Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, narasi yang mencoba membenturkan antara kesadaran nasional dan kesadaran beragama kerap muncul, baik dalam perdebatan intelektual maupun dalam politik praktis. Narasi semacam ini sangat berbahaya karena berpotensi melahirkan polarisasi sosial dan ideologis yang merusak fondasi kebangsaan yang telah dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bangsa.
Padahal, jika kita menengok sejarah Indonesia secara jernih, justru kita akan melihat bahwa kesadaran nasional dan kesadaran beragama tumbuh dan berkembang secara berdampingan, bahkan saling menguatkan. Kebangkitan nasional yang dicanangkan pada 20 Mei 1908 tidak bisa dilepaskan dari konteks kebangkitan gerakan sosial-keagamaan yang menjadi penggeraknya.
Sejarah mencatat bahwa organisasi keagamaan seperti Sarekat Islam (SI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan lainnya bukan hanya bergerak dalam wilayah dakwah dan pendidikan, tetapi juga memainkan peran penting dalam membangun kesadaran kebangsaan.
Sarekat Islam, yang berdiri pada tahun 1912, merupakan organisasi massa modern pertama di Indonesia yang memiliki basis keislaman. Di bawah tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto, SI menjadi kendaraan politik dan sosial yang mendorong semangat anti-kolonial dan menghidupkan gagasan tentang kemerdekaan. Di saat yang sama, Muhammadiyah yang didirikan pada 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, tidak hanya fokus pada pembaruan Islam, tetapi juga mendirikan sekolah, rumah sakit, dan jaringan sosial yang menjadi basis kekuatan masyarakat pribumi melawan dominasi penjajah.
Begitu pula NU yang lahir tahun 1926 di tengah arus kolonialisme dan modernisme. NU tidak sekadar menjaga tradisi Islam Nusantara, tetapi juga menjadi kekuatan sosial-politik yang aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan tokoh-tokoh NU seperti KH Wahid Hasyim menjadi arsitek penting dalam penyusunan konstitusi Indonesia.
Nasionalisme Religius: Model Indonesia
Membenturkan kesadaran nasional dengan kesadaran beragama merupakan bentuk pembacaan sejarah yang ahistoris. Indonesia bukan negara sekuler dalam pengertian Barat, di mana agama dipisahkan secara kaku dari urusan publik. Namun Indonesia juga bukan negara teokrasi yang menjadikan agama tunggal sebagai sumber tunggal hukum negara. Indonesia adalah negara yang merajut kedua kesadaran itu—nasional dan religius—dalam satu simpul yang harmonis.
Para pendiri bangsa sangat memahami hal ini. Dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI tahun 1945, para tokoh dari latar belakang Islam, Kristen, nasionalis, dan adat duduk bersama untuk merumuskan dasar negara. Rumusan Pancasila yang final mencerminkan kesepakatan besar bahwa negara Indonesia berdiri di atas nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan kebangsaan—tanpa saling meniadakan.
Namun dewasa ini, muncul kecenderungan yang mengarah pada polarisasi antara kelompok yang menekankan nasionalisme ekstrem dengan yang menekankan religiusitas ekstrem. Yang satu menuduh kelompok religius sebagai ancaman terhadap keutuhan bangsa, sementara yang lain mencurigai nasionalisme sebagai bentuk sekularisme yang menggerus identitas keagamaan.
Kedua kutub ekstrem ini sama-sama membahayakan. Jika kesadaran nasional tercerabut dari akar nilai keagamaan, maka nasionalisme bisa menjadi kosong secara moral. Sebaliknya, jika kesadaran beragama tercerabut dari kebangsaan, maka agama akan menjadi alat eksklusif yang mudah dimanipulasi untuk kepentingan kelompok tertentu, bukan untuk kemaslahatan umat secara luas.
Kebangkitan Nasional yang Inklusif
Kebangkitan nasional tidak boleh dimaknai sekadar sebagai kebangkitan politik atau ekonomi. Ia harus juga menjadi kebangkitan nilai, kebangkitan etika, dan kebangkitan spiritualitas. Dalam konteks ini, gerakan keagamaan di Indonesia punya peran besar untuk terus menjadi pendorong perubahan sosial yang positif, selama tetap terikat pada nilai-nilai kebangsaan yang inklusif.
Dengan demikian, model Indonesia sebagai negara yang mampu menyatukan kesadaran nasional dan kesadaran beragama bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang tidak dimiliki banyak negara lain. Kita tidak perlu meniru sekularisme Prancis atau teokrasi Iran. Indonesia punya jalannya sendiri—jalan tengah yang digali dari sejarah, budaya, dan pengalaman hidup bangsa ini sendiri.
Membenturkan kesadaran nasional dengan kesadaran beragama bukan hanya tidak produktif, tetapi juga mengkhianati sejarah dan jati diri bangsa. Para tokoh Islam seperti HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, dan KH Wahid Hasyim telah membuktikan bahwa menjadi religius tidak berarti anti-nasional, dan menjadi nasionalis tidak berarti anti-agama.
Indonesia bukan negara yang dibangun dengan meminggirkan agama, tapi juga bukan negara agama. Ia adalah rumah besar yang menyatukan keragaman keyakinan dengan satu tujuan: keadilan sosial, kemerdekaan, dan kesejahteraan bersama. Di sinilah letak kekuatan Indonesia—dan inilah warisan yang harus terus dirawat oleh generasi masa kini dan mendatang.
Indonesia dikenal sebagai negara religius. Mayoritas penduduknya mengaku beragama dan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan…
Kebijakan presiden Joko Widodo dalam memerangi aksi ekstremisme dan ideologi radikal terorisme pada 2020 pernah…
Indonesia, sebuah panggung peradaban yang tak henti menyuguhkan lakon dialektis antara partikularitas dan universalitas, adalah…
Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…
Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…
Meski sudah resmi dibubarkan dan dilarang beberapa tahun lalu, Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya…