Narasi

Wayang dan Dakwah Substansial

Wayang pada dasarnya merupakan warisan budaya yang sifatnya terbuka, dapat maknai dan digunakan untuk apapun (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo Hutomo, CV. Kekata Group, Surakarta, 2020). Dalam sejarahnya, wayang dan pertunjukannya identik dengan ritual tertentu. Dalang, dalam hal ini, adalah seorang yang secara ideal dituntut untuk tak sekedar memiliki kemampuan teknis pertunjukannya, tapi juga memahami dan membabarkan kebajikan, hikmah ataupun dharma. Karena itulah istilah “dalang” ada yang lebih memaknai sebagai “ngudal piwulang” yang sepadan dengan istilah “dakwah.”

Menyeru pada kebajikan, yang menjadi esensi dakwah, pada dasarnya juga diemban oleh seorang dalang lewat pertunjukan wayangnya. Memang, kebajikan yang disajikan kisah dan pertunjukan wayang tak merujuk secara khusus pada agama ataupun suku bangsa tertentu. Nilai-nilai keadilan, keksatriaan, ketuhanan, dst. merupakan nilai-nilai ideal yang bersifat universal dengan ekspresi yang bersifat lokal-partikular. Bukankah semua agama pada dasarnya menggemakan pesan-pesan universal tersebut?

Karena sifatnya yang substansial itulah konon para wali di Nusantara menggunakannya sebagai salah satu media untuk berdakwah. M.C. Ricklefs pernah mencatat bahwa di Nusantara agama pernah hadir sebagai sebentuk spiritualitas yang lebih bersifat substansial daripada formal (Ma-Hyang, 2020). Karena itulah Islam pada waktu itu pernah hadir secara autochthonous sehingga orang-orang Nusantara tak asing dengannya dan menyambutnya tanpa adanya gesekan yang berarti.

Sunan Kalijaga pernah pula menjadi seorang dalang kembara yang mengkontekstualisasikan pertunjukan wayang di era Hindu-Buddha Majapahit dengan sufisme atau spiritualitas Islam. Lewat mantan seorang brandal itulah antara tirta kamandanu (Hindu-Buddha) dan ma’ul hayat (sufisme)dalam kisah Dewa Ruci tak lagi asing satu sama lain, antara kayon atau wit buwana (Hindu-Buddha) dan sajaratul yaqin (sufisme) pada awal pertunjukan wayang tak asing satu sama lain, dst.

Tapi, di atas semua itu, ada yang berbeda dengan dakwah seorang dalang yang bermediakan pertunjukan wayang dengan dakwah keagamaan di hari ini. Seorang dalang dan pertunjukan wayangnya tak pernah berperan sebagai pemilik kebenaran (otoritas tunggal) yang berhak menghakimi. Ia sekedar pengais dan penyampai ajaran-ajaran luhur dan itu pun lewat perlambang yang membutuhkan nalar dan rasa untuk mengungkapkannya sendiri. Karena itulah di masa lalu seorang dalang selalu mengakhiri pertunjukannya dengan menarikan sebuah wayang golek yang bermakna cari (golek) tahulah sendiri.

Satu hal yang pasti, lewat kisah pewayangan hidup tak pernah sesederhana gambaran para pendakwah yang “masturbasif” atau berpikir mutlak-mutlakan: kalau tak bajingan pastilah budiman, kalau tak jahat pastilah baik. Dalam ilmu dakwah seruan pada kebajikan ala dalang dan pertunjukan wayangnya ini dikenal sebagai da’wah bi al-hikmah yang lebih berorientasi pada substansi daripada formanya.

Dengan maraknya radikalisme keagamaan yang bersifat “masturbasif” (berpikir mutlak-mutlakan) dan “wani wirang” (dilakukan oleh orang-orang yang jauh dari klaim dan kemasan publiknya) beberapa tahun terakhir ini di Indonesia, kiranya model dakwah ala dalang lewat pertunjukan wayangnya dapat dijadikan rujukan dalam upaya penyampaian kebenaran dimana kita sendirilah yang pada akhirnya mesti mencari dan menyimpulkan. Dakwah yang efektif, sebagaimana yang juga dilakukan oleh para sufi, pada ujungnya adalah membuat panggrahita (akal budi) para pendengar dan pemirsanya dewasa. Dengan kata lain, pada dasarnya guru terbaik kita adalah diri kita sendiri. Seperti Serat Wedhatama, tak perlu rasanya berkotbah panjang-lebar pada kalangan yang sedang mengalami puber keagamaan yang jelas-jelas abai pada kebenaran.

Si pengung nora nglegewa

Sangsayarda denira cacriwis

Ngandhar-andhar angendhukur

Kandhane nora kaprah

Saya elok alangka longkanganipun

Si wasis waskitha ngalah

Ngalingi marang si pinging

Si goblok yang masih sok

Semakin berkobar dalam berkoar

Sungguh liar kesasar

Segala ujarnya ambyar

Semakin tampak kegoblokannya

Si pintar yang jeli mengalah Menutupi kegoblokan si goblok

This post was last modified on 26 November 2020 7:04 AM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Euforia Kemerdekaan Rakyat Indonesia Sebagai Resistensi dan Resiliensi Rasa Nasionalisme

Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…

10 jam ago

Pesta Rakyat dan Indonesia Emas 2045 dalam Lensa “Agama Bermaslahat”

Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita…

10 jam ago

Bahaya Deepfake dan Ancaman Radikalisme Digital : Belajar dari Kasus Sri Mulyani

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…

10 jam ago

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

2 hari ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

2 hari ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

2 hari ago