Narasi

Mengenang Gus Dur: Merajut (Kembali) Kebhinekaan

Ajakan untuk merajut, menjaga dan merawat kebhinekaan atau pun kesatuan Indonesia di penghujung tahun 2020 itu merupakan suatu keniscayaan. Pasalnya, sebelumnya kita dihadapkan pada tantangan yang cukup besar yakni melawan hoaks, intoleransi dan radikalisme-terorisme. Di lain sisi, perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) kemarin memang membawa luka bagi berbagai pihak.

Tapi yang jelas, perhelatan pilkada serentak sudah selesai. Untuk itu, mari kita move on. Lantas bagaimana strategi kita agar mampu merajut dan bahkan merawat kebhinekaan yang mulai terkoyak-koyak oleh hoaks, intoleransi, dan radikalisme-terorisme tersebut?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya kita mengenang sosok Gus Dur di malam haul yang ke-11. Mengapa? Karena, Gus Dur adalah sosok yang mampu mengayomi semua aspirasi. Sehingga, tak ayal apabila sosok Gus Dur ini penting diingat, terutama dalam hal pemikiran dan perjuangannya.

Harus diakui bahwa pemikiran dan perjuangan Gus Dur sangat besar bagi bangsa ini. Karena, meminjam bahasanya A. Muhaimin Iskandar (2010), sifatnya yang melampaui batas-batas agama,

etnis, budaya dan bangsa. Maka, pemikiran dan perjuangannya merangkum gagasan-gagasan besar dari berbagai agama, tradisi, budaya dan peradaban manusia, sehingga ia bersifat memayungi semua aspirasi dan kepentingan kelompok masyarakat dari berbagai keyakinan.

Oleh karena itulah, disadari atau tidak, sepeninggalnya dari dunia ini, amat jarang seseorang yang mau dan mampu mengayomi semua aspirasi dari masyarakat yang multi agama dan multi etnis. Jika pun ada, masih tak sebanding dengan Gus Dur dalam hal merajut, menjaga dan merawat kebhinekaan.

Indonesia, sudah sangat kesulitan mencari pengganti Gus Dur namun, masih saja ada seseorang maupun sekelompok orang yang hendak merusak kebhinekaan, dengan makin gencar melakukan hoaks, intoleransi dan menyebarluaskan paham radikal ekstrim. Padahal mereka tahu bahwa Indonesia adalah negara yang multikultural. Tak bisa diseragamkan dalam satu panji agama atau sekte tertentu.

Melihat fenomena ini, dalam rangka mengenang alm. Gus Dur maka meneladani pemikirannya dan melanjutkan perjuangannya adalah suatu keniscayaan.

Menurut Muhaimin Iskandar (2010), paling tidak ada lima alasan mengapa pemikiran Gus Dur penting diteladani dan perjuangannya penting dilanjutkan, pertama, Gus Dur senantiasa mengembangkan pemikiran dan kesadaran bahwa agama diturunkan ke bumi ini adalah untuk kebaikan dan memudahkan kehidupan manusia beserta alam seisinya. Agama hadir bukan untuk memberi beban, menakut-nakuti atau menjadi ancaman bagi agama lain. Agama hadir untuk memudahkan tugas manusia sebagai khalifah di bumi dan mewujudkan kemaslahatan di antara mereka.

Kedua, Gus Dur seringkali menyatakan Islam dan agama-agama yang ada hanya merupakan salah satu bagian saja dari kehidupan masyarakat bangsa, bukan faktor tunggal. Karena itu, posisi dan ajaran agama harus ditempatkan dalam fungsi komplementer bersama nilai-nilai, ideologi atau kelompok yang lain. Menempatkan dan memahami agama sebagai faktor tunggal dan yang paling menentukan hanya akan mendorong lahirnya pemikiran dan tindakan absurd yang bertentangan dengan inti

ajaran agama itu sendiri.

Ketiga, Gus Dur juga sering berbicara soal hukum atau dimensi normatif agama. Namun bagi Gus Dur norma-norma agama akan berfungsi efektif jika ia bisa menjadi etika sosial yang menyatu dengan kesadaran masyarakat. Tanpa bisa menjadi etika sosial, norma-norma agama akan kehilangan dimensi moral dan etisnya, sehingga manifestasi keberagamaan menjadi sangat kaku dan hitam-putih.

Keempat, dalam berdakwah, Gus Dur senantiasa menyebarkan toleransi di internal dan di antara agama-agama itu sendiri. Juga, tidak pernah merasa paling benar (truth claim). Bagi Gus Dur, toleransi

yang sesungguhnya tidak sekadar hidup berdampingan secara damai dalam suasana saling menghormati dan menghargai, tetapi juga adanya kesadaran

dan kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran luhur dari agama atau keyakinan berbeda. Dengan toleransi itulah, suasana damai dan dinamis bisa dijaga dan kemuliaan ajaran agama menampakkan wujudnya.

Terakhir, dalam kehidupan politik, Gus Dur juga mendedikasikan hidupnya untuk mewujudkan demokrasi dan tegaknya hak asasi manusia secara menyeluruh dalam kehidupan masyarakat bangsa. Bagi Gus Dur, demokrasi merupakan manifestasi terbaik dari nilai-nilai luhur agama. Dan dalam sistem demokrasi dimungkinkan umat dari berbagai agama, kepercayaan dan suku bisa bersatu untuk mewujudkan tujuan nasionalnya, serta terlindunginya hak-hak asasi manusia.

Itulah beberapa sari dari pemikiran Gus Dur yang telah diperas oleh Cak Imin. Berangkat dari pandangan tersebut pada gilirannya dapat membuka cakrawala kita tentang pentingnya menjaga dan merawat kebhinekaan. Dengan kata lain, menjaga dan merawat kebhinekaan merupakan suatu perkara yang mulia.

Pada titik ini, berkaitan dengan strategi kita agar mampu merajut kebhinekaan yang mulai terkoyak maka, pertama, aktif melakukan narasi ‘ajakan’ untuk menjaga dan berkomitmen pada Pancasila sebagai ikatan suci bangsa ini. Kedua, mensyukuri atas terbentuknya NKRI. Ketiga, rajut kembali komunikasi. Dan terakhir menatap Indonesia sebagai negara yang multikultural.

Akhirnya, dengan cara inilah, saya rasa merajut kembali kebhinekaan yang sudah mulai terkoyak itu tidaklah sulit. Semoga.

This post was last modified on 29 Desember 2020 1:25 PM

Saiful Bari

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

11 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

11 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

11 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago