Di tengah serangkaian bencana alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, muncul satu pertanyaan penting. Mengapa solidaritas ekologis, yaitu rasa kebersamaan untuk menjaga bumi, masih sulit tumbuh bahkan di lingkungan masyarakat yang beragama? Kita sering melihat isu keagamaan yang bersifat simbolik begitu cepat memicu antusiasme publik. Sebaliknya, isu lingkungan yang jelas-jelas mengancam kehidupan bersama justru kurang mendapat perhatian.
Hasil penelitian yang dirilis pada tahun 2024 oleh Universitas Islam Sultan Agung menunjukkan bahwa meskipun banyak masyarakat beragama mengakui pentingnya isu lingkungan, perhatian mereka masih berhenti pada tingkat kesadaran, belum sampai pada tindakan nyata. Temuan ini diperkuat oleh kajian ekospiritualitas tahun 2025 yang mengamati bagaimana pola konsumsi informasi di media sosial membuat isu lingkungan semakin kehilangan ruang.
Responden dalam kajian tersebut lebih sering berinteraksi dengan konten bernuansa identitas, perdebatan keagamaan, atau opini yang memicu emosi, ketimbang informasi yang mengajak mereka memahami kerusakan alam. Situasi ini memperlihatkan bagaimana perhatian publik lebih mudah tertarik pada isu yang menyentuh identitas dan kebanggaan kelompok, sementara persoalan ekologis yang jauh lebih mendesak justru tersisih begitu saja
Kesulitan ini semakin terlihat ketika kita mengamati cara informasi bekerja di ruang digital. Konten tentang lingkungan biasanya membutuhkan penjelasan, kesabaran, dan penghayatan moral. Berbeda dengan konten provokatif atau isu politik keagamaan yang lebih mudah memancing emosi. Algoritma platform digital secara otomatis mempromosikan konten yang memicu keterlibatan tinggi. Akibatnya, pengguna lebih sering bertemu dengan ceramah yang penuh sentimen, potongan video debat panas, atau opini yang mempolarisasi. Konten edukatif tentang kerusakan lingkungan tenggelam oleh arus informasi yang lebih dramatis.
Padahal, dalam banyak ajaran agama, perintah untuk merawat bumi telah ditegaskan secara gamblang. Manusia ditempatkan sebagai penjaga, bukan perusak. Namun nilai ekologis ini sering tidak muncul dalam pembelajaran agama sehari-hari. Umat lebih akrab dengan wacana identitas dan simbol-simbol keagamaan dibandingkan ajaran tentang kelestarian alam. Ketika agama dipahami secara sempit sebagai pembeda kelompok, kepedulian ekologis pun ikut tersingkir. Umat cenderung sibuk memperdebatkan siapa yang paling otentik secara religius, sementara bumi terus mengalami kerusakan yang jauh lebih serius.
Selain itu, solidaritas ekologis sering terhambat oleh cara masyarakat mendefinisikan tanggung jawab. Banyak orang menganggap urusan lingkungan sebagai tugas pemerintah saja. Jika tidak ada contoh langsung dari tokoh agama atau institusi keagamaan, jamaah cenderung tidak merasa memiliki kewajiban moral untuk terlibat. Di beberapa komunitas, masalah ekologis bahkan dianggap sebagai isu sekuler, bukan bagian dari spiritualitas. Padahal ancaman lingkungan berdampak langsung pada kehidupan manusia, termasuk kehidupan beragama itu sendiri.
Karena itu, solusi persoalan ini tidak cukup hanya melalui kampanye lingkungan. Yang perlu dilakukan adalah mengembalikan nilai ekologis ke dalam jantung kehidupan beragama. Pemuka agama berperan besar dalam membentuk kesadaran ini. Ketika ulama berbicara tentang bumi sebagai amanah, jamaah akan lebih memahami bahwa menjaga lingkungan bukan pilihan sukarela, melainkan bagian dari keimanan. Ceramah yang mengaitkan ibadah dengan tanggung jawab ekologis dapat membuka ruang kesadaran baru bahwa merawat alam adalah bagian dari takwa.
Institusi keagamaan perlu hadir dalam bentuk aksi konkret. Masjid dapat menjadi contoh melalui pengurangan sampah plastik, program penanaman pohon, atau kegiatan donasi untuk daerah yang terkena bencana. Langkah-langkah sederhana seperti ini dapat memperlihatkan bahwa nilai agama tidak berhenti di mimbar, tetapi benar-benar hidup dalam tindakan sosial. Masyarakat akan lebih mudah mengembangkan solidaritas ekologis jika melihat teladan nyata di sekelilingnya.
Langkah paling penting adalah membangun literasi ekologis yang terhubung dengan nilai keagamaan. Literasi ini harus mempunyai cakupan luas untuk mengajak umat memahami bumi sebagai rumah bersama. Ketika seseorang merasa bahwa merusak alam berarti merusak anugerah Tuhan, kesadaran ekologis akan tumbuh dengan sendirinya. Dengan begitu, kepedulian terhadap bumi tidak lagi dipandang sebagai isu teknis, melainkan sebagai bentuk ibadah yang memiliki nilai moral.
Solidaritas ekologis memang membutuhkan proses panjang. Akan tetapi jika agama kembali diarahkan pada misi menjaga kehidupan, bukan memperuncing perbedaan, masyarakat berpeluang membangun budaya ekologis yang lebih kuat. Di tengah meningkatnya frekuensi bencana, tugas kita bukan memperbesar konflik identitas, melainkan memperluas rasa empati untuk merawat bumi yang menjadi tempat hidup seluruh bangsa.
Pernahkah Anda merenung sejenak di tengah keheningan malam? Ada sebuah ironi besar yang luput dari…
Diskursus keagamaan kontemporer di Indonesia sering kali mengalami stagnasi pada ranah simbolisme politik. Energi kolektif…
Hari ini, 2 Desember, masyarakat Indonesia menyaksikan kembali perbincangan yang kian mengemuka mengenai ‘Islam politik’…
Tragedi air bah yang mengguyur sebagian wilayah Sumatera—mulai dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat—tidak…
Alquran tidak hanya membahas relasi antara manusia dsn Sang Khaliq. Lebih dari itu, Alquran juga…
Di tengah momen duka bangsa akibat bencana alam di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,…