Narasi

Meneladani Wawasan Kebangsaan Pahlawan

Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia rutin memperingati hari pahlawan. Peringatan ini dimaksudkan untuk memantik jiwa nasionalis generasi bangsa yang sudah mulai terkikis oleh berbagai isu multi-nasional dan multi-global. Isu yang paling mencekam akhir-akhir ini adalah gerakan separatis dan ajaran radikal. Kedua-duanya terus bermetamorfosa sehingga mengancam keutuhan bangsa. Tentunya, hari pahlawan menjadi kesempatan bagi kita membuktikan diri sebagai generasi yang mencintai bangsa.

Mencintai tanah air merupakan harga mati bagi setiap insan. Mencintai tanah air tidak hanya dilakukan dalam bentuk ucapan. Melainkan termanifestasi dalam perilaku, dan moral. Sebagai generasi bangsa misalnya, kita masih memiliki banyak kesempatan untuk membuktikan diri sebagai generasi yang mengamalkan warisan para pahlawan. Misalnya seperti menjaga keutuhan bangsa dari sikap-sikap arogan, destruktif, dan perpecahan.

Merunut kepada sejarah berdirinya bangsa ini, para pahlawan rela berkorban demi keutuhan bangsa. Para pahlawan menyingkirkan sikap egonya demi kemaslahatan bangsa dan negara. Maka, sejarah ini yang mesti kita petik dan amalkan dengan baik agar warna-warni kemerdekaan tidak hilang begitu saja. Tentunya, para pahlawan kita berbeda profesi, pendidikan, agama, suku, budaya, dan paradigma. Namun dengan tekat menjaga keutuhan bangsa, perbedaan tersebut menjadi kekuatan.

Karena itulah, sejarah panjang perjuangan pahlawan kita harus diresapi dengan baik. Meresapi sejarah perjuangan pahlawan tidak berarti hanya mengetahui sejarah semata. Sebab, jika hanya mengetahui sejarah, berarti tidak tahu apa yang akan kita lakukan dan kita tuju. Ini selaras dengan apa yang diucapkan Pramoedya Ananta Toer (1964), bahwa setiap orang yang tidak tahu titik asalnya, yaitu sejarah, tidak akan pernah tahu pula tempat yang akan ditujunya.

Kini perang melawan penjajah sudah usai. Namun akhir-akhir ini perang melawan penjajah ideologi yang berlawanan dengan ideologi negara masih saja terjadi. Musuhnya pun bukan hanya orang luar, tetapi juga bangsa Indonesia sendiri yang menolak ideologi negara.

Maka, perang melawan penjajah sudah tidak lagi relevan dalam kehidupan saat ini. Perang cyber justru menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa. Merebaknya hasutan dan ajaran radikal yang berkelindan di media sosial merupakan tantangan bagi kita semua untuk memeranginya. Tentunya, perang melawan ajaran radikal tidak mungkin dilakukan dengan persenjataan rambu runcing, senapan, dan baku tembak. Melainkan kemampuan mengelola media sosial yang kita miliki. Artinya, media sosial harus mampu diejawantahkan sebagai media yang bermartabat.

Dalam konteks kebangsaan, semangat juang pahlawan dapat kita petik. Generasi bangsa harus terus berjuang menyelesaikan persoalan bangsa yang semakin akut. Semakin lama, persoalan bangsa semakin banyak. Salah satu yang paling menonjol adalah gerakan radikal yang setiap saat menghantam sendi-sendi kehidupan berbangsa. Sebab, paham radikal berjalan di luar nalar dan kemampuan manusia. Jika ajaran ini mampu mempengaruhi bangsa, maka soliditas bangsa terancam.

Jadi dalam rangka memperingati hari pahlawan, keteladanan pahlawan kita patut untuk diinternalisasikan. Pertama, generasi bangsa harus bersatu-padu memperjuangkan keutuhan bangsa kita dari beragam ancaman maya maupun nyata. Ancaman nyata berupa gerakan separatis yang akhir-akhir ini menunjukkan eksistensinya. Sedangkan ancaman maya, yaitu gerakan yang bersumber dari ajaran-ajaran radikal dan hasutan yang berpotensi membelah bangsa.

Kedua, mempertebal spirit multikultural bangsa yang mulai terkikis. Kita boleh berbeda, namun tetap satu jua.  Lahirnya Bhinneka Tunggal Ika  yang menjadi semboyan pemersatu bangsa tidak pernah lepas dari sejarah bangsa bahwa para pahlawan kita menghormati dan menghargai setiap perbedaan. Karena itu, perbedaan suku, ras, agama, dan etnis harus menjadi pemacu dan pemersatu bangsa ini.

Sebagai generasi bangsa, dua potensi tersebut harus dilawan melalui pemantapan pendidikan kebhinnekaan. Dengan pemantapan pendidikan kebhinnekaan, potensi bangsa yang besar tentu akan semakin solid dan padu. Dengan begitu, keutuhan bangsa tetap terjaga.

Aminuddin

Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktif menulis di berbagai media massa lokal dan nasional

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

17 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

17 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

17 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago