Narasi

Menemukan Islam dalam Batik dan Sarung

Gamis, abaya, atau jubah seringkali dipandang sebagai tolok ukur kesalehan visual di Indonesia. Pakaian yang identik dengan budaya Timur Tengah ini seolah menjadi seragam standar bagi seorang Muslim.

Dalam ranah kultural, mengidentikkan umat Muslim dengan Timur Tengah sebetulnya sah-sah saja. Hanya saja, ini bukan hanya asimilasi budaya. Semakin lama, ia semakin politis.

Pertama-tama kita perlu melihatnya dalam kaca mata pribumisasi Islam yang dipopulerkan oleh Gus Dur. Ia menawarkan kerangka berpikir untuk membedah hubungan antara simbol budaya dan substansi agama.

Gagasan Pribumisasi Islam yang diusung oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah antitesis dari Arabisasi. Menurut Gus Dur, Islam tidak datang untuk menghapus budaya lokal yang telah mengakar, melainkan untuk berdialog dan menyerap nilai-nilai universalnya ke dalam wadah budaya tersebut.

Islam hadir bukan untuk “meng-Arab-kan” orang Jawa, Sunda, atau Bugis, melainkan untuk memperkaya iman mereka dalam bingkai kebudayaan mereka sendiri.

Dalam konteks pakaian, Pribumisasi Islam mengajarkan bahwa esensi ajaran Islam adalah menutup aurat atau prinsip kesopanan. Wujud atau bentuk spesifik dari pakaian tersebut diserahkan pada kreativitas dan kearifan lokal.

Gamis adalah salah satu wujud busana dari budaya Arab untuk memenuhi esensi tersebut. Namun, batik, kebaya yang sopan, baju kurung, atau bahkan sarung juga merupakan wujud busana yang sah dan absah dari budaya Nusantara untuk memenuhi esensi yang sama.

Memaksakan gamis sebagai satu-satunya busana Islami, menurut logika ini, adalah sebuah kekeliruan dalam memahami dialektika antara agama dan budaya. Hal itu sama artinya dengan mereduksi Islam yang universal menjadi sekadar ekspresi budaya Arab yang partikular.

Berislam, bagi Gus Dur, adalah tentang substansi (menutup aurat), bukan terpaku pada simbol partikular (gamis).

Keluar dari wacana kebudayaan, sosiolog Jose Casanova mempunyai tesis menarik yang disebut Public Religion. Casanova membantah tesis sekularisasi klasik yang mengharuskan agama terkungkung di ranah privat. Sebaliknya, ia menunjukkan bagaimana agama dapat secara absah “kembali” ke ruang publik, salah satunya melalui jalur masyarakat sipil (civil society).

Di sinilah letak relevansi pemikiran Gus Dur. Pribumisasi adalah antitesis dari Arabisasi dan contoh sempurna bagaimana Islam menjadi “agama publik” melalui jalur kebudayaan, bukan melalui paksaan satu institusi.

Dari perspektif Casanova, diskursus antara gamis dan batik ini adalah manifestasi dari kontestasi bagaimana Islam seharusnya tampil di ruang publik. Upaya memaksakan gamis sebagai satu-satunya busana Islami dapat dilihat sebagai proyek untuk menampilkan Islam di ruang publik dengan identitas tunggal yang transnasional.

Sebaliknya, argumen Gus Dur adalah advokasi agar Islam tampil di ruang publik Indonesia secara otentik, menyatu dengan identitas kultural yang ada. Ini adalah bentuk public religion yang hidup dan berakar dalam masyarakat sipil.

Saya termasuk yang percaya bahwa perdebatan busana adalah pintu masuk untuk diskursus yang lebih politis. Ini adalah pertarungan di level simbol, identitas, dan ekspresi sehari-hari tentang bagaimana menjadi seorang Muslim di Indonesia.

Visi Gus Dur jelas berakar di sini. Ia memperjuangkan Islam yang substansinya (nilai-nilai etis) dihayati dan diekspresikan melalui medium budaya lokal. Ini adalah Islam yang kaya, luwes, dan berdialog.

Namun, urgensi sebenarnya dari perdebatan ini bersifat politis. Desakan untuk menyeragamkan ekspresi budaya, misalnya dengan mewajibkan gamis atau menyingkirkan busana lokal, seringkali bukan sekadar preferensi estetika. Ia adalah perpanjangan tangan dari sebuah proyek Islam politik yang lebih besar, yang bertujuan untuk memformalkan dan melembagakan satu interpretasi Islam yang kaku ke dalam struktur sosial dan bahkan negara.

Pakaian, dalam konteks ini, menjadi seragam ideologis, sebuah penanda visual dari sebuah afiliasi politik yang lebih luas yang bercita-cita mengubah lanskap sosio-politik Indonesia.

Maka, meskipun medan pertempurannya adalah budaya, taruhannya adalah politik. Gus Dur memahami ini dengan sangat baik. Baginya, mempertahankan sarung dan batik bukan sekadar melestarikan budaya, tetapi juga mempertahankan ruang bagi pluralisme dan menahan laju formalisme agama yang berpotensi mengancam fondasi kebangsaan.

Dengan demikian, analisis terhadap dimensi politik menjadi lebih urgen, karena ia menyingkapkan apa yang sesungguhnya dipertaruhkan di balik perdebatan simbol-simbol kultural tersebut. Perang budaya ini, pada hakikatnya, adalah perang proksi untuk visi masa depan Indonesia.

Dinda Permata Pratiwi

Recent Posts

Peta Jalan Penanggulangan Terorisme-Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 10 Desember 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal…

7 jam ago

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

3 minggu ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

3 minggu ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

3 minggu ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

3 minggu ago

Natal sebagai Manifestasi Kasih Sayang dan Kedamaian

Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…

3 minggu ago