Tokoh

Meneladani Metode Dakwah Moderasi Sunan Bonang

Sunan Bonang atau yang bernama asli Raden Maulana Makdum Ibrahim merupakan putra keempat dari Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila—putri Arya Teja Bupati Tuban, Jawa Timur—. Metode dakwah Sunan Boning sangat memperhatikan kondisi sosial dan budaya jawa saat itu, seperti wayang, sastra sufistik, tembang, sampai tasawuf. 

Sebelum mendakwahkan Islam, Sunan Bonang menempa diri dengan belajar ilmu keislaman kepada Ayahnya, yakni Sunan Ampel. Beliau belajar dengan santri-santri sunan Ampel, seperti Raden Patah, Raden Paku (Sunan Giri), dan Raden Kusen.

Beliau juga menimba ilmu kepada Syekh Maulana Ishak saat menunaikan Ibadah Haji bersama Sunan Giri. Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya yang berjudul Atlas Walisongo mengatakan, bahwa metode dakwah Sunan Bonang dengan pendekatan seni dan budaya, seperti halnya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga.   

Berkat proses belajar tersebut, beliau mampu menguasai seluk beluk kesenian jawa. Maka, beliau sangat mahir dalam mengubah macapat, yakni puisi dan temban jawa. Meskipun demikian, sebelum menggunakan metode dakwah ini, dalam Babad Daha-Kediri, dikishakan, bahwa Sunan Bonang menggunakan kekerasan, yakni dengan menghancurkan arca yang disembah masyarakat Kediri.

Singkat cerita, bahwa pada saat peristiwa Babad Daha-Kediri Suban Bonang pernah mengubah aliran Brantas, supaya wilayah-wilayah tertentu yang dilalui sangai tersebut kekeringan. Wilayah tersebut ternyata wilayah yang tidak mau menerima ajaran Islam. Sehingga terjadi konflik. Adapun dua tokoh yang paling menonjol menolak kala itu adalah Ki Buto Locaya dan Nyai Plencing penganut, ajaran Bhairawa-bhairawa. 

Setelah kegagalan dalam berdakwah di Kediri, Sunan boanang mulai merenungkan dan akhirnya menemukan metode dakwah yang pas, yakni dengan memanfaatkan kesenian dan kebudayaan. Manurut buku Atlas Wali Songo, Sunan Bonang sangat piawai dalam penguabahan tembang jawa, kemudian menjadi gending untuk berdakwah.

Mengambil Hikmah

Kedudukan seorang pendakwah atau da’i dalam menyebarkan ajaran Islam sangatlah urgen dan vital. Sebab, da’i menjadi juru bicara dari ajaran agama Islam. Lebih lagi masyarakat Indonesia merupakan bangsa yang religius, sehingga akan lebih mudah pesan-pesan yang disampaikan oleh da’i akan dicerna dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari serta kehidupan bermasyarakat.             

Dari metode dan keberhasilan Sunan Bonang dalam berdakwa tersebut, sepatutnya menjadi pelajaran bagi pendakwah atau da’i sekarang. Berdakwah harus dengan cara yang lemah lembut, sejuk, damai, dan cerdas membaca realitas sosial, tanpa mengurangi esensi Islam. Pada titik ini, pendakwah tidak hanya belajar tentang sumber-sumber ajaran Islam, melainkan harus memahami secara keseluruhan berbagai disiplin ilmu yang dikorelasisakan dengan kondisi masyarkat sosial.

Wallahu a’lam bi  ash-showab

This post was last modified on 26 Mei 2023 3:27 PM

Farhana Putri Lesatari, M.Ag,

Recent Posts

Radikalisasi di Balik Meja Kerja: Menjaga Birokrasi dari Ideologi Ekstrem

Penangkapan dua aparatur sipil negara (ASN) di Banda Aceh oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror…

18 jam ago

Fathu Makkah; Seni Mencintai Saat Ada Ribuan Alasan untuk Membenci

Menurut sebagian Muslim, Fathu Makkah dilihat sebagai upaya hegemoni ofensif oleh umat Islam di daerah…

18 jam ago

Kidung Cinta Walisongo untuk Generasi Muda

Walisongo adalah tokoh-tokoh besar yang tidak hanya dikenal sebagai penyebar agama Islam di Jawa, tetapi…

18 jam ago

Agama Cinta; Paradigma Baru Religiusitas di Era Post-Sekulerisme

Di awal bangkitnya era modern, muncul ramalan bahwa agama akan mulai ditinggalkan oleh manusia. Salah…

2 hari ago

Ale Rasa Beta Rasa: Refleksi Cinta Kasih Lintas Entitas dari Timur

Di tengah lanskap Indonesia yang kaya akan keragaman, upaya merawat persatuan adalah sebuah tantangan yang…

2 hari ago

Cinta lah yang Merawat Keberagaman Nusantara

Indonesia, sebuah keberagaman yang nyata, tak henti-hentinya mengajarkan kita tentang hakikat perbedaan. Bukan untuk dipertentangkan,…

2 hari ago