Pada tanggal 21 September 2020 kemarin, sempat viral di jagat maya. Karena ada seorang Habib yang bernama Habib Salim Almansyur. Mencaci, memarahi dan bahkan memukul wajah seorang ustadz yang bernama Ustadz Hasan. Beliau dipukul dengan sepatu yang digunakannya. Hal ini dilatari oleh “buntut masa” pada saat pemilu tahun 2019 kemarin. Karena di sosial media saling sindir satu sama lainnya.
Lalu ada yang “membakar api provokasi” tersebut sehingga Habib tersebut marah. Dan pada saat ustadz tersebut berusaha untuk islah dan mengklarifikasi agar bisa damai. Namun, respons Habib tersebut justru tidak mengenakkan dan melakukan tindakan yang sangat disayangkan sekali. Bahkan putrinya juga ikut campur dengan menyirami ustadz tersebut dengan air sambil memaki-maki. Karena ayahnya “seorang Habib” yang harus dihormati.
Dalam kasus yang sama, baru-baru ini yang masih cukup panas. Perseteruan Nikita Mirzani dan Ustadz Maheer At-Thuwailibi. Bagaimana Nikita mencoba untuk mengomentari akan kepulangan Habib Rizieq ke Indonesia yang baginya justru hanya bikin kericuhan dan kebencian di mana-mana. Tentu, sontak Ustadz Maheer marah, mencaci dan bahkan tidak segan-segan mengancam Nikita Mirzani. Karena bagi Ustadz Maheer, sungguh tidak pantas “menghina seorang Habib” karena itu akan murka, musyrik dan tidak akan dapat pengampunan dosa. Beragam cacian yang menyakitkan terus dilontarkan kepada Nikita Mirzani.
Dua fenomena ini, mulai memperlihatkan di satu sisi “label” kemuliaan seorang habaib atau cicit Nabi yang sepantasnya harus dihormati, disayangi dan bahkan dimuliakan. Tentu sangat benar kita wajib untuk menghormatinya. Tetapi tidak dengan “perilakunya” yang semena-mena dan tidak sesuai dengan akhlak Nabi beserta ucapannya. Sebagaimana garis keturunan Nabi yang harus membentang ke dalam dirinya yang seharusnya pula merefleksikan akan kebaikan dan keramahan-nya.
Point ini bukan lantas mendukung seorang Nikita Mirzani yang sejatinya juga akan menyulut provokasi, karena menghina seorang Habib. Pun juga dengan seorang ustadz yang sabar dan mengalah ketika dipukuli, disirami dan bahkan dicaci karena dianggap tidak menghormati seorang Habib.
Akan tetapi, point kita saat ini adalah tentang “label” seorang Habib yang sangat mulai dan dijadikan sandungan pembenar untuk melakukan apa saja dan seenaknya. Bahkan memukul dan mencaci orang yang dianggap rendah. Seperti Gus Dur yang dikatakan “buta hatinya” dan “Buta matanya” oleh Habib Rizieq dan itu pantas dilakukan dengan alasan karena dia seorang Habib? Atau keturunan Nabi Muhammad SAW? Jika Habib Rizeq dikritik akan perilakunya. Sehingga, dia menggunakan “label” Habib sebagai senjata untuk menyatakan akan hal itu dianggap menghina seorang Habib?
Terang-benderang dari polemik yang semacam ini perlu ada semacam “pemahaman etis”. Bahwa sepantasnya, sewajibnya dan seharusnya seorang Habib yang menyandang gelar keturunan Rasulullah SAW. Mampu menjadi (teladan yang baik) dengan cara menasihati jika ada yang salah, keliru dan menyimpang. Bukan mencaci, menyakiti dan bahkan melakukan tindakan kekerasan dan semaunya. Habib adalah seorang ulama yang garis keturunannya langsung ke Rasulullah SAW, yang sejatinya harus (mencerminkan) segala aspek di dalam berdakwah yang santun, mudah memaafkan, bertutur yang baik dan berperilaku yang sesuai dengan Rasulullah SAW.
This post was last modified on 24 November 2020 8:09 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…