Hari ini (7/11/2022) publik digemparkan dengan aksi bom bunuh diri yang terjadi di Polsek Astana Anyar, Bandung. Kapolres Bandung Komisaris Besar Aswin Sipayung membeberkan bahwa aksi terror tersebut terjadi pada saat kegiatan apel sedang berlangsung.
Kejadian yang terjadi pada pukul 08.20 WIB itu tentunya tidak hanya menimbulkan dampak kerusakan fisik, melainkan juga berdampak pada kondisi psikologis korban dan masyarakat Indonesia. Dan nampaknya aksi bom bunuh diri yang terjadi selama ini adalah ingin menciptakan ketakukan massal.
Sementara itu, Kapolda Jawa Barat Sutanta memberikan informasi terkini mengenai korban bom bunuh diri hari ini. Ia menyebutkan bahwa bom bunuh diri yang terjadi di Polsek Astana Anyar memakan korban 11 orang luka-luka dan satu anggota Polri meninggal dunia.
Dari kejadian bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar ini, publik pun mulai bertanya-tanya. Diantaranya mengenai ‘misteri’ mengapa pelaku terror lebih sering menyasar pada apparat polisi?
Pertanyaan di atas, sekali lagi, muncul seiring maraknya aksi terror kepada aparat. Dikutip dari Kompas.com, menyebutkan bahwa polisi menjadi menjadi target serangan utama dari teroris sepanjang tahun 2017-2018.
Sementara itu, berdasarkan kajian The Habibie Centre (THC), sebanyak 74 persen serangan terorisme disasarkan ke polisi. Selain polisi, target serangan teroris lainnya adalah masyarakat sebesar 11 persen, fasilitas agama (5 persen), dan target serangan lainnya (10 persen).
Dari angka di atas jelas menunjukkan betapa aparat polisi menjadi target utama serangan terorisme. Tentu realita tersebut semakin terkonfirmasi dengan kejadian yang terjadi hari ini di Polsek Astana Anyar Bandung.
Beberapa Alasan
Terkait alasan mengapa aksi teror sering menjadikan aparat polisi sebagai sasaran utama, Staf Khusus Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suaib Tahir menjelaskan alasannya.
Menurut Suaib Tahir, polisi menjadi target utama serangan teror dikarenakan efek dendam dari kelompok teroris. Efek dendam tersebut muncul bukan tanpa alasan. Mengingat sejauh ini, aparat polisi-lah yang kebetulan concern menangani masalah terorisme.
Karena aparat polisi sering meringkus jaringan terorisme dan mengendus rencana aksi terorisme, maka mereka menjadi dendam sehingga kelompok teroris benci dan ingin melakukan balas dendam. Itulah alasan pertama.
Jika dianalisa lebih lanjut, maka akan ditemukan alasan berikutnya mengenai aparat polisi sering dijadikan sasaran utama aksi teror, yakni dianggap sebagai “ansharut thoghut” atau pendukung tiran.
Harus diakui bahwa yang paling sering bersinggungan dengan kelompok radikal-teroris adalah aparat kepolisian. Bahkan aparat kepolisian merupakan elemen yang menjadi penghambat utama kelompok radikal dalam melakukan misinya.
Alasan ketiga adalah untuk menunjukkan eksistensi. Kelompok radikal-terorisme selalu ingin menunjukkan eksistensinya. Mungkin masih hangat di pikiran kita tentang peristiwa erkait bendera identik ISIS yang dikibarkan oleh seseorang di Polsek Kebayoran Lama pada Selasa (4/7/17) beberapa bulan lalu. Bendera tersebut ada kemungkinan dipasang oleh pendukung ISIS dengan tujuan meneror kepolisian dan menunjukkan eksistensi.
Adapun alasan terakhir adalah hendak melakukan jihad. Seperti yang sudah diungkap dan telah terungkap sebelumnya dari beberapa kasus terorisme di Indonesia. Bahwa diantara motif melakukan aksi teror adalah melakukan jihad. Tentu jihad yang dipahami kaum radikalis-teroris ini berbeda, bahkan bisa dikatakan keliru. Karena konsep jihad yang keliru itu, maka sasarannya pun juga keliru, yakni aparat kepolisian.
Pelajaran Berarti
Peristiwa bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar Bandung menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Bahwa terorisme masih tumbuh subur. Bahkan bisa dikatakan juga bahwa sel terorisme di negeri ini semakin kuat dan luas.
Bagaimana tidak. Acara apel kepolisian menjadi target utama bom bunuh diri sejatinya mencerminkan betapa pelaku teror sangat berani secara terang-terangan. Untuk itu, semua elemen dan pihak harus secara serempak menabuh genderang melawan tindak terorisme.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan seiring dengan kejadian bom bunuh diri yang baru saja terjadi di republik ini. Pertama, tetap tenang dan kondusif. Aksi teror dengan cara bom bunuh diri, salah satu motifnya adalah untuk menimbulkan kecemasan dan ketakutan nasional.
Agar masyarakat tidak menjadi bagian dalam mensukseskan agenda kelompok radikal, maka masyarakat harus tetap tenang, tidak menyebarkan informasi—terlebih foto-foto korban—di media sosial.
Kedua, apparat kepolisian—meskipun dijadikan sasaran utama tindakan teror—tetap teguh untuk memberangus laku yang dapat mengancam ketertiban umum seperti terorisme. Tindakan bom bunuh diri sebagai salah satu langkah untuk menunjukkan eksistensi kelompok radikal jangan menjadikan aparat kepolisian ‘kalah’ dan menyerah.
Terakhir, sebagaimana diungkapkan oleh Kapolri, bahwa Agus Sujatno alias Abu Muslim sejatinya masih ‘merah’ program deradikalisasi. Sehingga, pelajaran pentingnya adalah orang yang terpapar paham radikal harus terus dikawal meskipun sudah selesai menjalani masa tahanan.
This post was last modified on 8 Desember 2022 3:55 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…