Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya yakin, tak banyak. Bagi mereka yang ingat Harkitnas pun, patut ditanya, apa yang berubah setelah hari tersebut, dari sosial-politik dan keagamaan di tanah air? Jawabannya nyaris nihil. Banyak momentum di negara ini menjelma formalitas dan seremonial belaka. Siapa yang peduli, bahwa di balik itu semua, ada banyak hal yang perlu ditelaah?
Perlu dicatat, Harkitnas membawa pesan bahwa semangat kolektif membangun kehidupan berbangsa tak lahir dari satu ras, agama, atau ideologi tunggal, melainkan kesadaran multikultural yang matang. Artinya, jika ada kelompok yang secara sistematis memusuhi nasionalisme dan menyandera ajaran keislaman dalam logika eksklusif, maka jelas itu masalah serius. Dan siapakah kelompok itu? Jawabannya: kelompok radikal-teror.
Dalam doktrin radikal-teroris, nasionalisme adalah entitas ciptaan Barat, warisan kolonial, dan simbol kekufuran modern. Sementara, ukhuwah islamiah, mereka maknai sebagai identitas eksklusif antarsesama Muslim, menegasikan realitas kebangsaan dan kemajemukan umat yang memang Al-Qur’an sendiri ajarkan. Pandangan tersebut memang keliru secara keagamaan dan menyesatkan secara logika, namun siapa peduli untuk menelaahnya?
Ada krisis yang perlu disadari bersama, bahwa konsep luhur ukhuwah dan jihad telah direduksi jadi instrumen kebencian dan perang, sementara nasionalisme dituduh sebagai bid’ah politik. Padahal, Republik Indonesia dengan segala keberagamannya dibangun dengan darah para ulama, aktivis Muslim, dan para pejuang lintas iman yang menyadari bahwa memperjuangkan negara merupakan bagian dari perintah agama itu sendiri.
Itu menarik untuk ditelaah. Kelompok radikal-teror telah mengobok-obok paradigma nasionalisme dan ukhuwah islamiah untuk agenda besar yang mereka sebut ‘Daulah’. Karenanya, meluruskan cara berpikir radikal-teroris adalah keniscayaan. Nasionalisme dan ukhuwah islamiah bukanlah dua kutub kontras yang saling meniadakan, melainkan dua pilar penopang kebangkitan bangsa dan kemajuan negara. Bukankah itu esensi Harkitnas?
Nasionalisme vis-à-vis Ukhuwah Islamiah
Asumsi paling destruktif kelompok radikal-teror adalah uapaya dikotomi antara nasionalisme dan ukhuwah islamiah. Di pikiran mereka, nasionalisme itu entitas kafir warisan kolonialisme Eropa, sementara ukhuwah islamiah dipahami eksklusif sebagai loyalitas buta terhadap Muslim global, ummah, bahkan jika itu berarti mengabaikan identitas kebangsaan yang majemuk. Itu jelas keliru secara teologis dan cacat secara historis-politis.
Jelas-jelas, nasionalisme itu ikhtiar kemanusiaan, bukan produk Barat. Klaim bahwa nasionalisme adalah produk Barat dan haram dipegang teguh Muslim tidaklah benar. Dalam pengertiannya yang paling dasar pun, nasionalisme, manifestasi kesadaran kolektif terhadap ikatan sejarah, bahasa, budaya, dan nasib bersama. Ia adalah buah dari evolusi sosial-politik, bukan monopoli epistemik Barat. Apalagi Barat yang dimaksud ialah kolonial Belanda.
Nasionalisme untuk Indonesia tak lahir dari revolusi Prancis atau warisan sekularisme Eropa, namun dari penderitaan kolektif akibat kolonialisme itu sendiri, yang kemudian dirumuskan ulang melalui lokalitas. KH. Hasyim Asy’ari mencetuskan Resolusi Jihad, berfatwa bahwa mempertahankan tanah air adalah bagian dari iman, hubbul wathan min al-iman. Bukankah itu esensi nasionalisme: cinta dan memperjuangan tanah air?
Begitu juga ukhuwah islamiah. Ia merupakan etika persaudaraan, bukan mesin polarisasi. Masalah utama paradigma ukhuwah islamiah kelompok radikal meliputi penyempitan maknanya. Mereka memosisikan ukhuwah sebagai batas eksklusivitas: jika engkau Muslim, maka engkau saudara; jika engkau bukan Muslim, maka engkau lawan atau harus dicurigai bahkan diperangi. Apakah Nabi Saw. dan ulama mengajarkan hal seperti itu? Tidak.
Paradigma ulama ihwal ukhuwah islamiah ialah soal etika. Ibn Taimiyah pun, yang sering dikutip serampangan oleh kaum radikal-teroris, menulis bahwa persaudaraan dan keadilan terhadap non-Muslim merupakan kewajiban yang tak bisa dinegosiasi. Bahkan dalam Piagam Madinah, orang-orang kafir juga diakui sebagai entitas sah dan bagian dari ‘umat politik’ yang sama, yaitu warga negara Madinah. Diskriminasi? Nabi Saw. melarang.
Ukhuwah yang Islam ajarkan bersifat hierarkis: ukhuwah islamiah antar-Muslim, ukhuwah wathaniah antar-warga negara, dan ukhuwah basyariah antar-manusia). Ketiganya tak saling menegasikan, justru saling menguatkan. Tafsir kontemporer kemudian menegaskan, nasionalisme merupakan platform ukhuwah dalam arti persekutuan etis-politik untuk melindungi dan mencapai kesejahteraan bersama, tak peduli latar belakangnya.
Dikotomi nasionalisme dan ukhuwah islamiah yang kelompok radikal-teror bangun merupakan konsekuensi pembacaan ideologis dan tak dibenarkan secara teologis. Nasionalisme menjadi ruang bertemunya ukhuwah dalam tataran praktis. Ia menyediakan struktur politik, hukum, dan etika untuk mengelola perbedaan secara setara. Tanpa itu, ukhuwah akan mengejawantah sebagai ide utopis yang mudah ditarik ke dalam konflik antarsesama.
Melawan Logical Fallacy Radikal-Teroris
Kalau diamati seksama, propaganda kelompok radikal-teroris selalu berkutat dalam satu ironi: kemiskinan logika. Di balik jargon-jargon ideologis mereka yang terdengar religius-revolusioner ihwal Daulah, banyak sekali ‘logical fallacies’ yang terbungkus dalam retorika dogmatik. Cacat pikir itulah yang jadi fondasi rapuh berbagai justifikasi terorisme, bughat terhadap negara, dan penghancuran pluralitas.
Saya pikir, membongkar cacat logika mereka akan menjadi tindakan preventif yang dapat membentengi masyarakat dari radikalisasi pemikiran. Karenanya, saya akan uraikan beberapa fallacy disertai analisis mengapa argumen tersebut menyesatkan dan membahayakan secara sosial maupun teologis.
Pertama, false dilemma, lewat cara berpikir dualis: “Pilih nasionalisme atau Islam!”, seolah-menjadi Muslim berarti wajib menolak nasionalisme. Jelas, itu merupakan false dilemma, logika sesat yang terkungkung dualisme. Radikal-teroris lupa bahwa nasionalisme di negara ini justru menjadi kanvas sosial tempat seluruh umat hidup berdampingan dalam harmoni. Nasionalisme adalah ekspresi ukhuwah wathaniah, bukan tandingan ukhuwah islamiah.
Kedua, slippery slope, dengan terjerembab konklusi keliru: “Kalau kamu dukung negara, kamu dukung thaghut”, seolah mendukung pemerintahan demokratis adalah jalur menuju kekufuran. Thaghut yang secara konseptual berarti pemimpin zalim atau sistem yang menolak hukum Allah, dalam versi kelompok radikal-teror dipahami sembarangan sebagai sistem negara modern. Konklusi fatal tersebut lahir karena hasrat brutal mereka terhadap Daulah.
Ketiga, hasty generalization, dengan terjebak dalam generalisasi sembrono: “Semua non-Muslim adalah musuh”, seolah prinsip muamalah Islam itu sangat sempit. Tentu, yang demikian mencerminkan kepandiran historis kelompok radikal-teror. Al-Qur’an pun tegas mengatakan, bahwa keragaman merupakan sunatullah, dan memerintahkan setiap Muslim bersifat adil, tidak membenci sesama, atau berlagat sombong di muka bumi.
Keempat, appeal to fear, melalui ancaman menakutkan: “Jika tidak bergabung, kamu kafir dan akan dibunuh”, seolah dunia Islam sedang dikepung dan satu-satunya jalan keselamatan ialah bergabung kelompok radikal. Siapa pun yang tidak ikut dianggap murtad, munafik, atau thaghut—dan halal darahnya. Psikologi menyebut hal itu cognitive closure, kungkungan kognitif, merasa paling benar dan yang lain semuanya salah.
Dari semua logical fallacy tersebut, jelas bahwa ketika radikal-teroris berulah, yang perlu dikritik adalah kecacatan berpikir itu sendiri, bukan agamanya, yakni bukan Islam. Nabi Saw. dan para ulama mengajarkan cinta tanah air, esensi nasionalisme, dan sama sekali tidak membenturkannya dengan prinsip ukhuwah islamiah. Kelompok radikal-teror justru mengotori ajaran nasionalisme dan ukhuwah karena kenaifan mereka. Mari bangkit dan lawan mereka!
Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…
Meski sudah resmi dibubarkan dan dilarang beberapa tahun lalu, Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya…
Nasionalisme, sejauh ini, selalu saja dihadapkan pada agama sebagaimana dua entitas yang sama sekali berbeda…
Kebangkitan Nasional pada awal abad ke-20 bukan sekadar momentum politis untuk meraih kemerdekaan. Lebih dari…
Pada suatu masa, lebih dari empat belas abad silam, Yatsrib, sebuah oasis di tengah gurun…
Salah satu fenomena menarik dalam lanskap keberagaman Indonesia pasca Reformasi adalah perubahan perilaku beragama di…