Pernahkah Anda merenung sejenak di tengah keheningan malam? Ada sebuah ironi besar yang luput dari perhatian kita. Kita sering kali begitu mudah marah, bahkan murka, ketika melihat selembar kertas bertuliskan ayat suci dinistakan orang. Namun, anehnya, kita cenderung diam seribu bahasa ketika “ayat-ayat” Tuhan yang terbentang luas—hutan, gunung, dan sungai—dihancurkan secara brutal oleh mesin-mesin industri. Seakan-akan hal itu bukan lah kemaksiatan yang perlu kita waspadai atau perlu kita tangani.
Padahal, kertas hanyalah media, sementara alam adalah karya langsung dari Sang Pencipta. Di penghujung tahun 2025 ini, mari kita duduk bersama dan bertanya: Apakah keberagamaan kita sudah menyentuh inti persoalan, ataukah kita hanya sibuk dengan kulit luarnya saja?
Jeritan Tanah Air
Lanskap Indonesia hari ini menyajikan pemandangan yang kontradiktif. Di Jakarta, telinga kita dipenuhi hingar-bingar narasi politik dan semangat “Reuni 212” yang membawa jargon pembelaan agama. Semangat persaudaraan itu tentu baik jika dilakukan dengan baik. Namun, di saat yang bersamaan, saudara-saudara kita di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sedang berteriak minta tolong. Mereka sedang berjuang dalam kesulitan yang penyebabnya bisa jadi adalah manusia.
Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi pada November 2025 telah merenggut puluhan nyawa dan meluluhlantakkan ribuan rumah. Laporan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menegaskan bahwa ini bukan sekadar takdir atau “ujian Tuhan” yang datang tiba-tiba. Ini adalah “bencana ekologis” yang terstruktur akibat ulah tangan manusia, mulai dari deforestasi hingga ulah korporasi yang tidak bertanggung jawab. Ada keterputusan yang nyata dalam hidup kita: kita saleh dalam ritual, tapi abai terhadap keselamatan lingkungan.
Membaca Ulang Dalil yang Terlupakan
Mari kita buka kembali lembaran kitab suci dengan kacamata baru. Seringkali, kita membaca ayat-ayat tentang kerusakan (fasad) hanya sebagai peringatan soal maksiat moral. Padahal, Allah SWT berfirman dalam Surah Ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِي ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي ٱلنَّاسِ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…”
Frasa bima kasabat aydi al-nas (disebabkan oleh tangan manusia) menunjukkan hubungan sebab-akibat yang nyata. Di era modern ini, ayat tersebut adalah deskripsi akurat tentang krisis iklim. “Kerusakan” di sini bukan hanya soal dosa personal, tetapi soal hutan yang gundul, laut yang tercemar, sungai yang dipenuhi sampah dan hal-hal yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan,
Selain itu, kita perlu merenungkan mandat penciptaan kita. Dalam Surah Hud ayat 61, Allah berfirman:
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…”
Kata kuncinya adalah Ista’marakum (memakmurkan). Ini adalah tuntutan Tuhan agar kita merawat bumi, menjaga bumi dan melestarikan. Jika sebuah proyek pembangunan atau perkebunan justru menyebabkan banjir dan menyengsarakan rakyat, maka baik secara bahasa dan teologis, itu bukanlah “memakmurkan”, melainkan tadmir (penghancuran).
Dari Fikih Ritual Menuju Fikih Peradaban
Mungkin karena selera kebanyakan dari kita tidak berkembang dalam mempelajari sesuatu. Selama ini, pengajian kita sering kali berkutat pada fikih ibadah semata: sah atau tidaknya air untuk wudhu dan sebagainya. Kita jarang membahas hukum mencemari sungai dengan limbah beracun. Padahal, dampaknya jauh lebih mengerikan.
Kita perlu keberanian untuk mengatakan bahwa mencemari lingkungan hukumnya adalah Haram Mutlak, bahkan bisa lebih berat dosanya daripada meminum khamr (alkohol). Mengapa? Karena jika alkohol merusak akal satu orang, limbah beracun merusak kesehatan satu generasi (hifz al-nasl) dan mengancam nyawa banyak orang (hifz al-nafs).
Menjaga lingkungan tidak boleh lagi dianggap sekadar kewajiban sampingan (fardhu kifayah). Melihat kondisi darurat saat ini, menjaga kelestarian alam harus menjadi Fardhu ‘Ain—kewajiban yang melekat pada setiap individu.
Fakta di lapangan sangat menohok. Investigasi menunjukkan adanya dugaan keterlibatan tujuh perusahaan besar di sekitar ekosistem Batang Toru yang memperparah bencana di Sumatera. Sayangnya, narasi “Islam Hijau” yang kita banggakan sering kali hanya berhenti dan fokus pada aksi individu seperti memungut sampah, namun sunyi dari kritik terhadap kerusakan struktural yang dilakukan korporasi besar.
Sebagai penutup, mari kita ingat satu hal sederhana: Bumi ini adalah “sajadah” raksasa tempat kita bersujud. Jika sajadah ini kita biarkan hancur oleh banjir dan longsor, lantas di mana lagi kita akan menghadapkan wajah kepada Tuhan?
Kesadaran ekologis bukanlah tambahan dalam beragama, ia adalah jantung dari keberagamaan itu sendiri.
Di tengah serangkaian bencana alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, muncul satu…
Diskursus keagamaan kontemporer di Indonesia sering kali mengalami stagnasi pada ranah simbolisme politik. Energi kolektif…
Hari ini, 2 Desember, masyarakat Indonesia menyaksikan kembali perbincangan yang kian mengemuka mengenai ‘Islam politik’…
Tragedi air bah yang mengguyur sebagian wilayah Sumatera—mulai dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat—tidak…
Alquran tidak hanya membahas relasi antara manusia dsn Sang Khaliq. Lebih dari itu, Alquran juga…
Di tengah momen duka bangsa akibat bencana alam di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,…