yang dirasa tidak tepat.
Pun di masa tua Nabi Ibrahim ketika memiliki seorang anak yang telah lama dinanti-nantikan kehadirannya. Jamak disadari, Nabi Ibrahim mempunyai anak pertama kali ketika usianya telah menginjak 86 tahun. Tetapi, Allah mengujinya untuk menyembelih Ismail sebagai bukti keimanan dan ketaqwaannya kepada-Nya (baca QS Al-Shaffat ayat 102-105). Keberhasilan Nabi Ibrahim melewati ujian (untuk menyembelih Ismail) inilah yang kemudian menjadi cikal bakal hari raya Idul Adha atau yang juga dikenal sebagai Idul Nahr (Hari Raya Kurban). Tentu saja, sulit dibantah jika keberhasilan Nabi Ibrahim melewati ujian untuk menyembelih anaknya itu juga dilakukan secara total. Artinya, Nabi Ibrahim sadar betul dan meyakini bahwa perintah untuk menyembelih anaknya tersebut memang harus dilakukan karena merupakan perintah dari Allah SWT.
Totalitas Kebangsaan
Dalam konteks kebangsaan, spirit totalitas inilah yang nampaknya kian hari kian luntur tergerus oleh beragam persoalan bangsa. Sebut saja diantaranya para pejabat yang justru menjadi koruptor menggerogoti keuangan negara. Padahal sebagai pejabat negara, semestinya jiwa, raga dan pikirannya diabdikan secara total untuk membangunan bangsa, terutama dengan mendahulukan kepentingan rakyat. Faktanya, malah sangat banyak pejabat negara yang justru mengedepankan egonya demi kepentingan diri sendiri, keluarga maupun kelompoknya. Sejalan dengan hal itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat dari sebanyak 594 kasus korupsi yang ditangani dari periode tahun 2004- Maret 2017, 319 kasus diantaranya merupakan kasus penyuapan yang melibatkan pejabat negara.
Tentu saja, jumlah tersebut bukan merupakan jumlah keseluruhan kasus pejabat negara yang terlibat praktik suap atau korupsi, karena ada pula kasus suap maupun korupsi yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Kecuali pejabat negara, totalitas masyarakat pun sebenarnya patut dipertanyakan. Sebab, sesuai ketentuan konstitusi sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik, dalam artian patuh terhadap setiap ketentuan perundang-undangan. Kenyataannya, cukup banyak masyarakat yang secara sadar melakukan perbuatan melawan hukum, termasuk mengingkari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan memilih menjadi anggota sparatis atau teroris adalah bukti yang tidak bisa dibantah.
Realitas demikian itu tentu sangat ironis bila ditilik dari perspektif Idul Adha yang notabene dirayakan setiap tahunnya. Artinya, tidak mustahil bahwa sejatinya kita luput untuk betul-betul meresapi makna dan hakikat Hari Raya Idul Adha yang dirayakan selama ini. Padahal, jika ditelisik jelas sekali terkandung spirit totalitas yang amat kuat di dalam Hari Raya Idul Adha tersebut. Oleh karena itu, Hari Raya Idul Adha 1438 Hijriah yang akan jatuh pada 1 September 2017 mendatang, seyogianya dapat dijadikan sebagai momentum untuk meneguhkan kembali spirit totalitas yang mulai meredup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, solidaritas kebangsaan antar antar masyarakat pun dapat tertenun kembali menjadi kuat.
Akhir kata, sejalan dengan firman Allah dalam Surat Al Insyirah (ayat 5-6), yang artinya “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”, maka tantangan untuk meneguhkan kembali solidaritas kebangsaan sejatinyanya tidaklah berat. Karena merujuk firman Allah tersebut, bermakna bahwa Allah menciptakan kemudahan (solusi) jauh lebih banyak dari kesulitan (masalah) yang ada. Sehingga, tinggal kembali ke keinginan masing-masing individu saja. Untuk itu, seyogianya mari bersama-sama meneguhkan kembali terwujudnya solidaritas kebangsaan yang kuat di negara ini. Sebab dengan kuatnya tenun solidaritas kebangsaan, pada gilirannya kita sebagai warga negara pula yang akan diuntungkan. Yaitu, dapat mencapai kehidupan yang aman, tenteram, damai dan sejahtera di bumi pertiwi ini. Wallahu a’lam.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…