Saya rasa, agama sebetulnya selalu berkaitan dengan apa yang disebut jalan kemaslahatan, kemanfaatan dan menjauhi kemudharatan. Karena pada dasarnya, sirkulasi perjalanan spiritualitas manusia (bukan) hanya stagnan terhadap dogma naturalis-tekstual yang mengacu ke dalam wilayah man for religion, hingga mengalami kecacatan fungsional. Karena, agama seyogianya untuk manusia religion for humans yang harus bergerak “dinamis” mengungkap makna ilahiah secara subtansial.
Pada konteks pemahaman yang semacam ini, saya pikir (peran ulama atau pemuka agama) perlu mengajak umat agar lebih cerdas di dalam beragama. Karena dalam segala hal, kita tidak cukup hanya memosisikan agama sebagai ladang untuk berbicara tentang takdir, perihal kepasrahan tanpa ikhtiar dan bahkan kecumawaan teologis. Hingga, membuat kita benar-benar jatuh fatal ke dalam keterpurukan di tengah pandemi covid-19 yang terus melonjak penularan-nya. Karena kita terlalu mengedepankan keangkuhan, egoisme dan memosisikan agama ke dalam siklus yang cacat-manfaat tadi.
Situasi demikian, saya kira pemuka agama perlu memperbaiki keadaan ini. Dengan membenahi tata-perilaku teologi kita yang lebih merefleksikan “Teologi keimanan” menuju ke dalam kesadaran diri “Teologi Akal sehat” umat. Untuk mengungkap tabir makna transendental itu sendiri di era pandemi misalnya.
Misalnya di dalam Islam, kita mungkin cukup familiar dengan bacaan dalam shalat “Iyyaaka na’budu wa Iyyaaka nasta’iin, Ihdinash-shiroothol-mustaqim, shiroothollaziina an’amta ‘alaihim ghoirill maghduubi ‘alaihim wa ladh-dhooolliin” (Qs. Al-Fatihah 5-7)
Tentu, secara kesadaran teologis, kita memiliki bentuk-bentuk “kepasrahan diri” kepada Allah SWT. Sebagaimana pengakuan kita akan kehadiran-Nya untuk selalu meminta pertolongan akan jalan yang lurus.
Tetapi, pernahkah kita berpikir, seperti apakah jalan yang lurus itu? Apakah kita hanya sekadar berpasrah diri lalu diam membisu? Pertanyaan demikian mungkin jika mengoptimalkan akal sehat untuk berpikir tentang makna subtansial dari bacaan kita yang selalu berulang-kali terucap saat shalat. Bahwasanya kita selalu meminta pertolongan kepada-Nya agar ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Tentunya, kita akan menemukan titik penghubung dari tiga subtansial dari agama itu sendiri yang akan relevan dengan dasar ayat di atas yaitu: akan selalu mengarah ke dalam kemaslahatan, kemanfaatan dan menjauhi kemudharatan.
Misalnya, kita saat ini sedang dihadapkan dengan kondisi, di mana pandemi covid-19 semakin membludak penyebaran dan penularan-nya. Tentu, kesadaran kita perlu terbangun ke dalam ranah epistemologi keagamaan yang kita lakoni selalu meminta agar berada di jalan yang lurus. Jadi, kesadaran yang perlu kita bangun, tentunya harus mengarah ke dalam jalan yang lurus, berimplikasi kepada keputusan diri benar-benar peduli terhadap situasi yang kita hadapi saat pandemi covid-19.
Misalnya jika kita dilarang untuk kerumunan, wajib menggunakan masker, bahkan dianjurkan untuk melakukan vaksinasi covid-19 dan melakukan tes swab saat melakukan perjalanan. Ini tentu sebagai tata aturan yang mengarah ke dalam kemaslahatan, kemanfaatan dan menjauhi kemudharatan tadi. Sehingga, pada konteks yang semacam inilah saya kira “Jalan yang lurus” yang selama ini kita jadikan harapan penting saat beribadah, akan berguna dan mengimplementasikan nilai-nilai substansial akan “jawaban Tuhan”.
Maka, di sinilah saya kira “Teologi Akal Sehat” itu perlu terbangun di dalam kesadaran kita saat beragama dan melakoni perintah agama itu sendiri. Karena, dasar teologi keimanan itu pada hakikatnya butuh penyelaman secara batiniah. Berupaya mengungkapkan makna-makna transendental. Serta mengoptimalkan “perabaan makna” yang terkandung di dalamnya untuk kita jadikan basis nilai di dalam membentangkan kemaslahatan, kemanfaatan dan menjauhi kemudharatan tadi.
Pentingnya Ulama atau Tokoh Pemuka Agama Meneguhkan “Teologi Akal Sehat” umat
Oleh sebab itulah, peran ulama atau kokoh Agama sangat penting di dalam meneguhkan kesadaran umat akan pentingnya merefleksikan akan nilai-nilai agama yang mengacu ke dalam kesadaran “Teologi akal sehat” itu sendiri”. Karena dengan cara seperti inilah, umat akan lebih nyaman beragama, aman di dalam beragama dan terhindar dari kemudharatan di dalam beragama. Sebagaimana ketika umat sedang dihadapkan dengan situasi pandemi covid-19 yang belum usai. Maka, “Teologi akal sehat” di sini akan berperan merefleksikan nilai-nilai “Teologi keimanan” menuju “Teologi Akal sehat” yang mengupayakan makna-makna transendental untuk membangun kemaslahatan, kemanfaatan dan menjauhi kemudharatan dalam banyak hal.
This post was last modified on 28 Juni 2021 5:12 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…