Narasi

Meneladani Sisi Hakiki Pahlawan dalam Era Digital

Bangsa ini  terlalu sering mengenang para pahlawan dengan gegap gempita—upacara bendera, kisah perjuangan, dan simbol-simbol keberanian. Dalam ruang publik, pahlawan kerap diidentikkan dengan keberanian fisik: sosok yang gagah, menantang maut, dan rela berkorban di medan laga. Narasi ini membentuk imajinasi heroisme nasional yang kokoh, namun juga menyisakan satu persoalan mendasar: apakah keberanian selalu harus berwujud pertumpahan darah? Apakah perjuangan hanya berarti perlawanan terhadap penjajahan fisik?

Kini, delapan dekade setelah Proklamasi, bangsa ini menghadapi bentuk “penjajahan” baru—yang tidak datang dari luar, tetapi tumbuh dari dalam: kekerasan antarsesama, perundungan di sekolah, hingga radikalisasi yang berakar pada luka sosial. Tragedi kekerasan yang melibatkan pelajar adalah sinyal bahwa kita sedang kehilangan sesuatu yang dahulu membuat bangsa ini merdeka: solidaritas dan rasa saling percaya. Jika di masa lalu perjuangan bersifat eksternal, kini perjuangan terbesar justru berada di dalam masyarakat itu sendiri.

Setiap zaman melahirkan pahlawannya sendiri. Dahulu, pahlawan adalah mereka yang menentang kolonialisme bersenjata. Namun di abad ini, “musuh” bangsa ini lebih halus dan kompleks: intoleransi, dehumanisasi, dan krisis makna di ruang digital. Di dunia di mana kata-kata bisa melukai lebih tajam dari peluru, bentuk keberanian pun berubah.

Generasi muda hari ini berhadapan dengan tekanan psikologis dan sosial yang belum pernah dialami generasi sebelumnya. Fenomena cyberbullying, kekerasan simbolik di media sosial, hingga pencarian identitas yang rapuh melahirkan bentuk perlawanan baru, bukan dengan bambu runcing, tetapi dengan ujaran kebencian. Dalam kerentanan itu, banyak anak muda terseret pada radikalisasi digital, di mana luka personal diolah menjadi amarah ideologis.

Kita menyaksikan bagaimana rasa sakit pribadi dikonversi menjadi kebencian kolektif. Di sinilah pahlawan sejati diuji, bukan oleh kekuatan musuh di luar, melainkan oleh kemampuan untuk tidak terperangkap dalam spiral kebencian.

Sejarah Islam menawarkan refleksi mendalam tentang jenis perjuangan semacam ini. Dalam khazanah Islam klasik, dikenal dua bentuk jihad: jihad asghar (perjuangan kecil) melawan musuh di luar, dan jihad akbar (perjuangan besar) melawan hawa nafsu dalam diri sendiri.

Ketika pahlawan-pahlawan Indonesia berjuang melawan penjajahan, mereka tidak hanya memanggul senjata, tetapi juga menjaga agar perjuangan tetap berpihak pada kemanusiaan. Mereka memahami bahwa kemerdekaan tidak boleh ditebus dengan kehilangan akal budi.

Jihad akbar, dalam konteks kekinian, bukan lagi sekadar perang batin spiritual, tetapi juga perjuangan untuk menahan diri dari dorongan dehumanisasi, menolak untuk melihat orang lain sebagai musuh hanya karena berbeda keyakinan, pilihan, atau identitas. Keberanian sejati bukanlah kemampuan untuk menghancurkan, melainkan kekuatan untuk menahan diri.

Sedangkan dari perspektif politik, radikalisasi adalah hasil dari ruang sosial yang gagal menyediakan rasa memiliki dan keadilan. Ketika sistem tidak menghadirkan legitimasi dan saluran aspirasi, ideologi ekstrem masuk mengisi kekosongan itu dengan janji identitas baru. Di dunia digital, kekosongan itu semakin dalam: seseorang bisa terhubung dengan ribuan orang, namun tetap merasa sendiri. Inilah paradoks zaman ini, di tengah keterhubungan tanpa batas, manusia justru mengalami keterasingan eksistensial.

Kita sering lupa bahwa kemerdekaan bukan hanya tentang kedaulatan teritorial, tetapi juga kedaulatan batin warga negaranya. Pahlawan sejati masa kini adalah mereka yang mampu menjaga kemerdekaan batin itu, yang menolak tunduk pada kebencian massal, dan memilih jalan yang lebih sulit: memahami sebelum menilai.

Di titik inilah kita menemukan bentuk perjuangan baru yang paling relevan dengan zaman: perjuangan merawat empati. Empati bukan sekadar kemampuan emosional, melainkan kesadaran politik dan moral bahwa kemanusiaan tidak pernah bisa ditegakkan tanpa kemampuan untuk melihat dunia dari mata orang lain.

Dalam psikologi perkembangan, empati adalah fondasi dari rasa aman dan keterikatan sosial. Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh empati akan lebih tangguh menghadapi manipulasi ideologis, karena ia tahu dirinya dilihat dan diakui. Sebaliknya, trauma yang tidak disembuhkan akan mencari bentuk pelampiasan. Di situlah ideologi kebencian menanamkan benihnya.

Meneladani pahlawan hari ini berarti memperjuangkan ekosistem sosial yang berempati baik di rumah, di sekolah, dan di ruang digital. Ini adalah jihad akbar: perjuangan melawan keinginan untuk menutup diri dari penderitaan orang lain.

Pahlawan masa lalu berjuang merebut kemerdekaan; pahlawan masa kini berjuang mempertahankan kemanusiaan. Jika dahulu mereka melawan penjajahan fisik, kini kita melawan penjajahan batin: ego, kebencian, dan apatisme.

Empati, pada akhirnya, adalah bentuk keberanian tertinggi: keberanian untuk tetap manusiawi di tengah dunia yang terus mendorong kita menjadi sebaliknya.
Meneladani pahlawan bukan sekadar mengenang keberanian mereka, tetapi melanjutkan disiplin moral mereka, untuk tidak membiarkan kebencian mengambil alih hati. Di situlah kemerdekaan sejati terus hidup.

Samachatul Maula

Recent Posts

Krisis Role Model dan Bayang Kepahlawanan Ekstremis: Alarm Baru Radikalisasi Anak Muda

Ledakan yang terjadi di SMAN 27 Jakarta Utara pada awal November ini mengguncang kesadaran publik. Dugaan sementara…

6 jam ago

Ekstremisme Non Agama; Balas Dendam dalam Bingkai Narasi Kepahlawanan

Ledakan bom di SMAN 72 Jakarta adalah peristiwa teror. Aksi itu jelas bukan sekedar kriminalitas…

7 jam ago

Bahaya Baru Ultra-Konservatisme Remaja; Dari Neo-Nazi ke Supremasi Kulit Putih

Akhir pekan yang tenang tiba-tiba dikejutkan oleh berita yang membuat siapa saja tercengang. Seorang siswa…

1 hari ago

Bullying Sebagai Akar Radikalisme; Bagaimana Kekerasan Psikologis Menyuburkan Ideologi Ekstremisme?

Individu atau kelompok yang menjadi korban penindasan di masa lalu memiliki kemungkinan kuat untuk menjadi…

1 hari ago

Dari Gen Pahlawan ke Gen Perdamaian

Kita harus menyadari sepenuh hati bahwa bangsa Indonesia ini takkan pernah berdiri tegak jika para…

1 hari ago

Konflik Sudan; Pelajaran Penting agar Indonesia Tidak Terjebak Perang Saudara

Konflik yang kembali membara adalah salah satu tragedi kemanusiaan paling memilukan di abad ke-21. Negeri…

4 hari ago