Narasi

Mengukur Kesuksesan Ramadan; Menjadi Manusia Fitri dalam Konteks Kebangsaan dan Keindonesiaan

Rasanya, begitu cepat bulan ramadan berlalu. Tak teras, kita sudah menapaki fase terakhir bulan suci. Yakni, fase yang lazim disebut “itqun min an nar” atau bebas dari siksa neraka. Bagi orang mukmin, fase akhir ini menyedihkan sekaligus menggembirakan. Menyedihkan karena perpisahan dengan bulan ramadan tak terelakkan. Bagi mukmin yang sesungguhnya, harapannya seluruh hari sepanjang tahun adalah puasa ramadan. Karena keagungan dan keutamaan bulan ramadan tak terbatas, sehari kualitasnya sama dengan setahun.

Menggembirakan, karena sukses berpuasa di bulan suci ramadan. Artinya, mukmin yang telah lulus berpuasa menjadi manusia tanpa dosa. Hari Raya Idul Fitri adalah kebahagiaan puncak sebab umat Islam telah meraih gelar “kembali menjadi fitri”, kondisi seperti saat dilahirkan dari rahim ibunya; bersih tanpa modal dosa.

Puasa bulan ramadan merupakan madrasah atau tempat melatih diri menahan nafsu kebinatangan dan kesetanan, sombong, dengki, brutal dan kekerasan. Pada Hari Raya Idul Fitri keberhasilan dari latihan tersebut dirayakan sebagai kemenangan. Idul Fitri adalah momentum kembalinya manusia menjadi manusia yang sesungguhnya sebagaimana tujuan diciptakannya. Yakni, menjadi khalifah di muka bumi, bertugas memakmurkan bumi, menciptakan keseimbangan dan kedamaian hidup, tidak melakukan kekerasan apalagi mengalirkan darah.

Pada hari raya Idul Fitri, kita dianjurkan untuk saling memaafkan. Saling memaafkan antara sanak keluarga, tetangga hingga kolega. Tidak ada lagi sifat kebencian, intoleransi, apalagi ekstrimisme. Memaafkan berarti menghilangkan sifat suka menyalahkan orang atau kelompok lain, hilangnya dendam, raibnya sifat tukang onar, adu domba dan segala penyakit anti kemanusiaan seperti ideologi radikal yang mendorong manusia selalu berbuat kejahatan di muka bumi.

Hal ini sekaligus sebagai indikator keberhasilan puasa ramadan seseorang. Ramadan memberi bekas dalam kehidupan pasca ramadan. Setelah ramadan, seseorang mampu mengendalikan nafsu amarah dan nafsu lawamah, sebagaimana dikatakan oleh Imam al Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulumuddin. Nafsu amarah adalah nafsu yang menjerumuskan manusia dan selalu memperlihatkan watak sabu’iyyah, watak kebinatangan seperti pemarah, pendendam dan serakah. Sedangkan nafsu lawamah adalah nafsu yang memunculkan sifah bahimiyah, watak kebinatangan yang rakus, tidak mengenal halal dan haram. Kombinasi dari kedua nafsu tersebut membentuk watak syaithaniyah, seperti takabur, iri, dengki, pendendam, tamak, korup dan serakah.

Dalam konteks kebangsaan kita, watak syaithaniyah menyingkirkan dan mencabik-cabik nilai persaudaraan dan semangat toleransi. Berkembangnya ideologi radikal yang selalu menyerukan kebencian, intoleransi dan ekstrimisme merupakan ciri dari watak syaithaniyah tersebut.

Ciri Manusia Fitri dalam Konteks Kebangsaan dan Keindonesiaan

Mengentalnya fanatisme buta, sikap menebalkan identitas perkubuan, klaim kebenaran tafsir tunggal, mencaci dan mengkafirkan kelompok lain adalah indikator ketidakberhasilan puasa ramadan. Demikian pula pergeseran identitas bangsa dari ramah menjadi marah; dari toleran menjadi intoleran; dari nilai persaudaraan menjadi permusuhan; dari cinta kedamaian menjadi suka kekerasan; merupakan gejala menghilangnya spirit ramadan. Sekaligus tidak mencirikan sebagai mukmin yang fitri di hari raya Idul Fitri.

Ciri manusia fitri telah disebutkan oleh Rasulullah yang termaktub dalam beberapa hadits. Diantaranya, pertama, memanfaatkan sisa umurnya untuk selalu melakukan kebaikan.

Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari bapaknya, seseorang bertanya kepada Rasulullah: “Manusia manakah yang paling baik”? Beliau menjawab: “Seseorang yang memiliki umur panjang dan baik perbuatannya”. Orang tadi bertanya lagi: “Lalu, seperti apa kriteria manusia yang paling buruk”? Beliau menjawab: “Seseorang yang panjang umurnya dan buruk perbuatannya”. (HR. Tirmidzi).

Puasa bulan ramadan mendidik manusia menjadi fitri, manusia yang baik serta selalu menebarkan kebaikan. Dalam konteks keindonesiaan, mukmin yang baik adalah mukmin yang mensyukuri realitas Indonesia sebagai bangsa yang plural. Perbedaan yang melingkupi bangsa Indonesia; agama, ras, suku dan golongan adalah fitrah kebangsaan sebagai kodrat Tuhan yang harus diterima, bukan dipertentangkan. Apalagi, sampai berusaha menghilangkan perbedaan tersebut dengan cara-cara kekerasan, intoleransi dan ekstrimisme. Maka, segala bentuk usaha yang berpotensi mengoyak persaudaraan menjadi ciri manusia yang tidak fitri dan memanfaatkan sisa umurnya untuk keburukan.

Dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi yang lain, Nabi bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan (orang lain) merasa aman dari kejelekannya”.

Hadits ini menjelaskan, manusia paling baik adalah mereka yang senantiasa menebarkan kebaikan di muka bumi. Diantara kebaikan tersebut adalah menghormati setiap perbedaan; perbedaan agama, madhab, suku, ras dan seterusnya. Sebaliknya, intoleransi, kebencian dan ekstremisme merupakan perbuatan buruk yang harus dihindari. Semua itu merupakan sifat yang dilarang dalam Islam. Ini menjadi ciri manusia fitri yang kedua.

Ketiga, menjadikan al Qur’an sebagai pedoman hidup beragama dan bermasyarakat. Tentu, tidak sekadar memahami al Qur’an ala kadarnya. Tetapi dengan mempelajari al Qur’an secara sempurna. Hal itu tidak bisa dilakukan hanya dengan jargon “kembali kepada al Qur’an” belaka, ada proses panjang dan melalui beberapa tahapan. Bagi kita saat ini, memahami al Qur’an secara baik tidak ada cara lain, kecuali berpedoman pada kitab-kitab tafsir otoritatif seperti tafsir Thabari, Qurthubi, Ibnu Katsir dan kitab-kitab tafsir otoritatif yang lain. Tanpa itu, apalagi hanya modal terjemahan, jauh sekali harapan untuk bisa memahami ayat-ayat al Qur’an secara sempurna.

Nabi bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al Qur’an dan mengajarkannya”.

Ingat, bukan sekadar membaca, tapi mempelajari dan setelah benar-benar menguasai kemudian mengajarkan kepada orang lain. Sebab jika hanya sekadar membaca dan memahami terjemahannya saja besar kemungkinan terjebak pada kesalahan memahami ayat-ayat al Qur’an. Maraknya propaganda seperti jihad dengan konotasi makna perang saja merupakan kesalahan memahami ayat al Qur’an. Demikian pula kelompok radikal yang selalu melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama, adalah suatu kenyataan dari bias memahami al Qur’an tanpa pengetahuan yang memadai.

Alhasil, ramadan tidak memberikan kontribusi apapun, serta gagal menjadi manusia yang kembali kepada fitrahnya di saat Idul Fitri dirayakan. Maka, sebelum ramadan pergi, ada baiknya kita merenungkan ciri-ciri manusia fitri yang dijelaskan dalam tiga hadits di atas.

Membenci, intoleran dan ekstrimis adalah penyakit buatan hawa nafsu. Di bulan ramadan sifat-sifat tersebut mestinya dikekang, dilatih dan dilenyapkan. Agama Islam memerintahkan untuk selalu menjaga persaudaraan, terlepas dari status agama, suku bangsa, skat madhab, dan pembeda yang lain. Islam adalah agama yang membawa misi perdamaian serta agama yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan.

Sayyidina Ali pernah berkata: “dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudara dalam kemanusiaan”.

Secara tersirat perkataan menantu Nabi di atas hendak mengatakan, bahwa kebencian, intoleransi dan ekstrimisme adalah bentuk pengingkaran terhadap persaudaraan dalam kemanusiaan. Manusia fitri adalah manusia yang bebas dari sifat buruk. Seperti sikap anti perbedaan yang melahirkan tindakan kekerasan.

Hakikat Idul Fitri adalah terbebasnya manusia dari perbudakan nafsu menuju penyucian diri (tazkiyah an nafs) sebagai hasil akhir dari puasa ramadan sekaligus menjadi indikator keberhasilan puasa ramadan. Begitu rugi kalau bulan ramadan dibarter dengan sikap-sikap tak terpuji, seperti kebencian, intoleransi dan ekstrimisme. Mari kita renungkan, dan semoga di hari raya Idul Fitri tahun ini kita benar-benar menjadi manusia fitri.

This post was last modified on 17 April 2023 5:05 PM

Faizatul Ummah

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

23 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

23 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

23 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

23 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago