Keagamaan

Mengejar Derajat Kemuliaan Syuhada?

Orang Islam manakah yang tidak ingin mendapatkan derajat mulia di sisi Allah SWT? Mulai dari ulama, kiai, santri, hingga kaum abangan, semua menginginkannya. Jika ada yang tidak menginginkan, berarti kondisi kesehatan jiwa seseorang tersebut mesti diperiksakan. Kendati demikian, sudah menjadi sunatullah bahwa derajat mulia tidak mungkin diberikan kepada setiap orang, bahkan mayoritas pun tidak. Derajat kemuliaan hanya diberikan kepada orang-orang yang dipilih oleh Allah SWT.

Syuhada merupakan salah satu golongan orang yang akan mendapatkan derajat mulia di sisi Allah SWT. Bahkan, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang yang mati syahid mendapatkan tujuh keistimewaan dari Allah; diampuni sejak awal kematiannya, melihat tempatnya di surga, dijauhkan dari adzab kubur, aman dari huru-hara akbar, diletakkan mahkota megah di atas kepalanya yang terbuat dari batu yakut terbaik di dunia, dikawinkan dengan tujuh puluh dua bidadari, serta diberi syafaat sebanyak 70 orang dari kerabatnya.” (HR. Tirmizi dan Ahmad).

Selain itu, Allah SWT juga Berfirman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup disisi Rabb-Nya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang masih belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Ali Imran: 169-170).

Bermula dari sini, tidak mustahil jika akhir-akhir ini banyak kaum muslimin yang berusaha untuk menjadi syuhada. Sebagai seorang yang ingin mati di tangan orang kafir, maka langkah pertama yang dilakukan adalah “mencari musuh” (baca: orang kafir) sebanyak-banyaknya. Upaya ini dilakukan dengan cara mengafirkan seluruh orang yang tidak sepaham dangan keyakinan dirinya. bahkan, terhadap orang yang jelas-jelas mengucapkan dua kalimat syahadad, melasanakan segala syariat agama Islam pun dinilai sebagai orang kafir.

Selanjutnya, langkah keduanya adalah menjalankan aksi, yakni upaya memerangi orang-orang yang dianggap sebagai orang kafir tersebut. Gambaran derajat mulia yang ada dalam hadits dan firman Allah SWT tersebut mampu membuat orang-orang ini lupa akan dunia yang sedang mereka jalani. Terbukti, banyak relawan yang menginginkan mati syahid dengan menawarkan diri sebagai pelaku bom bunuh diri ataupun ikut berperang di beberapa negara yang sedang melakukan peperangan.

Yang menjadi pertanyaan adalah, benarkah seorang muslim yang tewas sebab meledakkan bom bunuh diri di hotel ataupun tempat umum serta pergi ke negara lain untuk berperang dikatakan sebagai syuhada? Untuk dapat menjawabnya butuh sedikit pengamatan lebih mendalam. Jika seorang yang tewas tersebut menghadapi musuh yang secara jelas dapat dihukumi kafir harbi (kafir yang menentang agama Islam sehingga boleh diperangi) maka bisa jadi seseorang tersebut mati syahid. Namun, apabila yang dianggap musuh bukan kafir harbi, tentu seseorang yang tewas tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan syuhada.

Jangankan menjadi syuhada, tanpa bermaksud mendahului kuasa Tuhan, bisa jadi seseorang yang tewas sebab melakukan bom bunuh diri atau ikut berperang di negara-negara yang sedang berkonflik justru bergelimang dosa. Pertama, dosa melakukan bunuh diri. Kedua, dosa “menuduh” orang lain sebagai kafir harbi. Ketiga, dosa membunuh orang lain yang sejatinya haram darahnya dialirkan. Begitu seterusnya.

Dengan begitulah, cukup disayangkan manakala sebagian umat muslim bermaksud fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan), yakni mengejar derajat kemuliaan mati syahid, namun pada kenyataannya justru mereka menciderai hak asasi orang lain. Mereka malah mencerabut rasa aman yang sudah tertanam rapi di masyakat. Selain itu, mereka juga menciptakan permusuhan yang selamanya tidak pernah diajarkan di dalam agama, bahkan menjadi larangan. Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

13 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

13 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

14 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago