Narasi

Meneladani Sikap Oposisi Demokratik Gus Dur

Kritik sesungguhnya merupakan keniscayaan dalam sebuah negara yang menjalankan sistem demokrasi seperti Indonesia. Namun  demikian, kritik yang dimaksud tentu dalam arti konstruktif-positif, tidak berdasarkan hoaks, dan menghasut massa untuk berbuat onar. Kritik yang disuarakan lebih pada kepentingan umum secara luas, bukan semata-mata aspirasi personal dan kepentingan kelompoknya.

Dalam hal ini, kita perlu belajar dari almarhum KH. Abdurahman Wahid atau yang biasa dipanggil Gus Dur. Ini terlihat, misalnya, dalam konteks kebangsaan, salah satu sikap teladan yang ditunjukkan Gus Dur adalah sikap oposisi demokratik yang ia pegang teguh sepanjang hayat, dari mulai ia muncul sebagai ketua umum PBNU, menjadi ketua Dewan Syuro PKB, menjadi presiden, dan bahkan setelah lengser dari kursi kepresidenan sekalipun. Dalam oposisi, Gus Dur mengajarkan agar dalam memperjuangkan prinsip dilakukan secara teguh dan militan.

Oposisi demokratik yang dilakukan Gus Dur, dicontohkan dan dilakukan misalnya terhadap KPU yang menganulir pencalonannya sebagai presiden karena alasan kesehetan, menyikapi konflik internal partai yang dibidaninya (PKB), dan kepada gagasan mainstream ketika ia menjadi presiden.

Saat menjadi presiden Gus Dur melontarkan prinsip-prinsip negara Pancasila yang modern dan humanis kerakyatan agar setiap penduduk memiliki hak hidup secara politik, dan dia mengusulkan dicabutnya Tap MPRS No. XXXV tahun 1966 yang berkaitan dengan kasus 1965, yang berimplikasi mendiskualifikasi mantan orang-orang PKI dan mereka yang di-PKI-kan penguasa.

Oposisi demokratik

Oposisi Gus Dur yang paling berkesan di hati anak-anak muda (NU khususnya) dan masyarakat Indonesia pada umumnya, adalah oposisi demokratik kerakyatan yang dilakukan terhadap rezim Soeharto. Oposisi Gus Dur dilakukan dalam banyak hal: kasus Kedungombo, menjadi ketua Fordem, melawan rekayasa Rezim Soeharto dalam Muktamar Cipasung tahun 1994, menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden, yang oleh Gus Dur diubah menjadi loyalitas kepada Pancasila dan UUD 1945 dalam apel Akbar tahun 1992, dan masih banyak lagi.

Sejumlah warisan kebijakannya sewaktu menjadi presiden yang berumur pendek, juga sangat berkesan. Selain usulnya untuk mencabut Tap MPRS No. XXXV tahun 1966 adalah warisan kebijakannya yang sangat brilian untuk menjaga martabat bangsa Indonesia. Warisan kebijakan soal ini di antaranya: pertama, menggeser jabatan-jabatan politik yang selalu diisi oleh militer sekarang diisi sipil; kedua, perubahan Staf Sospol menjadi Staf Teritorial, yang perubahan ini mendorong profesionalisme militer dengan cara mengurangi peran militer dari persoalan non-militer; ketiga, memisahkan jabatan Menhan dengan Menkopolkam dan penempatan orang sipil di jabatan Menhan; keempat, realisasi pemisahan TNI-Polri yang gagasan awalnya sudah muncul di kalangan TNI, tetapi sampai 1999 Polri masih berada di bawah komando ABRI; kelima, penghapusan hak prerogatif militer dengan menghapus Bakorstanas (Badan Koordinasi Bantuan dan Pemantapan Nasional) yang dulu menjadi pengganti Kopkamtip (Komando Operasi Pemulihan dan Keamanan); keenam, penghapusan kebijakan Litsus (meneliti seseorang terlibat PKI atau tidak) yang sering dijadikan alat Orde Baru untuk menekan lawan-lawan politiknya; ketujuh, pengakuan terhadap Konghucu dan tradisi kaum Thionghoa untuk memiliki hak-haknya kembali setelah sekian lama dibungkam rezim Soeharto (Zada, 2020).

Di sini Gus Dur mengajarkan kepada manusia-manusia Indonesia agar teguh memegang prinsip-prinsip untuk menjadi negara beradab dan bermartabat, dan tidak hanya mementingkan kekuasaan. Gus Dur—menurut pengakuannya—tidak melupakan pelengseran dirinya, tetapi dia sudah memaafkan, sebagaimana diwawancarai dalam acara Kick Andy yang sudah beredar luas itu.

Gus Dur mementingkan manusia Indonesia, mendahulukan kepentingan nasional, dan bukan kekuasaan, sehingga dia tetap lengser tanpa pertumpahan darah, padahal situasinya sudah sangat memburuk. Hanya saja bangsa Indonesia, disebut Gus Dur sebagai “bangsa penakut” karena selalu membiarkan dan tidak mau bertindak terhadap mereka yang bersalah.

This post was last modified on 19 Februari 2021 10:46 AM

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago