Budaya

Mengamalkan Toleransi

Menghormati pemeluk agama lain menjadi dasar kerukunan antar umat beragama. Islam mengajarkan untuk senantiasa menjaga kebebasan orang lain untuk menjalankan ibadah masing-masing sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya. Tak ada paksaan dalam beragama (La ikraha fi al-dini/QS. al-Baqarah: 256). Ayat ini menjadi dasar bahwa kaum muslim tak bisa mendesak orang lain untuk mengikuti keyakinan dan agamanya.

Islam mengajarkan lemah-lembut dalam menjalankan ajaran-ajaran yang digariskan oleh Allah. Tak ada kekerasan dalam menyebarkan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an. Walaupun demikian, masih ada sebagian kecil umat Islam menyerukan kekerasan atas nama agama dengan pemahaman mereka yang cenderung menggunakan ayat-ayat pedang dibandingkan ayat damai. Penafsiran al-Qur’an yang cenderung mengarah kepada ayat pedang inilah yang menimbulkan kekerasan, gerakan radikalisme dan terorisme.

Sejatinya Islam memiliki akar kata salam yang berarti perdamaian yang secara tak langsung Islam bisa diartikan sebagai agama perdamaian. Tak mungkin agama perdamaian memberi petunjuk untuk menyakiti, menghina bahkan membunuh orang tanpa ada alasan yang tak masuk akal. Tentu ini bertentangan dengan nilai yang dibawa oleh Islam. Dari hal inilah penafsiran ayat damai menjadi kebutuhan umat Islam untuk membangun solidaritas sesama manusia.

Tak bisa dipungkiri toleransi muncul akibat perbedaan pemahaman yang kita anut. Apabila ditelisik lebih lanjut dalam al-Qur’an terdapat 176 ayat yang mendorong untuk intoleran sedangkan terdapat 300 ayat yang menganjurkan toleran. Secara kuantitatif lebih banyak ayat toleran namun kita seringkali kalah menyuarakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu umat Islam harus selalu memegang teguh prinsip “untukmu agamamu, untukku agamaku (Lakum dinukum waliya dini/al-Kafirun: 6). Ayat ini menerangkan bahwa tak mungkin bertemu antara keyakinan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad bertemu dengan agama orang lain. Sehingga tak dapat dicampur antara satu dengan yang lainnya. Secara tak langsung kita mempersilahkan orang lain untuk mengerjakan keyakinan sesuai dengan agama masing-masing. Tentu ada batasan di mana toleransi tidak bisa diwujudkan salah satunya dalam berakidah. Akidah menjadi penting untuk membedakan ajaran agama satu dengan yang lainnya sehingga tak mungkin untuk dikompromikan.

Ashghar Ali Engineer (1939–2013) memasukkan toleransi sebagai bagian dari prinsip yang dimiliki setiap agama. Selain itu prinsip ketuhanan, non-violence, keadilan, kesetaraan, kasih sayang, dan cinta menjadi bagian penting penopang sebuah agama. Dari sinilah kita bisa menyatakan bahwa toleransi merupakan rasa hormat, penerimaan, dan apresiasi terhadap keragaman budaya dan ekspresi kita. Toleransi menjadi jembatan harmoni dalam perbedaan yang membuat perdamaian menjadi mungkin untuk dibangun.

Bahkan suatu ketika pada masa Nabi Muhammad ada seorang Arab Badui masuk ke masjid, mengencingi dan mengotorinya. Para sahabat memperotesnya dan uring-uringan pada si-Arab tadi. Namun, Nabi dengan bijaksana melarang sahabatnya untuk menegur dengan kekerasan. Nabi, menganjurkan untuk mendekatinya dengan baik-baik dan tak menggunakan kekerasan dalam mendekatinya agar dia tak lari dari Islam (qarribu wala tunafiru). Dari sinilah kita bisa melihat nilai-nilai toleransi yang diajarkan Nabi kepada sahabatnya dalam memperlakukan seseorang.

Dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari kita menggunakan fikih sebagai bagian landasan bersosial bahkan beribadah. Terdapat adagium masyhur dari Imam Syafi’i “Pendapat kami benar tetapi mungkin salah, sedangkan pendapat kalian salah tetapi mungkin benar”. Jargon ini menjadi parameter untuk menilai seseorang. Kita tidak bisa berbuat seenaknya sendiri dalam menghakimi seseorang. Karena kitapun tak bisa mengetahui siapa sebenarnya yang melakukan kebenaran dan kesalahan.

Toleransi menjadi salah satu pilar khusus dalam masyarakat ideal (Ali Nurdin: 2008). Hal ini menjadi kepentingan bersama untuk membangun baldatun thayyibun wa rabbun ghafurun. Banyak prasyarat yang harus kita penuhi untuk mewujuddkan masyarakat yang sesuai dengan bimbingan al-Qur’an.

Kekuatan diri (qawiyyu al-nafsi) menjadi penting menjaga batasan di mana kita bisa menjalankan toleransi. Berislam; beriman dan berihsan menjadi baseline untuk menjadi orang yang toleran. Pada akhirnya toleransi menjadi penghubung untuk bisa memahami satu dengan yang lain sehingga tercipta kedamaian. Dengan demikian kita bisa bisa hidup berdampingan secara aman dan tenteram.

This post was last modified on 27 Mei 2016 11:42 AM

Mukhamad Zulfa

Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, alumus Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo, Semarang. Pernah nyantri di Pesantren Raudlatul Ulum, Guyangan, Pati, Jawa Tengah. Aktif di jaringan pesantren Jawa Tengah.

Share
Published by
Mukhamad Zulfa

Recent Posts

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

15 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

15 jam ago

Menghapus Dosa Pendidikan ala Pesantren

Di lembaga pendidikan pesantren, tanggung-jawab seorang Ustadz/Kiai tidak sekadar memberi ilmu kepada santri. Karena kiai/guru/ustadz…

15 jam ago

Sekolah Damai BNPT : Memutus Mata Rantai Radikalisme Sejak Dini

Bahaya intoleransi, perundungan, dan kekerasan bukan lagi hanya mengancam keamanan fisik, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi…

2 hari ago

Dari Papan Kapur sampai Layar Sentuh: Mengurai Materialitas Intoleransi

Perubahan faktor-faktor material dalam dunia pendidikan merefleksikan pergeseran ruang-ruang temu dan arena toleransi masyarakat. Jarang…

2 hari ago

Pengajaran Agama yang Inklusif sebagai Konstruksi Sekolah Damai

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Duta Damai BNPT telah berinisiasi untuk membangun Sekolah…

2 hari ago