Melihat hubungan agama dan nasionalis sampai saat ini tak kunjung serasi, karena di antara keduanya masih memiliki problem yang belum usai. Padahal, jika di kaji secara mendalam, terbentuknya nasionalisme itu berangkat dari kesadaran para tokoh agama, supaya terbentuk negara yang bersatu. Hadlaratusy Syekh KH. Hasyyim Asy’ari, salah satu tokoh nasionalis menolak untuk hormat terhadap bendera Belanda dan Jepang, dikarenakan beliau masih menjunjung tinggi bendera merah-putih. Hal ini adalah bentuk rasa cintaannya terhadap negara. Akan tetapi, dibolehkannya hormat terhadap bendera sebatas sebagai bentuk rasa cinta terhadap negara bukan sebagai sesembahan.
Ketua umum PB NU, KH Said Aqil Siradj menegaskan, bahwa agama dan nasionalisme merupakan dua faktor kunci yang menjaga eksistensi dan kesinambungan peradaban bangsa, sehingga tidak seharusnya terpisahkan. Namun terkadang di dalam bangsa ini masih ada orang-orang yang terpengaruh terhadap pemikiran orang asing, yang ingin merusak persaudaraan bangsa. Sehingga Siradj, mengajak kepada kita untuk meneladani pemikiran, Hadlaratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, tentang memahami kaitan antara agama dan nasionalisme.
Sejalan dengan itu, Mbah Hasyim, sapaan karib Hadlaratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, menganggap kesatuan antara agama dan nasionalisme merupakan satu fondasi kokoh untuk menghadapi berbagai macam tantangan bangsa seperti kebodohan, keterbelakangan, dan ancaman perpecahan bangsa. Dengan pernyataannya Mbah Hasyim, Aqil Siradj, juga menegaskan bahwa menegakkan agama dan nasionalisme merupakan salah satu kewajiban bagi mereka yang masih memiliki rasa iman.
Melalui nilai-nilai agama, nasionalis itu akan kokoh. Sebagaimana yang telah dirumuskan oleh peneliti dan penggalian Balitbang Diklat kementerian Agama pada tahun 2015, bahwa melalui kitab suci, teologi, hukum dan etika agama selama masih berpegang teguh terhadap NKRI. Karena, poin NKRI merujuk terhadap bentuk negara nasional, Pancasila, dan kemajemukan. Sementara hasil dari penelitian tersebut mengambil dari semua agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, semuanya didapat dari ajaran-ajaran yang mendukung nasionalis.
Misalkan di kalangan kaum muslimin, agama dan nasionalisme tidak bertentangan. Justru sebaliknya, Islam mengajarkan rasa cinta terhadap tanah air serta kepatuhan terhadap pemerintah selama tidak bertentangan dengan syariatnya. Bahkan, dalam organisasi yang dikenal dengan gerakan Puritan, maupun Ikatan Jamaad Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang merupakan sebuah representasi Syiah justru hal tersebut dijadikan sebagai bagian dari gerakan transnasional atau menjadikan NKRI sebagai bangunan politik bersama yang harus dibela, seperti halnya umat Islam membela agama.
Menurut kalangan Kristen, agama dan nasionalisme juga tidak bertentangan. Didasari oleh dua hukum antara kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama manusia. Artinya, antara sesama manusia saling mengasihi dan tidak mengenal batas teritorial, sehingga kemudian setiap umat Kristen harus menegakkan kemanusiaannya dalam segala kondisi bangsanya.
Menurut kalangan Katolik, hubungan agama dan nasionalisme diwakili oleh istilah Invocation Dei, yakni mengundang Allah dalam kehidupan bernegara. Makna dalam istilah ini ialah agama merupakan bagian esensial dari negara, sehingga salah satu tugas negara terletak dalam jaminan hak beragama. Dalam hal ini diperkuat oleh semboyan salah satu tokoh kemerdekaan Indonesia dari Katolik, Monsinyur Soegijapranata, bahwa iman dan kebangsaan bukanlah sebuah penentang, melainkan sebagai perwujudan nyata dari iman.
Menurut kalangan Hindu, nasionalisme bukanlah hal yang baru dalam kesejarahannya. Sebab, yang menjadi semboyan kesatuan dan perbedaan di Pancasila dalam seloka Bineka Tunggal Ika diambil dari falsafah hidup di masa kehinduan kerajaan Majapahit. Artinya, bahwa seloka tersebut yang dikutip dari Kitab Sutasoma karya Empu Tantular menerangkan bahwa hakikat kebenaran yang satu, sebab tidak ada kebenaran yang mendua.
Menurut para tokoh Budha, nasionalisme terdapat dalam kitab Singalovada Sutta yang merupakan kitab pengatur masyarakat. Dalam kitab tersebut menerangkan bahwa nasionalisme didasarkan pada prinsip sederhana: “Jangan biarkan kejahatan terjadi dalam kerajaanmu”. Artinya, di mana pun umat Budha berada, ia harus menegakkan kebenaran.
Sedangkan menurut Konghucu, arti penting nasionalisme terletak pada loyalitas rakyat kepada negara, ketika negara mampu menyejahterakan rakyat. Sebagaimana yang termaktub dalam kitab Sabda Lun Yu, pemerintah berdasarkan kebajikan laksana kutub utara yang tetap di tempatnya, sedangkan bintang-bintang lain berputar mengelilinginya. Artinya, nasionalisme terwujud dalam peran negara untuk mewujudkan nilai-nilai luhur yang ada dalam aturan hukum dan falsafah pendiriannya.
Maka, ada dua unsur yang dipahami dalam nasionalisme. Yaitu menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi cinta kasih antar sesama. Dengan keseragaman tersebut, perdamaian akan segera terjadi di mana-mana. Karena perbedaan agama, suku, ras, dan budaya, akan menyatu dalam ideologi negara. Wallahu a’alam bi al-shaawab.
This post was last modified on 30 Juli 2018 2:52 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…